Egois berujung sesat

Suasana idul fitri masih terasa kala itu. Baru sekitar 4 hari setelah melaksanakan sholat ied di kampung halamanku. Aku bersama keluarga besar dari ibuku, pergi berziarah ke pemakaman sultan di Masjid Agung Banten di komplek pemakaman Banten Lama. Lokasinya tak jauh dari rumahku, hanya sekitar 20 menit perjalanan. Kami memang sering berziarah kesana, katanya untuk mendoakan para sultan yang dimakamkan disana.
Setibanya dilokasi kami langsung memasuki kenadziran Masjid Agung Banten dan melakukan ziarah. Disana ramai sekali. Banyak pengunjung dari segala penjuru, para penjual segala macam barang, oleh-oleh, dan lain sebagainya serta pengemis yang tak dapat ku hitung jumlahnya.
Aku, kakak, ibu, dan dina saudaraku tengah duduk di salah satu saung sebuah tempat makan. Kami menunggu saudaraku yang lain yang masih berbelanja oleh-oleh, sementara kami telah selesai lebih dulu dan berkabar akan bertemu di tempat ini.
Kakakku yang terlihat memegang perut berkata “duh lama amat ya mereka belanjanya, keburu laper nih aku.”
“sabar ya kak bentar lagi mungkin mereka bakal sampe” sanggahku sambil memegang bahu kakak.
“kasian amat kakakmu kelaperan, ada baiknya kita pesen makan duluan aja gimana? Karena ibu juga udah ngerasa laper” Iba ibu
“good idea! hehehe” celetuk dina.
Kami pun memesan makanan sambil menunggu seluruh keluarga berkumpul.
Tak lama kemudian yang ditunggu-tunggu pun datang. Seluruh anggota keluarga menyusul kami disini bersamaan dengan datangnya makanan yang dipesan tadi. Eh tunggu, namun sepertinya ada yang kurang, anggota keluarga yang ikut dengan yang datang barusan ini belum lengkap, pikirku dalam hati. Ternyata paman yang belum terlihat.
“lho paman kemana ya? Kok aku belum liat yaa” tanyaku kepada semua.
“oh tadi pamanmu masih di tempat belanja, ada titipan sih katanya” jawab bibi.
“oh gitu yasudah kita tunggu sampai paman selesai baru kita pulang”
“lhaiyah masa’ pamanmu mau ditinggal”
“hehehe”
“udah sana yang belum pesen makan, pesen dulu biar pas pulang kita tinggal istirahat saja dirumah” kata ibu sambil menyuap ketoprak pesanannya.
Hampir setengah jam kami menunggu paman yang juga belum sampai ditempat kami menunggu. Aku berinisiatif menjemput paman di tempat pusat oleh-oleh bersama dengan kakak dan dina atas izin ibu. Jaraknya lumayan jauh dari tempat makan tadi. Tak lama kemudian kami melihat paman tengah berjalan yang tak jauh dari pusat oleh-oleh tersebut, sepertinya hendak menyusul kami ditempat tadi.
Aku memanggilnya “paman…!” ia menoleh dan menghampiri kami “kami semua sudah menunggu paman sedari tadi, paman kemana aja?” tanyaku.
“ya ampun maaf ya, paman lama ya, sampe kalian menyusul begini. Tadi paman dapat titipan oleh-oleh dan agak susah dicarinya makanya lama” jelas paman
“yaa lumayanlah, sampe kita kenyang makan belum nongol juga. Dan terpaksa harus menyusul dengan jarak yang tidak dekat hehe” cerutu dina.
“duh maaf ya. Yasudah sekarang kita kembali dan segera pulang ya. Ohiya paman tau jalan pintas dari sini menuju tempat kalian menunggu tadi kok.” panjang paman.
“ah tidak mau, aku maunya jalan yang tadi saja. Ngambil jalan pintas nanti malah nyasar.” tolak dina.
Dina memang anak yang agak keras kepala. Jalan yang ia lewati nanti harus sama persis dengan jalan yang ia lewati tadi.
“ayolah dina jangan kumat dulu. Ini ada jalan pintas supaya cepat sampai. Kasian yang lain sudah menunggu dan ingin segera pulang.” bujukku
“gak mau. yaudah gini aja, kalian lewat jalan pintas itu aku lewat jalan yang tadi aja. Aku tau kok jalannya, tenang aja.” Dina tetap keras kepala.
“jangan dina, ih, hayo kita bareng-bareng aja lewat sini” mohonku sambil menunjuk jalan yang ditunjukkan oleh paman.
Akhirnya kami berjalan masing-masing. Aku bersama kakak dan paman melalui jalan pintas dan dina melalui jalan yang tadi kami lewati pada saat menuju pusat oleh-oleh.
Kami lebih dulu sampai di lokasi namun dina belum juga sampai.
“aduh dina kemana ini? Kok belum sampai juga” kataku cemas.
“lho bukannya sama kalian ya tadi perginya?” tanya ibu.
Setelah kuceritakan kejadiannya, semua keluarga mencari dina. Semua berpencar mencarinya termasuk aku.
Setelah kurang dari 10 menit mencari, aku menemukannya sedang kebingungan mencari jalan.
“dina…!” kupanggil dia dengan suara keras. Dia menoleh kearahku dan langsung berlari menghampiriku. Dina memelukku dan berkata “maafkan aku ya, aku tak mendengarkan perkataanmu. Aku tersesat, tak tahu jalan, aku memang egois”
“yaudah gapapa. Ayo kita pulang.”
Kami pulang kerumah kami masing-masing. Dina menyesali perbuatannya dan tak akan mengulanginya.