Ego Yang Tak Menggubris Perasaan

Htttps://id.pinterest.com/pin/837317755699096991

Sebenarnya aku tersiksa dalam hubungan ini. Cinta yang semulanya ku kira akan menghadirkan cerita indah, bermuara pada kebahagiaan abadi. Namun realitanya, luka yang terbungkus oleh sebuah cinta. Separah itu memang cinta yang saat ini kujalani. Aku memang yang terlalu keras kepala agar ia tetap bertahan dalam hubungan ini.

Perkenalkan namaku Sasya. Orang terkasihku suka menyapa dengan sebutan Sya. Singkat ya, iya sama singkatnya dengan pemikiran dia yang dengan mudahnya meninggalkanku sendirian. Hobiku menulis. Menulis apapun itu aku suka, terutama cerita fiksi. Imajinasiku terlalu luas untuk sebuah ilusi. Tapi, kenyataan tak seindah ekspektasi. Kisah cintaku bagai luka yang datang bertubi tubi.

“Aku benci lelaki itu” Hatiku selalu saja mengumpat seperti itu, ketika membahas lelaki itu.

“Lelaki emang gitu ya?”

Pertanyaan itu selalu saja muncul di kepalaku. Menghantui di setiap rutinitas. Ingin sekali aku memberantas, namun itu hanyalah ekspektasi. Ekspektasi tentang inginaku meninggalkannya, ingin aku melepasnya, ingin aku merelakan ia pergi selamanya. Namun aku tak mampu.

Meski hanya perhatian dalam sebuah room chatting , kenyataannya dia seperti nyata adanya di sisiku. Lelaki itu membuatku menjadi sosok perempuan paling bahagia di dunia ini. Aku teramat bahagia menjalin kisah dengannya. Tapi rasa sakit diakhir kisah yang ia tancapkan di hatiku. Bagai sembilu yang menyayat kalbu.

“Lelaki emang seegois itu ya?”

Tanpa memikirkan perasaan perempuan, ia begitu saja mampu meninggalkan. Membiarkan perempuan yang mengurus semua kenangan. Meninggalkan perempuan terkapar dengan kepingan luka. Tak berperasaan memang. Aku tak ingin kisah cinta cinta seperti ini.

Namun, pertahanan ku kalah. Dinding yang ku pinding beberapa tahun roboh begitu saja. Terlena dengan untaian kata manisnya. Perasaan semula yang biasa, berubah menjadi rasa yang tak biasa. Menjelma menjadi rasa yang tak ingin kehilangan karena adanya rasa nyaman.

Ini patah hati paling parah yang pernah ku alami. Tapi aku begitu menikmati hadirnya, Tuhan. Dia terlalu egois. Memutuskan pergi tanpa kata pamit. Ia meninggalkan ku begitu saja tanpa adanya kata perpisahan. Ia membiarkanku sendirian menanggung sebuah perasaan. Memang, akulah yang ceroboh. Bagiku inilah patah hati paling disengaja.

Hubunganku sudah 2 tahun lamanya. Aku memang yang terlalu jatuh dalam kata-kata manisnya. Janji manisnya memang tak semanis tindakannya. Tapi aku terlanjur mencintainya. Dia manusia egois yang sempat kumiliki. Dalam hubungan ini aku yang selalu mengalah. Bukan, bukan karena aku tak mampu melawannya. Namun, aku selalu terlena dengan kata-kata manisnya. Aku selalu terbuai oleh gombalannya yang mematikan. Aku sebodoh itu memang dalam kisah percintaan.

Ingin sekali aku menyalahkan dia. Dia tak faham arti dari kehilangan. Dia tak faham arti dari kenyamanan. Dia tak faham makna dari sebuah perasaan. Dia terlalu egois untuk merelakan aku terkapar dalam kisah percintaan. Namun lambat laun aku tersadar. Ia mampu meninggalkan tanpa sebuah kata pamit. Sedangkan aku selalu dirundung oleh rasa yang tak kunjung tiada.

Sejak detik ini, aku tersadar. Dia bukan cinta sejatiku. Aku tak bisa menahan seseorang untuk tetap berada disiku. Dia berhak andil dalam kisah cinta ini. Aku rela ia menemukan orang terkasihnya. Biarlah berlalu, kisah cinta denganku ini yang hanya sebuah permainan belaka.

Dengan luka yang membekas oleh kehadirannya, membuatku tau arti dari sebuah kedewasaan. Kini, aku sedang menikmati ditikam patah hati. Teruntuk kehadirannya yang keduakalinya, sama sekali tak ku nanti. Aku rela terbebani oleh orang yang kucintai, tapi itu dulu. Kini, aku tak sebodoh itu. Aku sekarang faham caranya mengajak seseorang untuk diajak berjuang.