Edensor (Buku Ketiga Tetralogi Laskar Pelangi)

novel edensor

Pengarang Andrea Hirata
Negara Indonesia
Bahasa Indonesia
Genre Roman
Penerbit Yogyakarta: Bentang Pustaka
Tanggal rilis Mei 2007
Halaman xii, 290 halaman
ISBN ISBN 978-979-1227-02-5

Buku ini merupakan buku ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Buku ini mengisahkan perjalanan hidup Ikal dan Arai dari Belitong sampai Eropa nun jauh disana. Diawali dengan bab Laki-Laki Zenit dan Nadir yang membuat Ikal bertemu dengan sosok Weh, sang laki-laki penyendiri. Bersama Weh Ikal menaklukan lautan, ia diajari membaca rasi bintang di lautan lepas. Kata Weh, “Langit adalah kitab yang terbentang.”. Weh pandai sekali membaca gerak-gerik alam, hidupnya ia bangun di perahu. Meski badannya terlihat kuat dan gagah, matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam.

Ikal mengagumi Weh, ia hanya laki-laki Zenit dan Nadir, yang dapat diamati dengan mata telanjang dan mempunyai sisi di dasar laut yang sangat jauh dari pengamatan. Ikal belajar mengenal dirinya sendiri dari Weh. Tekad Ikal adalah “Aku sadar aku telah belajar mencintai hidupku dari orang yang membenci hidupnya.”

Setelah melewati pembukaan kisah yang cukup menguras hati ini, kisah Ikal dibeberapa bab selanjutnya yakni tentang asal muasal dirinya dimulai dari waktu kelahirannya yang sama dengan berdirinya PBB (24 Oktober) dan cerita dari perubahan nama yang dialaminya beberapa kali hingga akhirnya Ayahnya menemukan nama yang pas bagi dirinya, Andrea. Di akhir kisah pencarian namanya, Ikal menarik kesimpulan bahwa,

“Ternyata tabiat orang tak berhubungan dengan gelar yang disematkan kepadanya, bukan pula bagaimana ia menginginkan orang hormat kepadanya, tapi lebih pada berapa besar ia menaruh hormat kepada dirinya sendiri. Kebenaran sederhana ini membuat hatiku ngilu.” (Hal. 27)

Kemudian, cerita dilanjutkan tentang kisah Ikal dan Arai yang bersusah payah bertahan hidup dengan pekerjaan-pekerjaan yang mereka lakukan. Hingga sampai pada kisah keduanya mendapatkan beasiswa Uni Eropa ke Sorbonne, Perancis. Menurut Ikal, motivation letter nya lah yang membuat ia mendapatkan pesan selamat dari Dr. Michaella Woodward. Tips yang Ikal berikan dalam membuat motivation letter yang baik ialah jangan lupa menyadur buku Garis-Garis Besar Haluan Negara .

Perjalanan menuju ke Perancis membawa Ikal dan Arai berkenalan dengan Famke Somers, mahasiswi Amsterdam School of The Arts. Famke yang ramah membuat pertemuan mereka terasa hangat dan bersahabat.

Tetapi, suasana bersahabat itu seketika lenyap ketika Famke kembali ke Amsterdam. Ikal dan Arai terpaksa harus terkatung-katung di Brugge karena sikap Van Der Wall yang kurang ajar. Pada bagian kisah yang ini, Ikal dan Arai mencoba bertahan hidup dari ekstremnya musim dingin di Eropa dengan berbekal baju tipis, yang membuat mereka hampir saja mati. Syukurlah Tuhan masih mengizinkan mereka hidup lebih lama lagi. Tuhan membantu mereka melalui kekuasan Dr. Michaella Woodward dan Erika Ingebord yang membuat mereka mendapatkan hak nya sebagai penerima beasiswa Uni Eropa sekaligus perlakuan yang layak sebagai seorang manusia.

Apartemen Mallot adalah tempat yang mereka tinggali sesampainya di Paris, sebuah tempat yang sempurna untuk menyaksikan keindahan nyonya besar Eiffel yang berdiri menjulang dengan congkak. Tinggal di dekat pusat kota memberikan tantangan yang luar biasa untuk Ikal. Baginya tinggal di dekat pusat kota memberikan kesan menjadi manusia yang up to date dengan berbagai informasi. Di Apartemen Mallot Ikal menemui Paradoks yang pertama.

Akhirnya, kehidupan sebagai mahasiswa di Perancis mereka jalani. Mereka terjebak dengan rutinitas yang berisi tiga kejadian saja : kuliah, menonton pertunjukan seni, dan belajar di apartemen. Mereka menikmati rutinitas tersebut karena Paris memiliki pesona seni yang bercita rasa tinggi. Lelah namun tetap merasa terhibur.

Kisah selanjutnya adalah tentang Ikal yang menemui paradoks kedua dalam dirinya. Dimulai dari bab The Pathetic Four , yang menjelaskan tentang karakter teman-teman kuliahnya Ikal, kemudian dilanjut sampai pada titik paradoks yang ditemuinya,

“Mereka senang bermabuk-mabukan. Sebagian hidup seperti bohemian, mengaitkan anting di hidung, mencandu drugs, musik trash metal, berorientasi seks ganjil, dan tak pernah terlihat tekun belajar, namun mereka sangat unggul di kelas. Aku yang hidup sesuai dengan tuntunan Dasa Dharma Pramuka, taat pada perintah orangtua, selalu belajar dengan giat dan tak lupa minum susu, jarang dapat melebihi nilai mereka. Dengan ini kutemukan paradoks kedua, dalam diriku sendiri.” (Hal. 111-112)

Cerita terus mengalir mengisahkan kehidupan kampus Ikal dan teman-temannya. Salah satunya yang paling mengesankan adalah kisah Ikal yang berpacaran dengan Katya, sang primadona Sorbonne. Kemudian dilanjut dengan bab tokoh favoritnya Ikal, Adam Smith dan Rhoma Irama yang mengandung nada kemirisan terhadap apa yang terjadi pada negeri tercinta, tanah air Indonesia Raya ini.

