Dirikanlah Shalat dan Shalat-lah dengan Khusyu

Shalat

Shalat adalah sarana terbesar dalam tazkiyatun-nafs , dan pada waktu yang sama merupakan bukti dan ukuran dalam tazkiyah . Ia adalah sarana dan sekaligus tujuan. Ia mempertajam makna-makna ‘ubudiyah, tauhid dan syukur. Ia adalah dzikir, gerakan berdiri, ruku’, sujud dan duduk. Ia menegakkan ibadah dalam berbagai bentuk utama bagi kondisi fisik. Penegakannya dapat memusnahkan bibit-bibit kesombongan dan pembangkangan kepada Allah, di samping merupakan pengakuan terhadap rububiyah dan hak pengaturan. Penegakannya secara sempurna juga akan dapat memusnahkan bibit-bibit 'ujub dan ghurur bahkan semua bentuk kemungkaran dan kekejian.

“Sesungguhnya shalat dapat mencegah kekejian dan kemungkaran.” ( al-'Ankabut: 29 )

Shalat akan berfungsi sedemikian rupa apabila ditegakkan dengan semua rukun, sunnah dan adab zhahir dan batin yang harus direalisasikan oleh orang yang shalat. Di antara adab zhahir ialah menunaikannya secara sempurna dengan anggota badan, dan di antara adab batin ialah khusyu’ dalam melaksanakannya. Khusyu’ inilah yang menjadikan shalat memiliki peran yang lebih besar dalam tath-hir (penyucian), peran yang lebih besar dalam tahaqquq dan takhalluq (merealisasikan nilai-nilai dan sifat-sifat yang mulia). Tazkiyatun nafs berkisar seputar hal ini.

Karena amalan-amalan shalat yang bersifat lahiriyah masih tetap dilaksanakan dengan baik oleh orang Muslim yang hidup di lingkungan Islam, maka di sini kami akan membatasinya dengan menyebutkan adab-adab batin yang disebut dengan ilmul khusyu’.

Nabi saw bersabda:

“Ilmu yang pertama kali diangkat dari muka bumi ialah kekhusyu’an.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dengan sanad hasan)

Karena khusyu’ merupakan tanda pertama orang-orang yang beruntung.

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang- orang yang khusyu’ dalam shalatnya. " ( al-Mu’minun: 1-2 )

Juga karena orang-orang yang khusyu’ merupakan orang-orang yang berhak mendapatkan kabar gembira dari Allah.

“Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan shalat dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rizkikan kepada mereka.” ( al-Hajj: 34-35 )

Jika sedemikian penting kedudukan khusyu’ maka ketidakberadaannya berarti rusaknya hati dan keadaan. Baik dan rusaknya hati tergantung kepada ada dan tidaknya khusyu’ ini.

"Sesungguhnya di dalam jasad ada suatu gumpalan; bila gumpalan ini baik maka baik pula seluruh jasad dan apabila rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa gumpalan itu adalah hati. " ( Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Sesungguhnya khusyu’ merupakan manifestasi tertinggi dari sehatnya hati. Jika ilmu khusyu’ telah sirna maka berarti hati telah rusak. Bila khusyu’ tidak ada berarti hati telah didominasi berbagai penyakit yang berbahaya dan keadaan yang buruk, seperti cinta dunia dan persaingan untuk mendapatkannya. Bila hati telah didominasi berbagai penyakit maka telah kehilangan kecenderungan kepada akhirat. Bila hati telah sampai kepada keadaan ini maka tidak ada lagi kebaikan bagi kaum Muslimin. Karena, cinta dunia menimbulkan persaingan untuk mendapatkannya, sedangkan persaingan terhadap dunia tidak layak menjadi landasan tegaknya urusan dunia dan agama.

Hilangnya khusyu’ merupakan tanda hilangnya kehidupan dan dinamika hati sehingga membuatnya tidak bisa menerima nasehat dan didominasi oleh hawa nafsu. Bayangkanlah bagaimana keadaannya setelah itu? Pada saat hawa nafsu mendominasi hati, dan nasehat atau peringatan tidak lagi bermanfaat baginya maka berbagai syahwat pun merajalela dan terjadilah perebutan kedudukan, kekuasaan, harta dan nafsu syahwat. Bila hal-hal ini mendominasi kehidupan maka tidak akan terwujud kebaikan dunia atau agama.

Khusyu’ adalah ilmu sebagaimana ditegaskan hadits Nabi saw. Ilmu ini tidak banyak yang mengetahuinya. Bila Anda telah menemukan orang yang khusyu’ yang bisa mengantarkan Anda kepadanya maka berpegang teguhlah kepadanya karena sesungguhnya ia orang yang benar-benar berilmu; sebab itulah tanda ulama’ akhirat:

Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,

dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”

Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’ . ( al-Isra’: 107-109 .)

Sesungguhnya ilmu khusyu’ berkaitan dengan ilmu pensucian hati dari berbagai penyakit dan upaya merealisasikan kesehatannya. Masalah ini merupakan tema yang sangat luas sehingga para ulama’ akhirat memulainya dengan mengajarkan dzikir dan hikmah kepada orang yang berjalan menuju Allah sehingga hatinya hidup. Bila hatinya telah hidup berarti mereka telah membersihkannya dari berbagai sifat yang tercela dan menunjukkannya kepada sifat-sifat yang terpuji. Disinilah perlunya pembiasaan hati untuk khusyu’ melalui kehadiran (hudhur) bersama Allah dan merenungkan berbagai nilai kehidupan. Kesemuanya ini di kalangan para ulama’ akhirat memiliki cara yang disyari’atkan.

Jika Anda dapat memadukannya dengan persahabatan bersama orang- orang shaiih yang khusyu’ maka hal ini akan sangat membantu Anda mencapai khusyu’. Khusyu’ dalam shalat merupakan ukuran kekhusyu’an hati. Kekhusyu’an Anda dalam shalat menjadi tanda kekhusyu’an hati Anda.

Al-Ghazali rahiinahullah berkata:

“Marilah kita mengkaji kaitan shalat dengan kekhusyu’an dan kehadiran hati, kemudian makna-makna batiniyah berikut batas-batas, sebab-sebab dan terapinya. Selanjutnya marilah pula kita kaji rincian tentang hal yang harus ada dalam setiap rukun shalat agar layak menjadi bekal akhirat.”

Syarat Khusyu’ dan Kehadiran Hati dalam Shalat


Ketahuilah bahwa dalil-dalil hal tersebut sangat banyak, di antaranya firman Allah,

“… dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” ( Thaha: 14 )

Lahiriyah perintah adalah wajib, sedangkan lalai adalah lawan ingat. Siapa yang lalai dalam semua shalatnya maka bagaimana mungkin dia bisa mendirikan shalat untuk mengingat-Nya?

Firman-Nya

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” ( al-A’raf: 205 ),

larangan yang secara tegas menyatakan keharaman. Firman- Nya

“Sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (an-Nisa’: 43)

merupakan penjelasan kenapa mabuk-mabukan itu dilarang, yakni berketerusan dalam keadaan lalai dan tenggelam dalam pikiran yang tidak sehat dan lamunan dunia.

