Egoisme di Sekitar Kita: Dibalik Suara Psstt

Psstt psst ra, nomor 28 apa?”

Aku melirik sekilas kearah sumber suara yang memanggil namaku. Tak ada niatan untuk berbagi jawaban kepadanya.

Anjir lu pelit banget sama temen sekelas sendiri, egois.”

Aku mencoba menarik nafas, berusaha fokus ke rentetan persoalan yang lumayan menguras pikiran. Hari ini, tepat tanggal 9 Maret 2020 adalah pelaksanaan Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional Berbasis Komputer atau biasa disingkat UAMBN-BK. Ternyata hari pertama ini tidak aku lalui dengan lancar, tak seindah ekspetasi sewaktu belajar kemarin. Serentetan tulisan arab berupa potongan hadist dan ayat al-Quran memenuhi layar komputer. Pandangan dan pikiranku terfokus oleh serentetan kalimat arab yang tidak aku ketahui artinya. Pikiranku mencoba mengingat kembali materi yang sudah aku pelajari jauh-jauh hari, tapi tetap saja rasa lupa selalu menghampiriku ditengah-tengah persoalan yang rumit. Rasa pusing ini semakin bertambah ketika dia mengganggu konsentrasiku dengan berbisik meminta penyelesain yang sudah susah payah aku mengingatnya. Bisa dikatakan aku memang egois, tidak mau dimintai penyelesain persoalan ujian. Sering kali aku di sindir, di caci maki sampai dijadikan bahan ghibah hanya karena aku terlihat sok suci. Tapi memang benar kan, bahwa asal dari meminta penyelesaian itu tidak seharusnya dilakukan? tapi kenapa setiap murid ada saja yang melakukan hal buruk itu? aku pikir-pikir alasanya hanya satu, mereka hanya ingin mendapatkan nilai maksimal tanpa harus ada usaha optimal.

Waktu terus berjalan, tanpa sadar satu setengah jam berlalu dengan cepat, dan kurang tiga puluh menit aku bisa meninggalkan ruangan. Aku bernafas lega karena aku telah menyelesaikan lima puluh persoalan potongan ayat al-Quran dan hadist dalam waktu kurang dari dua jam.

Suasana yang semula hening, tenang kini berubah menjadi suara penuh bisikan setan yang menyayat telinga. Tidak sengaja aku melihat teman sebelahku, dia dengan senang hati membagikan beberapa penyelesaian soal yang menurutku menguras habis pikiran. Aku tidak mengerti jalan pemikiranya, kenapa dia bisa seperti itu?

Sambil menunggu waktu berakhir, aku mengambil permen karet yang berada di kolong meja dan mengunyahnya secara diam-diam. Sengaja aku menyiapkan permen karet agar tidak mengantuk.

Psstt psstt Aisyah nomor 4 apa?”

Aku melirik dia sekilas yang tadi membagikan jawabanya, terlihat ekspresi kesusahan tampak jelas di wajahnya. Aku menengok kearah Aisyah, Wakil Ketua OSIS yang selalu menempati urutan satu parallel. Dan baru kali ini aku bisa melihat dengan jelas bahwa dia sama seperti yang lain, ahli dalam pembisikan. Aku kira dia berbeda karena dia wakil ketua OSIS, tapi ternyata sama saja. Cukup lama aku menengok kearah Aisyah, bukanya aku mengurusi gerak-gerik orang lain, tapi ini seperti fenomena yang seharusnya tidak dilakukan. Berulang kali Aqila berbisik memanggil namanya tapi tidak di gubris, padahal Aqila sering membagikan jawabanya kepada Aisyah, jujur saja aku sakit hati melihat pemandangan yang tidak adil seperti ini. Oh ayolah, setidaknya dia memberikan respon tapi ini tidak. Hubungan timbal balik macam apa ini? Ini jauh dari sifat simbiosis mutualisme.

“Waktu tersisa 15 menit, silahkan mengecek kembali jawaban dan 5 menit sebelum waktu berakhir dipastikan semua sudah log out, terimakasih.”

Pandanganku yang fokus kearah mereka langsung teralihkan kembali kearah layar komputer untuk mengecek kembali jawaban sebelum aku log out.

Gazebo depan madrasah.

“Azura, tadi lu fokus banget ngliat Aisyah.”

Sekarang aku sedang duduk di gazebo untuk menunggu jemputan bersama Inaya, sahabatku yang juga tidak menyukai perbuatan curang.

“Iya, gua kaget banget liat dia bisa curang kek gitu, mana dia ga kasih jawaban ke Aqila, padahal dia kan udah ngasih jawaban banyak ke dia.” Ujarku yang masih setengah emosi.

“sabar aja ra liat gituan, sebenarnya banyak banget yang nglakuin kek gitu. Intinya mah sekarang banyak orang yang mau menang sendiri.” Jawab Azura sambil mengelus pundakku.

“Eh lu udah liat nilai Ujian Madrasah? Subhanallah ya nilai mereka yang bawa HP rata-rata 90 hampir gak ada nilai 7.”

“Ho.oh udah liat, pengen nangis sih, tapi mau gimana lagi, emang mentok disitu. Aku rangking paralel 85, lu berapa?”

“Lu mending 85, lah aku rangking 90. Bahkan bu Mia aja sampe bilang, nilai kamu kok turun ra? Ga belajar ya? Padahal udah belajar dan emang hasilnya segitu.”

“The Power of Brainly emang. Sudahlah abaikan nilai, yang penting kita udah jujur dan itu nilai plus. Kita kudu terus bersemangat buat jujur!.”

“Ho.oh semangat! Semua pasti ada hikmahnya.”

Dan kita tertawa untuk meluapkan rasa kecewa dengan hal yang terjadi di madrasah tercinta.
END