Dimanakah ruh manusia ketika meninggal dan berada di alam kubur ?

Ruh manusia

Apakah ruh manusia “berdiam diri” di kuburnya, atau bisa kembali ke alam dunia? Dimanakah ruh manusia ketika meninggal dan berada di alam kubur ?

Setelah jenazah diantarkan atau dimasukkan ke kuburnya, Allah memerintahkan agar ruh jenazah itu kembali ke jasadnya, sebagaimana halnya ketika ia hidup di dunia. Terkait hal itu, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian berpendapat bahwa ruh itu dikembalikan ke dalam jasadnya seperti sediakala, sebagaimana ia masih hidup di dunia. Kemudian jasad yang telah dikembalikan ruhnya itu duduk dan ditanya oleh malaikat Munkar dan Nakir.

Sebagian yang lain berpendapat bahwa yang ditanya itu ruhnya saja, bukan ruh yang telah dikembalikan ke dalam jasadnya. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa ketika ditanya oleh malaikat, ruh tersebut berada di antara jasad dan kain kafannya. Meskipun ada perbedaan pendapat, yang perlu diingat di sini adalah ada banyak hadis shahih yang meriwayatkan adanya pertanyaan dan siksa kubur. Abū Laits menerangkan,

“Jika ingin selamat dari siksa kubur, seseorang harus senantiasa menjalankan empat perkara dan menjauhi empat perkara. Empat perkara yang harus dijalankan adalah memelihara shalat, sedekah, membaca al-Qur’an, dan membaca tasbih. Keempat perkara ini akan menerangi dan melapangkan kuburnya. Sedangkan empat perkara yang harus selalu dijauhi adalah berdusta, berkhianat, mengadu domba, dan kencing yang mengenai badan.”

Ruh berasal dari bahasa Arab, yang merupakan bentuk tunggal dari kata “ arwāh ” yaitu sesuatu yang dengannya seseorang dapat hidup baik laki-laki maupun perempuan. Ruh juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang terjadi dengan perintah Allah dan penciptaan-Nya serta pengaruh-Nya dalam membuat kehidupan pada jasad ini.

Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat mengenai ruh yang terdapat dalam surat Al-Isrāʻ ayat 85 :

"Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Ruh menurut Ibnu Katsīr adalah dasar atau asal jiwa dan materinya, dan jiwa seseorang terdiri darinya dan bersambung ke badan. Al-Junaid berkata :

“Ruh adalah sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak diperlihatkan kepada hamba-Nya, maka tidak boleh bagi seseorang untuk membahasnya secara mendetail”.

Seluruh ruh manusia yang telah meninggal dunia akan berada di tempat, kedudukan dan keadaan yang berbeda-beda. Ruh orang-orang yang beriman dan beramal shalih akan berada di tempat yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keimanan dan amal shalih mereka ketika mereka masih hidup di dunia. Begitu juga dengan keadaan orang-orang kafir dan fasik.

Dari keterangan dalil al-Qur’an dan al-Sunnah, ada beberapa kedudukan dan keadaan yang akan diterima oleh arwah manusia ketika meninggal, yang dapat dikategorikan sebagai berikut :

Ruh Para Nabi dan Rasul

Ruh para Nabi dan Rasul berada di ʼIlliyyīn , di al-Malaʻ al-A’lā atau alam yang tinggi, yaitu di sisi Allah swt. Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih, bahwa ruh Nabi akan diangkat ke sisi Allah (ar-Rafīq al-A’lā).