Sabda Nabi saw:

“Sesungguhnya shalat itu ketetapan hati dan ketundukan diri.”

Dalam hadits ini kata “shalat” disertai alif dan lam yang memberi arti shalat tertentu, bukan sembarang shalat, kemudian diserta pula kata " innamaa " untuk mempertegas.

Sabda Nabi saw:

“Betapa banyak orang yang menegakkan shalat hanya memperoleh letih dan payah.”

Diriwayatkan dari Basyar bin al-Harits dalam apa yang diriwayatkan oleh Abu Thalib al-Makki dari Sufyan ats-Tsauri, ia berkata,

“Barangsiapa tidak khusyu’ maka shalatnya rusak.”

Diriwayatkan dari al-Hasan bahwa ia berkata,

“Setiap shalat yang tidak disertai kehadiran hati maka ia lebih cepat kepada hukuman.”

Dari Mu’adz bin Jabal,

“Barangsiapa yang di dalam shalat masih mengetahui orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya maka tidak ada shalat baginya.”

Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya seorang hamba menunaikan shalat tetapi tidak ditulis untuknya s eperenamnya dan tidak pula sepersepuluhnya.”

Abdul Wahid bin Zaid berkata,

“Para ulama’ sepakat bahwa seorang hamba tidak akan mendapatkan (nilai) shalatnya kecuali apa yang disadarinya.”

Ia menuturkan pendapat ini sebagai kesepakatan para ulama’. Pendapat seperti ini dari kalangan fuqaha’ yang wira’i dan para ulama’ akhirat terlalu banyak untuk disebutkan. Sikap yang benar dalam masalah ini adalah kembali kepada dalil-dalil syari’at. Berbagai dasar mendukung persyaratan ini, hanya saja konteks fatwa dalam taklif yang zhahir harus diukur dengan ukuran ketidakmampuan makhluk. Tidak mungkin dipersyaratkan kepada manusia agar menghadirkan hati dalam semua shalat, sebab hal ini tidak bisa dilakukan oleh semua orang kecuali sedikit. Jika tidak memungkinkan mempersyaratkan isti’ab karena darurat maka tidak ada jalan lain.

Sekalipun demikian, kita berharap agar keadaan orang yang lalai dalam semua shalatnya itu tidak seperti keadaan orang yang meninggalkan shalat sama sekali. Sebab, pada umumnya, ia melakukan amal secara lahiriah dan masih bisa menghadirkan hati sesaat.

Kehadiran hati adalah ruh shalat. Batas minimal keberadaan ruh ini ialah kehadiran hati pada saat takbiratul ihram. Bila kurang dari batas minimal ini berarti kebinasaan. Semakin bertambah kehadiran hati semakin bertambah pula ruh tersebut dalam bagian-bagian shalat. Berapa banyak orang hidup yang tidak punya daya gerak sehingga mirip dengan mayit. Demikian pula shalat orang yang lalai dalam seluruh pelaksanaan shalatnya kecuali pada waktu takbiratul ihram, seperti orang hidup yang tidak punya daya gerak sama sekali. Kita memohon pertolongan yang sebaik-baiknya dari Allah.

Makna-makna Batin yang dengannya Tercapai “Kehidupan” Shalat


Ketahuilah bahwa makna-makna ini memiliki banyak ungkapan tetapi seluruhnya terangkum dalam enam kalimat, yaitu: Kehadiran hati, tafahhum , ta’zhim , haibah , raja’ , dan haya’ .

Berikut ini kami sebutkan rinciannya beserta sebab-sebabnya kemudian terapi dalam mengupayakannya.

  • Kehadiran hati yang kami maksudkan ialah mengosongkan hati dari hal-hal yang tidak boleh mencampuri dan mengajaknya berbicara, sehingga pengetahuan tentang perbuatan senantiasa menyertainya dan pikiran tidak berkeliaran kepada selainnya. Selagi pikiran tidak terpalingkan dari apa yang tengah ditekuninya sedangkan hatinya masih tetap mengingat apa yang tengah dihadapinya dan tidak ada kelalaian di dalamnya maka berarti telah tercapai kehadiran hati.

  • Tetapi tafahhum (kefahaman) terhadap makna pembicaraan merupakan sesuatu di luar kehadiran hati. Bisa jadi hati hadir bersama lafazh atau bisa jadi juga tidak. Peliputan hati terhadap pengetahuan tentang makna lafazh itulah yang kami maksudkan dengan kefahaman. Berkenaan dengan maqam ini terjadi perbedaan di kalangan manusia, karena tidak semua orang sama dalam memahami al-Qur’an dan berbagai kalimat tasbih. Betapa banyak makna-makna yang sangat halus yang difahami oleh orang yang tengah menunaikan shalat, padahal tidak pernah terlintas dalam hatinya sebelum itu? Dari sinilah kemudian shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, karena ia memahamkan banyak hal yang pada gilirannya dapat mencegah perbuatan maksiat.

  • Sedangkan ta’zhim (rasa hormat) juga merupakan perkara di luar kehadiran hati dan kefahaman; sebab bisa jadi seseorang berbicara kepada budaknya dengan hati yang penuh konsentrasi dan faham akan makna perkataannya tetapi ia tidak menaruh rasa hormat kepadanya. Dengan demikian, ta 'zhim merupakan tambahan bagi kehadiran hati dan kefahaman.

  • Sedangkan haibah (rasa takut yang bersumber dari rasa hormat) merupakan tambahan bagi ta 'zhim bahkan ia adalah ungkapan tentang rasa takut yang bersumber dari ta’zhim , karena orang yang tidak takut tidak bisa disebut ha’ib . Rasa takut dari kalajengking, atau dari keburukan perangai seseorang dan yang sejenisnya termasuk sebab-sebab yang rendah yang tidak disebut takut yang bersumber dari rasa hormat ( mahabah ), sedangkan takut dari penguasa yang dihormati disebut takut yang bersumber dari rasa hormat ( mahabah ). Habibah ialah rasa takut yang bersumber dari penghormatan dan pemuliaan.

  • Sedangkan raja’ (harap) tidak diragukan lagi merupakan tambahan. Betapa banyak orang yang menghormati seorang raja yang ditakuti tetapi tidak diharapkan balasannya. Sedangkan seorang hamba dengan shalatnya harus mengharapkan ganjaran Allah, sebagaimana ia takut hukuman Allah bila melakukan pelanggaran.

  • Sedangkan haya’ (rasa malu) merupakan tambahan bagi semua hal di atas, karena landasannya adalah perasaan selalu kurang sempurna dan selalu berbuat dosa.

Hal-hal yang Menyebabkan Timbulnya Keenam Makna Ini


Ketahuilah bahwa faktor penyebab kehadiran hati adalah himmah (perhatian utama), karena sesungguhnya hatimu mengikuti perhatian utamamu, sehingga ia tidak akan ‘hadir’ kecuali berkaitan dengan hal-hal yang menjadi perhatian utamamu. Bila ada sesuatu yang menjadi perhatian utamamu maka hati pasti akan ‘hadir’ suka atau tidak suka; karena hati terbentuk dan terkondisikan dengan perhatian utama tersebut.