Paradoks ketiga, Ikal temui di pertunjukan parodi saat liburan musim panas.

“Tentang dilema seorang mahasiswa Indonesia di Paris yang menjadi guide bagi para petinggi yang ingin berutang. Parodi ini mencapai klimaks saat para petinggi Jepang, yang memberi utang, datang ke tempat pertemuan dengan mobil mini bus carteran, sedangkan para petinggi Indonesia, yang berutang, datang satu per satu dengan limousin.” (Hal. 147)

Liburan musim panas adalah pemantik keinginan besar yang ada dalam diri Ikal dan Arai. Menjelajah Eropa sampai Afrika. Keduanya bertekad dan sudah banting tulang kerja sana-sini tapi belum membuatkan hasil. Hingga Famke Somers datang sebagai pahlawan bagi keduanya. Sebuah persahabatan yang hangat memang akan selalu menguntungkan.

Tur keliling Eropa yang menjadi keinginan Ikal dan Arai menjadi ajang pertaruhan bagi mereka dan teman-temannya. Ide gila yang awalnya diremehkan teman-temannya itu akhirnya menjadi ajang mempertaruhkan harga diri bangsa. Pertempuran gengsi antara Stanfield dan Townsend berhasil membuat tur keliling Eropa menjadi pertarungan yang menantang.

Famke Somers membantu Ikal dan Arai untuk mendapatkan uang sebagai modal keliling Eropa. Ia membantu keduanya menjadi manusia patung dan diberikan kostum ikan duyung hasil mahakarya mahasiswa Amsterdam School of The Arts. Itu bukan ide yang buruk terlebih lagi dengan penghasilan yang didapatkan terlihat menjanjikan. Belanda adalah titik awal mereka memulai tur keliling belantara Eropa sekaligus mencari A Ling seorang.

Adegan demi adegan yang terjadi menceritakan bagaimana sulitnya mereka bertahan hidup mengelilingi Eropa. Terluntang-lantung kehabisan uang, kelaparan, tidur di emperan toko, bertemu orang-orang aneh, dan masih banyak lagi kejadian luar biasa lainnya telah menjadi bagian dari tur keliling Eropa mereka. Pengalaman sampai ke ujung Rusia dengan udara dingin yang mencekam dan kehabisan uang yang membuat mereka semakin tercekik keadaan menjadi pelajaran berharga bagi mereka, ilmu melihat rasi bintang dari Weh sangat membantu mereka melewati krisis itu.

Sampai tiba ke Rumania dan bertemu dengan orang Purbalingga yang telah lama terdampar disana, bertemu dengan imam masjid bersahaja di Austria dan hingga akhirnya bertemu brother muslim yang membuka cakrawala mereka tentang akses ke Afrika. Akhirnya benua Afrika dapat mereka jejaki. Sungguh luar biasa skenario Tuhan.

Hampir sampai di bagian akhir novel ini, Ikal dan Arai harus berpisah. Arai harus kembali ke Indonesia sampai tubuhnya kembali pulih untuk melanjutkan kuliah lagi. Ikal merasa kesepian dan hampa, tetapi harus tetap fokus menyelesaikan riset yang sudah lama ia tinggalkan. Drama tugas akhir harus pula dihadapinya ketika profesornya mengumumkan pensiunnya dan kembali ke daerah asalnya. Ikal akhirnya mengikuti program exchange ke Sheffield untuk tetap bisa berkonsultasi dengan profesor Turnbull mengenai risetnya.

Pada suatu hari kunjungannya ke rumah Profesor Turnbull di Doncaster, membawanya menemui takdir yang berkaitan langsung dengan A Ling, pujaan hatinya. Saat ia berkeliling desa dekat Doncaster, ia sampai ke Edensor. Sebuah tempat yang menyelaraskan pikirannya akan A Ling. Meskipun A Ling tak dapat ia temui, paling tidak tempat yang A Ling dambakan telah ia jumpai.

“Aku terpana di landa deja vu melihat hamparan desa yang menawan. Aku merasa kenal dengan gerbang desa berukir ayam jantan itu, dengan bangku-bangku baru itu, dengan jajaran bunga daffodil dan asturia di pagar peternakan itu. Aku seakan menembus lorong waktu dan terlempar ke sebuah negeri khayalan yang telah lama hidup dalam kalbuku.” (Hal. 288)

Bagi siapapun yang membaca novel ini, saya pastikan tidak akan ada kata “menyesal” sebagai kesan yang ditinggalkan untuk buku ini. Saya suka bagaimana Andrea mengemas latar-latar dari ceritanya dalam membantu imajinasi pembaca berkembang. Andrea mampu menarasikan sekelumit pesan dengan bahasa dan kalimat yang tidak bertele-tele dan sederhana.

Tak lupa pula, unsur intelektual dari setiap kata dan ungkapan yang digunakannya adalah mahakarya dari Andrea Hirata. Bisa dibilang, membaca novel karya Andre Hirata itu akan membuat kita berpengetahuan luas dan belajar untuk berpikir secara terbuka. Apalagi di novel ini ia menegaskan konsep paradoks sebagai muatan nilai yang tak boleh dilupakan oleh pembaca.

Bagaimana menurut kalian novel Edensor ini?

2 Likes