Apabila hati tidak ‘hadir’ dalam shalat maka ia tidak akan pasif begitu saja tetapi pasti berkeliaran mengikuti urusan dunia yang menjadi perhatian utama Anda. Oleh karena itu, tidak ada kiat dan terapi untuk menghadirkan hati kecuali dengan memalingkan himmah (perhatian utama) kepada shalat.

Sementara itu, himmah tidak akan terarahkan kepada shalat selagi belum jelas bahwa tujuan yang dicari tergantung kepadanya. Dan itulah keimanan dan pembenaran bahwa akhirat lebih baik dan lebih kekal, dan bahwa shalat merupakan sarana kepadanya. Bila hal ini didukung oleh hakikat pengetahuan tentang betapa tidak berharganya dunia maka pasti akan melahirkan kehadiran hati dalam shalat. Dengan sebab seperti ini hatimu akan ‘hadir’ bila Anda berada di hadapan sebagian orang besar yang tidak berkuasa menimpakan bahaya dan memberi manfaat kepadamu. Bila hati tidak bisa ‘hadir’ pada waktu munajat kepada Maha Diraja yang di tangan-Nya segala kerajaan, kekuasaan, manfaat dan bahaya, maka janganlah Anda mengira bahwa hal tersebut memiliki sebab lain selain kelemahan iman. Karena itu, berjuanglah Anda untuk memperkuat keimanan dengan jalan tersebut.

Sedangkan faktor penyebab timbulnya tafahhum (kefahaman) , setelah kehadiran hati, ialah senantiasa berfikir dan mengarahkan pikiran untuk mengetahui makna. Terapinya terletak pada menghadirkan hati disertai konsentrasi berfikir dan kesiagaan untuk menolak berbagai lintasan pikiran (yang liar).

Sedangkan terapi menolak berbagai lintasan pikiran yang menyibukkan itu ialah memotong berbagai hal yang menjadi bahan pikirannya, yakni membebaskan diri dari sebab-sebab yang membuat pikiran tertarik kepadanya. Bila hal-hal yang menjadi bahan pikiran itu tidak dilenyapkan maka pikiran tidak akan terpalingkan darinya. Siapa yang mencintai sesuatu pasti banyak mengingatnya, sehingga dengan demikian ingatan kepada yang dicintai pasti melanda hati. Itulah sebabnya Anda melihat orang yang mencintai selain Allah pasti shalatnya tidak terhindar dari berbagai lintasan pikiran yang liar. Sedangkan ta’zhim (rasa hormat) merupakan keadaan hati yang lahir dari dua ma’rifat.

  • Pertama , ma’rifat akan kemuliaan dan keagungan Allah, yang merupakan salah satu dasar iman. Siapa yang tidak diyakini keagungannya maka jiwa tidak akan mau mengagungkannya.

  • Kedua , ma’rifat akan kehinaan diri dan statusnya sebagai hamba yang tidak memiliki kuasa apa-apa.

Dari kedua ma’rifat ini lahir rasa pasrah ( istikanah ), tidak berdaya ( inkisar ) dan tunduk ( khusyu’ ) kepada Allah yang diungkapkannya dengan ta’zhim . Selagi ma’rifat akan kehinaan diri tidak berpadu dengan ma’rifat akan kemuliaan Allah maka keadaan ta ‘zhim dan khusyu’ tidak akan terpadukan, karena or- ang yang merasa tidak memerlukan pihak lain dan merasa aman terhadap dirinya bisa saja ia mengetahui sifat-sifat keagungan orang lain tetapi kondisinya tidak mencerminkan khusyu’ dan ta’zhim , sebab syarat yang lain —yaitu ma’rifat akan kehinaan dirinya— tidak menyertainya.

Sedangkan haibah (rasa takut yang bersumber dari rasa hormat) dan takut merupakan keadaan jiwa yang lahir dari ma’rifat akan kekuasaan Allah, hukuman-Nya, pengaruh kehendak-Nya padanya, dan bahwa seandainya Dia membinasakan orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian maka semua itu tidak mengurangi kerajaan-Nya sedikitpun. Di samping mengetahui berbagai musibah dan ujian yang terjadi pada para Nabi dan Rasul tanpa memiliki kekuasaan untuk menolak. Tegasnya, semakin bertambah pengetahuannya tentang Allah semakin bertambah pula rasa takut dan haibahnya

Sedangkan faktor penyebab timbulnya raja’ (harap) ialah kelembutan Allah, kedermawanan-Nya, keluasan ni’mat-Nya, keindahan ciptaan-Nya, dan pengetahuan akan kebenaran janji-Nya. khususnya janji sorga bagi orang yang shalat. Bila telah ada keyakinan kepada janji-Nya dan pengetahuan akan kelembutan-Nya maka pasti akan muncul raja’.

Sedangkan haya’ (rasa malu) akan’muncul melalui perasaan serba kurang sempurna dalam beribadah dan pengetahuannya akan ketidakmampuannya dalam menunaikan hak-hak Allah. Rasa malu ini akan semakin kuat dengan mengetahui cacat-cacat dirinya, kekurang-ikhlasannya, keburukan batinnya, dan kecenderungannya kepada perolehan segera (duniawi) dalam semua amal perbuatannya. Di samping pengetahuannya akan segala konsekwensi kemuliaan Allah, dan bahwa Dia Mahamengetahui rahasia dan lintasan hati sampai yang sekecil-kecilnya. Berbagai pengetahuan ini apabila benar-benar telah terwujudkan maka pasti akan melahirkan suatu keadaan yang disebut haya’.

Itulah berbagai sebab dari sifat-sifat tersebut. Setiap sifat.yang harus diwujudkan maka terapinya adalah dengan mewujudkan sebab yang dapat memunculkannya. Mengetahui sebab identik dengan mengetahui terapi. Ikatan semua sebab tersebut adalah keimanan dan keyakinan. Kekhusyu’an hati sangat bergantung kepada ada tidaknya keyakinan.

Macam-Macam Tingkatan Orang Sholat


Berdasarkan makna-makna yang telah kami sebutkan dalam masalah hati di atas, manusia terbagi menjadi:

  • Orang lalai yang mendirikan shalat tetapi hatinya tidak hadir sama sekali.

  • Orang yang mendirikan shalat sedang hatinya tidak pernah lalai sama sekali, bahkan bisa jadi sangat berkonsentrasi kepadanya sehingga tidak merasakan apa yang tengah terjadi di hadapannya. Bahkan sebagian orang wajahnya sampai pucat dan dadanya berguncang (karena takut).

Semua itu tidak mustahil terjadi, karena banyak orang yang mengalami hal yang serupa karena takut kepada raja dunia, sekalipun para raja itu adalah makhluk yang lemah dan apa yang diperolehnya dari para raja itu sangat rendah nilainya. Bila Anda tanyakan kepada salah seorang yang baru saja keluar dari pertemuan dengan seorang raja atau menteri untuk menerima tugas-tugas yang harus dilakukannya kemudian Anda tanyakan tentang orang-orang yang ada di sekitarnya atau tentang pakaian yang dikenakan raja, kadang-kadang dia.tidak bisa memberitahukannya karena konsentrasinya kepada hal-hal yang tidak berkenaan dengan pakaiannya atau orang-orang yang ada di sekitarnya,

“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” ( al-An’am: 132 )

Apa yang diperoleh setiap orang dari shalatnya sesuai dengan kadar rasa takut, khusyu’ dan ta’zhim-nya, karena tempat penilaian Allah adalah hati.

Tidak akan selamat kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat. Semoga Allah mengaruniakan kelembutan dan kedermawan- Nya kepada kita.

Obat yang Bermanfaat dalam Menghadirkan Hati


Ketahuilah bahwa orang Mu’min harus mengagungkan Allah, takut kepada-Nya, berharap dari-Nya, dan malu karena berbagai kekurangannya. Di samping keimanannya, hendaklah kondisi-konlisi tersebut tidak terlepas dari dirinya. Sekalipun kekuatan keadaan tersebut bergantung kepada kekuatan keyakinannya tetapi lenyapnya keadaan tersebut dalam shalatnya tidak punya sebab lain selain karena berpencarnya pikiran, liarnya perhatian, ketidak- hadiran hati dalam munajat, dan kelalaian dari shalat. Tidak ada hal yang menjadikan seseorang melalaikan shalatnya kecuali lintasan-lintasan pikiran yang datang dan menyibukkan. Karena itu, obat untuk menghadirkan hati ialah mengusir lintasan-lintasan pikiran tersebut. Sementara itu, sesuatu tidak dapat diusir kecuali dengan mengusir sebab-sebabnya. Hendaklah Anda mengetahui sebabnya dan sebab timbulnya lintasan tersebut. Bisa jadi sebab tersebut berupa perkara eksternal atau perkara batin yang bersifat internal.

Sebab eksternal yang tertangkap oleh pendengaran atau nampak oleh penglihatan kadang menarik perhatian utama hingga terbawa dan hanyut kepadanya kemudian pikiran pun terseret kepada hal-hal lainnya secara berantai. Penglihatan tersebut menjadi sebab untuk memikirkan kemudian sebagian pikiran itu menjadi sebab bagi sebagian yang lain. Siapa yang kuat niatnya dan tinggi himmah-nyd maka apa yang terjadi pada panca inderanya tidak akan membuatnya lalai, tetapi orang yang lemah pasti pikirannya akan berpencar. Terapinya ialah memutuskan sebab-sebab tersebut; dengan menundukkan pandangannya, atau shalat di ruangan yang gelap, atau tidak meletakkan sesuatu di hadapannya agar tidak mengganggu konsentrasinya, mendekat ke dinding pada waktu shalat agar jangkauan pandangannya tidak terlalu luas, menghindari shalat di jalanan umum, atau di tempat-tempat yang penuh dekorasi, atau di atas hamparan yang penuh gambar. Oleh karena itu, para ahli ibadah biasanya melakukan ibadah di ruangan kecil agar bisa lebih konsentrasi. Bahkan sebagian mereka menundukkan pandangan, tidak melampaui tempat sujud. Mereka berpendapat bahwa orang yang sempurna shalatnya ialah orang yang shalat tanpa mengetahui orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Ibnu Umar ra tidak pernah meletakkan mushaf atau pedang di tempat shalat, bahkan bila ditemukan tulisan segera dihapusnya.

Sedangkan sebab-sebab batiniah lebih berat. Siapa yang memiliki berbagai obsesi duniawi maka pikirannya tidak terbatas pada satu aspek saja, tetapi senantiasa berkeliaran dari satu aspek ke aspek yang lain, sehingga menundukkan pandangan tak lagi berguna baginya. Karena apa yang telah bersemayam di hati sebelumnya telah cukup menyibukkannya. Terapi orang ini ialah dengan menarik jiwanya dengan “paksa” untuk memahami apa yang dibacanya dalam shalat dan membuatnya sibuk dengannya dan melupakan yang lainnya. Hal lain yang akan membantunya melakukan hal tersebut ialah mempersiapkan diri sebelum takbiratul ihram dengan menyegarkan jiwa melalui ingatan akan akhirat, posisi munajat, dan urgensi beridiri di hadapan Allah yang Maha Melihat. Atau mengosongkan hatinya dari segala hal yang dapat mengganggu pikirannya sebelum takbiratul ihram.

Rasulullah saw pernah bersabda kepada Utsman bin Thalhah:

“Sesungguhnya aku lupa mengatakan kepadamu agar menutup panci yang ada di rumah, karena di dalam rumah tidak boleh ada sesuatu yang meng-ganggu shalat seseorang.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud)

Ini merupakan cara menenangkan pikiran. Jika gejolak pikirannya tidak dapat ditenangkan dengan obat penenang ini maka tidak ada yang dapat menyelamatkannya kecuali hal yang dapat menghancurkan “bakteri penyakit” dari dalam jaringan saraf, yaitu mencermati perkara-perkara yang dapat menghalangi upaya untuk menghadirkan hati. Tak diragukan lagi bahwa hal itu kembali kepada berbagai perhatian utamanya yang sudah didominasi oleh syahwat. Karena itu, ia harus menghukum jiwanya dengan melepaskan diri dari berbagai syahwat tersebut dan memutuskan berbagai ikatannya.

Diriwayatkan bahwa Nabi saw pernah shalat dengan memakai kain pemberian Abu Jaham yang bergambar. Seuasai dari shalatnya, Nabi saw melepas kain tersebut seraya bersabda:

“Bawalah kain itu ke Abu Jaham karena ia baru saja melalaikan aku dari shalatku, dan bawakanlah kepadaku Ambijaniyah Abu Jaham.” (Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw pernah memerintahkan penggantian tali terlimpahnya kemudian Rasulullah saw tergerak untuk melihatnya di dalam shalatnya karena baru, kemudian Rasulullah saw memerintahkan untuk melepas tali yang baru itu dan mengembalikan tali yang lama. 6

Nabi saw pernah dari atas mimbar membuang cincin yang melekat di tangannya seraya bersabda:

“Cincin ini menyibukkan aku, sekali memandangnya dan sekali memandang kalian.”

Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah pernah shalat di dalam kebun kemudian ia tertarik kepada seekor binatang yang terbang di atas pohon yang mencari jalan keluar kemudian Abu Thalhah memperhatikannya sejenak hingga tidak tahu berapa raka’at ia shalat? Kemudian ia menyebutkan kepada Rasulullah saw fitnah yang menimpanya tersebut seraya berkata: "Wahai Rasulullah, kebun itu aku shadaqahkan, maka aturlah sesuai kehendakmu

Mereka berbuat demikian untuk memutuskan hal yang menjadi bahan pikiran di samping sebagai kafarat bagi kekurang-sempurnaan shalat yang dialaminya. Itulah obat mujarab bagi penyakit tersebut dan tidak ada obat lainnya yang bermanfaat.

Adapun upaya penenangan dan ajakan untuk memahami dzikir (bacaan) yang kami sebutkan di atas maka tindakan tersebut hanya bermanfaat bagi syahwat yang lemah dan fokus perhatian yang tidak menyibukkan kecuali pinggiran hati. Sedangkan bagi syahwat yang kuat dan bergejolak, upaya penenangan itu tidak akan bermanfaat sehingga akan senantiasa menariknya dan menarik Anda kemudian mengalahkan Anda dan akhirnya semua shalat Anda hanyut dalam daya tariknya. Sekalipun demikian, tetap harus dilakukan mujahadah, mengembalikan hati kepada shalat, dan mengurangi sebab-sebab yang dapat menyibukkannya. Itulah obat pahit dan karena saking pahitnya dianggap buruk oleh tabi’at, sehingga penyakit yang ada menjadi akut. Bahkan para tokoh berusaha keras shalat dua raka’at tanpa mengingat perkara dunia tetapi mereka tidak mampu, apalah lagi orang-orang seperti kita. Seandainya setengah atau sepertiga shalat kita terbebas dari was-was (bisikan-bisikan) niscaya kita termasuk orang yang mencampur amal shaleh dengan perbuatan yang tidak baik.

Rincian tentang Hal yang Harus Hadir dalam Hati pada Setiap Rukun dan Syarat dari Berbagai Amalan Shalat

Kewajiban Anda, jika engkau termasuk orang-orang yang menginginkan akhirat, ialah hendaknya engkau pertama-tama tidak melalaikan berbagai peringatan yang terdapat di dalam syarat-syarat dan rukun-rukun shalat. Syarat- syarat yang mendahului shalat ialah: Adzan, bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, berdiri tegak lurus dan niat.

Apabila engkau mendengar seruan mu’adzdzin maka hadirkanlah di dalam hatimu (gambaran tentang) dahsyatnya seruan hari kiamat dan bersegeralah dengan lahir dan batinmu untuk segera memenuhinya; karena orang-orang yang bersegera memenuhi seruan ini adalah orang-orang yang dipanggil dengan penuh lemah lembut pada hari “pagelaran akbar.” Arahkanlah hatimu kepada seruan ini. Jika engkau mendapatinya penuh kegembiraan dan kesenangan: penuh dengan keinginan untuk memulainya maka ketahuilah bahwa akan datang kepadamu seruan berita gembira dan kemenangan pada hari pengadilan. Rasulullah saw bersabda:

“Tenteramkanlah hati kami wahai Bilal.”

Yakni tenteramkanlah dengan shalat dan seruan adzan; karena shalat merupakan belahan jiwanya.

Adapun bersuci , jika engkau mewujudkannya di tempatmu yang merupakan penutupmu yang paling jauh, di dalam pakaianmu yang merupakan bungkusmu yang paling dekat, dan di dalam permukaan kulitmu yang merupakan kulitmu yang paling dekat, maka janganlah engkau melalaikan hatimu yang merupakan dirimu. Berusahalah dengan keras untuk menyucikannya dengan taubat, penyesalan atas berbagai dosa, dan tekad untuk meninggalkan maksiat di masa yang akan datang. Sucikanlah batinmu dengannya karena ia merupakan tempat penilaian Tuhanmu.

Adapun menutup aurat , maka ketahuilah bahwa maknanya ialah menutupi keburukan-keburukan badanmu dari pandangan makhluk, karena lahiriah badanmu merupakan tempat penilaian makhluk. Lalu bagaimana dengan aurat-aurat dan keburukan-keburukan batinmu yang tidak dapat melihatnya kecuali Tuhanmu yang Maha Mulia? Hadirkanlah keburukan-keburukan itu di dalam benakmu dan tuntutlah dirimu agar menutupinya, dan pastikan bahwa tidak ada sesuatu atau siapa pun yang dapat menutupi mata Allah. Tetapi keburukan-keburukan itu dapat ditutupi dengan penyesalan, rasa malu dan takut (kepada Allah). Karena itu, menghadirkan keburukan-keburukan itu di dalam hatimu bisa membangkitkan tentara-tentara rasa takut dan malu (kepada Allah) dari tempatnya kemudian dengan bantuannya engkau dapat menundukkan jiwamu, hatimu menjadi tenteram di bawah tekanan rasa malu (kepada Allah), lalu engkau berdiri di hadapan Allah sebagai hamba yang berdosa, berbuat jahat dan lalai, yang menyesal, kemudian kembali kepada Pelindungnya seraya menundukkan kepala karena malu dan takut.

Menghadap kiblat ialah memalingkan lahiriah wajahmu dari seluruh arah ke arah Baitullah. Apakah engkau mengira bahwa memalingkan hati dari semua perkara kemudian mengarahkannya hanya kepada Allah tidak dituntut darimu? Sungguh, tidak ada tuntutan selainnya! Hal-hal yang lahirriah ini tidak lain adalah cermin gerakan batin, pengendalian anggota badan, dan pemantapannya pada satu arah agar tidak merusak hati; karena apabila hal- hal lahiriah itu telah rusak dan zhalim dengan berpaling ke berbagai arahnya maka hati akan mengikutinya dan terpalingkan dari Allah. Hendaklah wajah hatimu bersama wajah badanmu. Ketahuilah bahwa wajah tidak akan dapat menghadap ke arah Baitullah kecuali dengan berpaling dari selainnya, demikian pula hati tidak akan dapat menghadap kepada Allah kecuali dengan mengosongkannya dari selain-Nya.

Adapaun berdiri tegak lurus , tidak lain adalah cermin diri dan hati di hadapan Allah. Hendaklah kepalamu yang merupakan bagian teratas dari badanmu tertunduk khusyu’, dan hendaklah amalan meletakkan kepala (di tanah) dari tempatnya yang tinggi menjadi peringatan atas kewajiban hati untuk tawadhu’, merendahkan diri dan menghindari kesombongan. Ingatlah di sini akan dahsyatnya suasana berdiri di hadapan Allah pada hari pengadilan akbar. Ketahuilah sekarang bahwa engkau berdiri di hadapan Allah yang Maha Mengetahui dirimu, maka pada saat itu pula pikiranmu menjadi tenang, anggota badanmu tertunduk dan semua eksistensi dirimu menjadi tenteram.

Sedangkan niat , maka hendaklah engkau bertekad memenuhi perintah Allah untuk menunaikan shalat, menyempurnakannya, menghindari segala hal yang dapat membatalkannya, dan mengikhlaskan semua itu semata-mata karena mencari ridha Allah; berharap pahala dari-Nya dan takut siksa-Nya; demi mendekatkan diri kepada-Nya, dan mengakui karunia-N ya dengan mengizinkan bermunajat kepada-Nya; sekalipun engkau kurang beradab kepada-Nya dan banyak berbuat maksiat terhadap-Nya. Akuilah dalam dirimu bahwa bermunajat kepada-Nya adalah hal yang sangat agung. Perhatikanlah kepada siapa engkau bermunajat, bagaimana engkau bermunajat, dan dengan apa engkau bermunajat? Di sinilah jidatmu harus berkeringat karena malu, dadamu bergetar karena gentar, dan wajahmu pucat karena takut.

Sedangkan takbir , apabila lisanmu mengucapkannya maka hendaklah hatimu tidak mendustakannya. Jika di dalam hatimu ada sesuatu yang lebih besar dari Allah maka Allah menyaksikan bahwa engkau pendusta, sekalipun perkataan itu benar sebagaimana orang-orang munafiq bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Jika hawa nafsumu lebih mendominasi dirimu Ketimbang perintah Allah maka engkau lebih ta’at kepada hawa nafsu ketimbang kepada Allah; bahkan engkau telah menjadikannya sebagai Tuhanmu. Ucapanmu “Allah Maha Besar” nyaris menjadi ucapan lisan semata-mata dan tidak didukung oleh hati. Betapa bahaya hal tersebut jika ;idak segera disusuli taubat, istighfar, bersangka baik akan kemurahan dan ?ema’afan-Nya.

Sedangkan do’a istiftah , maka ucapanmu yang pertama kali ialah: “Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan semua langit dan bumi.” Wajah yang dimaksudkan bukan wajah lahir, karena wajah lahirmu hanya engkau hadapkan ke arah kiblat, tetapi wajah hati yang dengannnya engkau menghadap kepada Pencipta semua langit dan bumi. Perhatikanlah, apakah wajah hatimu menghadap kepada angan-angan dan berbagai obsesinya di rumah dan pasar, mengikuti syahwat, ataukah menghadap kepada Pencipta semua langit? Jangan sampai pembukaan munajatmu itu dusta dan palsu. Wajah tidak akan menghadap kepada Allah kecuali dengan memalingkannya dari selain-Nya. Berjuanglah segera untuk mengarahkannya kepada-Nya. Jika engkau tidak mampu melakukannya terus-menerus maka hendaklah ucapanmu jujur dan benar adanya.

Bila engkau mengucapkan, " … hanifan musliman " ( berlaku lurus dan memberi keselamatan ), maka hendaklah terbayang dalam benakmu bahwa orang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin terselamat dari gangguan lidah dan tangannya. Jika tidak demikian maka engkau dusta. Berjuanglah untuk berlaku demikian di masa yang akan datang, dan sesahlah berbagai kondisi buruk di masa lalu.

Bila engkau mengucapkan, " Dan aku tidak termasuk orang-orang Musyrik ," maka ingatlah dalam benakmu akan kemusyrikan yang tersembunyi, karena firman Allah

“Barangsiapa mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah melakukan amal yang shalih dan tidak menyekutukan seorang dan dalam beribadah kepada Tuhan-Nya.” ( al-Kahfi: 110 )

turun berkenaan dengan orang yang beribadah dengan tujuan mencari ridha Allah dan pujian manusia. Hati-hatilah dari kemusyrikan ini dan hendaknya engkau merasa malu di dalam hatimu jika engkau menyatakan tidak termasuk orang-orang musyrik tetapi engkau tidak terbebas dari kemusyrikan ini, karena istilah kemusyrikan ini berlaku pada yang sedikit dan banyak.

Bila engkau mengucapkan, " Hidupku dan matiku untuk Allah " maka ketahuilah bahwa ini merupakan keadaan seorang hamba yang tidak memiliki dirinya dan menjadi milik Tuannya. Jika ucapan itu muncul dari orang yang keridhaan, kemarahan, berdiri, duduk, semangat hidup dan rasa takutnya dari kematian karena perkara-perkara dunia maka hal itu tidak sesuai sama sekali dengan ucapannya.

Bila engkau mengucapkan, " Aku berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk " maka ketahuilah bahwa ia adalah musuhmu yang senantiasa mengintai untuk memalingkan hatimu dari Allah, semata-mata karena dengki kepada munajat yang engkau ucapkan kepada Allah dan karena sujudmu kepada-Nya, padahal ia dilaknati dengan sebab satu kali sujud yang ditinggalka- nnya. Permintaanmu akan perlindungan Allah darinya ialah dengan mening- galkan apa yang disenanginya dan menggantinya dengan apa yang disenangi Allah, bukan dengan ucapan semata-mata.

Adapun berkenaan dengan bacaan, maka manusia terbagi menjadi tiga golongan:

  • Pertama , orang yang lidahnya bergerak tetapi hatinya lalai.
  • Kedua , orang yang lidahnya bergerak dan hatinya mengikuti lidah sehingga dapat memahami dan mendengarnya, seolah-olah ia mendengarnya dari orang lain. Bacaan seperti ini merupakan derajat ashhabul yamin .
  • Ketiga , orang hatinya telah terlebih dahulu menyerap nilai-nilai kemudian lidah melayani hati untuk menerjemahkannya.

Perincian terjemahan nilai-nilai itu ialah apabila engkau mengucapkan, " Bismillahirrahmanirrahim " maka niatkanlah tabarruk untuk memulai bacaan Kalamullah , dan fahamilah bahwa semua urusan adalah dengan (izin) Allah, sehingga sudah semestinya " segala puji milik Allah " ( al-hamdu lillahi ). Yakni rasa syukur harus disampaikan kepada Allah karena segala ni’mat berasal dari Allah. Barangsiapa meyakini ni’mat berasal dari selain Allah atau bersyukur kepada selain Allah, maka " basmalah " dan " hamdalah "-nya mengandung kekurangan sesuai dengan keberpalingannya kepada selain Allah.

Bila engkau mengucapkan, " ar-Rahmanirrahim " maka hadirkanlah di dalam hatimu berbagai macam kelembutan-Nya agar engkau dapat melihat rahmat-Nya dengan jelas sehingga akan menumbuhkan harapan kepada-Nya. Kemudian tumbuhkan rasa ta’zhim dan takut dengan bacaan: " Maliki yaumiddin ." Penghayatan akan keagungan-Nya harus ditumbuhkan karena tidak ada kerajaan kecuali bagi-Nya, sedangkan rasa takut perlu ditumbuhkan karena dahsyatnya hari pembalasan yang ada dalam kekuasaan-Nya. Kemudian perbaharuilah keikhlasan dengan ucapan: " Iyyaka na’budu. " Dan perba- haruilah kesadaran akan ketidakmampuan, kebutuhan, keterlucutan dari segala daya dan kekuatan, dengan ucapan: " Wa iyyaka nasta’in ." Sadarilah bahwa keta’atanmu tidak akan terwujudkan kecuali dengan pertolongan-Nya. Bagi-Nya segala karunia, karena telah memperkenankanmu untuk mennta’ati-Nya, meminta kepadamu berkhidmat untuk menyembah-Nya dan menjadikanmu berhak melakukan munajat kepada-Nya. Seandainya Dia tidak memperkenan- kanmu niscaya engkau termasuk orang-orang yang terusir bersama syetan yang terkutuk.

Apabila engkau telah mengucapkan ta’awwudz , basmalah, tahmid, dan menampakkan kebutuhan akan pertolongan secara mutlak maka tentukanlah permintaanmu dan janganlah engkau meminta kecuali kebutuhanmu yang paling penting seraya mengucapkan, " Ihdinash-shirathal mustagim " yang menuntun kami ke sisi-Mu dan mengantarkan kami kepada keridhaan-Mu. Kemudian tambahlah dengan penjelasan, rincian, penegasan dan pembuktian dengan orang-orang yang telah mendapatkan limpahan ni’mat hidayah di kalangan para Nabi, shiddiqin, syuhada’ danshalihin, bukan orang-orang yang dimurkai-Nya dari kalangan orang-orang kafir dan orang-orang yang menyim- pang dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Kemudian mohonlah jawaban seraya mengucapkan: " Aamiin ."

Apabila engkau membaca al-Fatihah dengan cara demikian maka mudah-mudahan engkau termasuk orang-orang yang disebutkan oleh Allah dalam sebuah hadits Nabi saw:

"Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku dua bagian: Sebagiannya untuk-Ku dan sebagiannya lagi untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta … Hamba mengucapkan, “Alhamdulillah Rabbil 'alamin” lalu Allah menjawab: “Hamba-Ku memuji-Ku…” (Diriwayatkan oleh Muslim)

Itulah makna ucapannya, " Sami’Allahu liman hamidah " (Allah mendengar orang yang memuji-Nya).

Seandainya shalatmu tidak mendapatkan apa-apa selain bahwa engkau disebut Allah di dalam kemuliaan dan keagungan-Nya maka hal itu sudah merupakan perolehan yang sangat besar, maka bagaimana pula dengan pahala dan keutamaan-Nya yang engkau harapkan? Demikian pula engkau harus memahami surat-surat lain yang engkau baca. Janganlah engkau melalaikan perintah, larangan, janji, ancaman, nasehat, berita-berita-Nya tentang para Nabi-Nya dan berbagai karunia dan kebaikan-Nya. Masing-masing darinya memiliki hak. Optimisme adalah hak janji, takut adalah hak ancaman, 'azam adalah hak perintah dan larangan, mengambil pelajaran adalah hak nasehat, syukur adalah hak penyebutan karunia, dan mengambil 'ibrah adalah hak berita-berita tentang para Nabi.

Apabila mendengar firman Allah,

“Apabila langit terbelah” ( al-Insyiqaq: 1 )

Ibrahim an-Nakha’i gemetaran sampai seluruh badannya bergetar.

Abdullah bin Waqid berkata,

“Aku pernah melihat Ibnu Umar shalat dalam keadaan tidak berdaya. Hatinya pantas terbakar oleh janji dan ancaman Tuhannya, karena ia seorang hamba yang penuh dosa lagi hina di hadapan Tuhan yang Maha Perkasa.”

Makna-makna ini muncul sesuai dengan tingkat kefahaman, sedangkan kefahaman sangat ditentukan oleh kecukupan ilmu dan kejernihan hati. Tingkatan-tingkatan tersebut tidak ada batasnya.

Shalat adalah kunci hati. Di dalam shalat terungkap berbagai rahasia kalimat. Ini adalah hak bacaan, hak dzikir dan tasbih. Kemudian hendaknya dijaga suasana haibah dalam bacaan dengan membaca secara tartil dan tidak terlalu cepat, karena cara baca seperti ini memudahkan untuk perenungan. Hendaknya dibedakan antara intonasi dalam ayat rahmat, adzab, janji, ancaman, pujian, ta’zhim dan sanjungan.

Apabila an-Nakha’i membaca firman Allah,

“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak. dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya” ( al-Mu’minun: 91 )

ia menurunkan suaranya seperti orang yang malu untuk menyebutkan sesuatu yang tidak pantas bagi-Nya.

Diriwayatkan bahwa kepada pembaca al-Qur’an akan dikatakan:

“Bacalah dan naiklah dan bacalah secara tartil sebagaimana kamu dahulu membaca secara tartil di dunia.”

Sedangkan lamanya berdiri merupakan peringatan kepada tegaknya hati bersama Allah di atas satu bentuk “kehadiran.” Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya Alah 'azza wajalla menghadap kepada orang yang shalat selama dia tidak berpaling.”

Sebagaimana kepala dan mata harus dijaga agar tidak berpaling ke berbagai arah demikian pula batin (hati) harus dijaga agar tidak berpaling kepada selain shalat. Apabila berpaling kepada selain-Nya maka ingatkanlah kepada pengawasan Allah kepadanya dan betapa buruk sikap mengabaikan Dzat yang dimunajati pada saat orang yang bermunajat itu lalai; agar ia kembali. Usahakanlah kekhusyu’an hati karena keterhindaran dari berpaling secara batin dan zhahir merupakan buah kekhusyu’an. Bila batin khusyu’ maka zhahir pun akan khusyu’.

Di dalam shalatnya, Abu Bakar ash-Shiddiq laksana tiang, sedangkan Ibnu Zubair ra laksana kayu. Semua itu diperlukan di hadapan orang yang dihormati di dunia ini, maka apalah lagi di hadapan Raja Diraja di kalangan orang-orang yang mengetahui Raja Diraja? Setiap orang yang bersikap tenang dan khusyu’ di hadapan selain Allah tetapi acuh tak acuh di hadapan Allah maka hal itu adalah karena kekurang-sempurnaan ma’rifat-nya kepada Al- lah; bahwa Dia Mahamengetahui batin dan hatinya.

Tentang firman Allah:

“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (shalat) dan (melihatpula) pembahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” ( asy-Syu’ara’: 218-219 )

Ikrimah berkata: Yakni ketika berdiri, ruku’, sujud dan duduknya.

Adapun ketika ruku’ dan sujud maka hendaknya engkau memperbarui ingatan akan kesombongan Allah, dan engkau angkat kedua tanganmu seraya memohon perlindungan melalui ampunan Allah dari siksa-Nya, dengan memperbarui niat dan mengikuti sunnah Nabi saw. Kemudian engkau memulai merendahkan dan menundukkan diri dengan melakukan ruku’, berusaha keras dalam memperhalus hati dan memperbarui kekhusyu’an, merasakan kehinaanmu dan kemuliaan Rabbmu, meminta bantuan kepada lisanmu untuk mengukuhkan hal itu ke dalam hati, kemudian engkau memuji Allah dan mengakui keagungan-Nya; bahwa Dia lebih Agung dari setiap keagungan, dan engkau ulangi hal itu di dalam hatimu untuk menegaskannya berkali-kali. Kemudian engkau bangkit dari ruku’ seraya mengharap agar Dia melimpahkan rahmat kepadamu, dan engkau tegaskan harapan itu pada dirimu dengan ucapan: “Sami’allahu liman hamidah,” yakni semoga Dia mengijabahi or- ang yang mensyukuri-Nya. Kemudian engkau susuli rasa syukur yang akan memberikan tambahan itu dengan ucapan: " Rabbanaa lakal hamdu " dan engkau perbanyak ucapan: " mil’as samawati wal ardhi " (sepenuh langit dan bumi). Kemudian engkau handuk bersujud yang merupakan derajat ketundukan yang paling tinggi, lalu anggota badanmu yang paling berharga -yaitu wajah- engkau tempelkan kepada sesuatu yang paling rendah yaitu tanah. Jika memungkinkan, sujudlah langsung ke tanah tanpa alas karena hal ini lebih bisa khusyu’ dan bukti yang paling baik atas kerendahan. Jika engkau telah meletakkan dirimu berada pada tempat kerendahan maka ketahuilah bahwa engkau telah meletakkannya di tempat yang tepat dan engkau kembalikan cabang kepada asalnya, karena sesungguhnya engkau diciptakan dari tanah dan akan kembali kepadanya. Pada saat itulah hendaknya engkau perbarui keagungan Allah pada batimu seraya mengucapkan: " Subhana rabbiyal a’laa ," dan tegaskanlah berulang-ulang karena ucapan sekali sangat lemah pengaruhnya. Jika hatimu terasa “sensitif” dan hal itu telah nampak maka bersungguh-sungguhlah mengharap rahmat Allah karena rahmat-Nya sangat cepat datang kepada keadaan lemah dan merendahkan diri, bukan kepada kesombongan dan kecongkakan. Kemudian angkatlah kepalamu seraya bertakbir dan memohon keperluanmu dengan mengucapkan: " Rabbighfir warham watajaawaz ammaa ta’lam " (Ya Allah, ampunilah, kasihilah dan hapuskanlah (segala dosa) yang Engkau ketahui," atau do’a-do’a lainnya yang engkau suka. Kemudian tegaskanlah tawadhu’ berkali-kali lalu sujudlah lagi sebagaimana sebelumnya. Adapun tasyahhud, apabila engkau telah duduk tasyahhud , maka duduklah dengan penuh adab dan nyatakanlah bahwa semua shalawat dan kebaikan yakni berupa akhlaq yang suci adalah semata-mata milik Allah; demikian pula kerajaan adalah milik Allah. Itulah makna " at-tahiyyat ," dan hadirkanlah Nabi saw dan pribadinya yang mulia di dalam hatimu seraya mengucapkan: " Salamun 'alaika ayyuhan Nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh ." Dan berharaplah sungguh-sungguh bahwa do’a itu pasti sampai kepada-Nya dan bahwa Dia membalasmu dengan balasan yang lebih baik. Kemudian ucapkanlah salam pada dirimu dan semua hamba Allah yang shalih. Kemudian berha- raplah bahwa Allah akan membalas ucapan salammu dengan penuh sebanyak jumlah hamba-Nya yang shalih.

Kemudian berilah kesaksian kepada wahdaniyah- Nya dan kerasulan Muhammad saw seraya memperbarui janji kepada Allah dengan mengulangi dua kalimat syahadat untuk mendapatkan pertahanan dengan kalimat tersebut. Kemudian berdo’alah di akhir shalatmu dengan do’a yang ma’tsur disertai sikap tawadhu’, khusyu’, merendahkan diri, dan berharap ijabah kepada-Nya. Sertakanlah kedua orang tuamu dan seluruh kaum Muslimin di dalam do’amu. Pada saat mengucapkan salam tujukanlah kepada para malaikat dan hadirin, dan akhirilah shalat dengannya. Bersyukurlah kepada Allah atas perkenan-Nya untuk menyempurnakan keta’atan ini. Anggaplah bahwa shalatmu ini merupakan shalat terakhir yang bisa jadi engkau tidak mendapatkan kesempatan untuk melakukannya lagi.

Kemudian tanamkan rasa malu dan sungkan di dalam hatimu karena berbagai kekurangan dalam menunaikan shalat. Takutlah bahwa shalatmu tidak diterima dan bahwa engkau dimurkai karena dosa yang nyata atau tersembunyi sehingga membuat shalatmu tertolak. Sekalipun demikian berha- raplah bahwa Allah akan menerimanya dengan kemurahan dan keutaman- Nya. Adalah Yahya bin Watsab apabila shalat ia diam lama sekali sehingga terlihat kepayahan karena shalat. Ibrahim diam setelah shalat sesaat seperti orang sakit.

Demikianlah rincian shalat orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalat mereka; orang-orang yang senantiasa menjaga shalat mereka; orang-orang yang berkomitmen kepada shalat mereka; or- ang-orang yang bermunajat kepada Allah seoptimal mungkin dalam ‘ubudiyah. Hendaklah seseorang berusaha melakukan shalat yang khusyu’ ini. Bila mampu melakukannya seoptimal mungkin maka hendaklah ia bergembira dan bila tidak dapat melakukannya hendaklah ia bersedih hati dan berusaha keras untuk bisa melakukannya. Adapun shalat orang-orang yang lalai maka shalat mereka terancam bahaya kecuali mendapatkan limpahan rahmat Allah yang Mahaluas dan kemurahan-Nya yang melimpah. Kita memohon kepada Allah semoga berkenan melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya kepada kita, karena tidak ada wasilah (jalan) bagi kita kecuali mengakui ketidakmampuan untuk melak- sanakan keta’atan kepada-Nya. Ketahuilah bahwa membersihkan shalat dari berbagai cacat dan memurnikannya semata-mata karena mencari ridha Allah serta menunaikannya dengan berbagai syarat batin yang telah kami sebutkan di atas, seperti khusyu’, ta’zhim dan malu tersebut, merupakan syarat untuk mencapai cahaya di dalam hati.

Tetapi hal-hal tersebut tidak akan nampak kecuali di dalam cermin yang bersih. Apabila cermin tersebut buram maka hidayah akan terhalang darinya, bukan karena kebakhilan °emberi ni’mat hidayah tetapi karena kotoran yang menumpuk di tempat curahan hidayah.

Demikianlah, kunci bertambahnya derajat adalah shalat. Allah berfirman:

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam, shalatnya.” ( al-Mu’minun: 1-2 ).

Allah memuji mereka, setelah iman, dengan shalat khusus yaitu shalat yang disertai kekhusyu’an. Kemudian mengakhiri sifat-sifat orang-orang yang beruntung tersebut juga dengan firman-Nya:

"Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. " ( al-Mu’minun: 9 ).

Selanjutnya Allah berfirman menyebutkan hasil dari sifat-sifat tersebut:

“Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” ( al-Mu’minun: 10-11 ).

Kita memohon semoga Allah berkenan menjadikan kita termasuk di antara mereka dan melindungi kita dari siksa yang akan ditimpakan kepada orang yang perkataannya baik tetapi amal perbuatannya buruk. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Pemberi kebaikan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas setiap hamba pilihan."

Sumber : Sa’id Hawa, 1998, Intisari Ihya Ulumuddin Al Ghazali : Mensucikan Jiwa, Konsep Tazkiyatun nafs Terpadu, Robbani Press