“Telah menceritakan kepada kami Sa’īd bin ʼUfair berkata telah menceritakan kepadaku Al-Laits berkata telah menceritakan kepadaku ʼUqail dari Ibn Syihāb telah mengabarkanku Sa’id bin Al-Musayyab dan ʼUrwah bin Zubair Dari ʼAisyah ra, dia berkata, “Saat Rasulullah saw. masih sehat, beliau pernah bersabda

"Tidaklah ada seorang Nabi pun yang diwafatkan, melainkan kepadanya telah diperlihatkan tempatnya kelak di surga, kemudian dia diberi kesempatan memilih (untuk hidup lebih lama di dunia lagi atau diwafatkan untuk mendapatkan tempatnya di surga)'. Ketika beliau mengalami detik-detik terakhir hidup beliau dan kepala beliau berada di atas paha saya, beliau pingsan beberapa saat, kemudian tersadar kembali dan memandang ke arah atap rumah seraya bersabda, "Ya Allah, (aku memilih) ar-Rafīq al-A’lā (Kawan yang paling tinggi).

Ruh Orang-orang yang Mati Syahid

Orang-orang yang mati syahid akan berada di sisi Allah, mereka akan hidup dengan mendapatkan rezeki yang sangat besar. Allah swt. berfirman,

“Dan janganlah engkau sekali-kali mengira bahwasanya orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu adalah orang-orang yang mati. Akan tetapi mereka itu tetap hidup di sisi Rabbnya dengan mendapatkan limpahan rezeki.” (Q.S. Ali ʼImrān [3]: 169).

Hidup yang dimaksud pada ayat di atas adalah yaitu hidup dalam alam yang lain dan bukan alam dunia ini. Dimana mereka mendapat kenikmatan- kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah swt. sajalah yang lebih mengetahui dengan jelas bagaimana keadaan hidup itu.

Rasulullah saw. juga menerangkan hal ini, sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadis:

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abū Bakr bin Abī Syaibah keduanya dari Abū Mu’āwiyah dan telah menceritakan kepada kami Ishāq bin Ibrāhim telah mengabarkan kepada kami Jarīr dan ʼĪsa bin Yūnus dari A’masy dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Murrah dari Masrūq berkata, „Kami pernah bertanya kepada ʼAbdullāh bin Mas’ud tentang ayat "Dan janganlah engkau sekali-kali mengira bahwasanya orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu adalah orang-orang yang mati. Akan tetapi mereka itu tetap hidup di sisi Rabbnya dengan mendapatkan limpahan rezeki’ (Ali ʼImrān [3]: 169), Maka dia menjawab, “Kami juga pernah menanyakan hal itu kepada Rasulullah, maka beliau menjawab, "Ruh-ruh mereka berada di tengah-tengah burung yang hijau dan memiliki lampu pelita yang tergantung di langit ʼArsy. Mereka dapat keluar dari surga sekehendak dirinya, kemudian mereka kembali ke pelita-pelita tersebut.” (H.R. Muslim)

Namun sebagian ruh orang yang mati syahid terpaksa tertahan di depan pintu surga, karena mempunyai tanggungan yang belum ia tunaikan. Di antaranya ada yang tertahan karena mengambil harta rampasan perang yang belum dibagi oleh pemimpin pasukan. Ada pula yang tertahan di pintu surga karena mempunyai hutang yang belum ia bayarkan.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari Muhammad bin Jahsy bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Dari Muhammad bin Jahsy, ia berkata, "Ketika kami duduk bersama Rasulullah saw. beliau menengadahkan kepalanya ke langit, lalu beliau meletakkan telapak tangannya di atas dahinya, Kemudian beliau bersabda, „Maha suci Allah, apa yang dilahirkan dari suatu kekerasan?’ Kami diam dan merasa khawatir. Keesokkan harinya, aku bertanya kepada beliau, „Wahai Rasulullah, kekerasan apa ini yang telah diturunkan?’ lalu beliau bersabda, „Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya ada seorang laki-laki yang terbunuh di jalan Allah, kemudian dia dihidupkan lagi, kemudian terbunuh lagi, kemudian dia dihidupkan kembali, kemudian dia terbunuh lagi, sementara dia mempunyai hutang yang harus dia bayar, niscaya dia tidak akan masuk surga sehingga utangnya dibayar darinya.” (H.R. al-Nasāʻī).

Ruh Orang Mukmin yang Saleh

Ruh orang mukmin yang saleh akan berada seperti burung yang bergelayutan di pohon surga. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ka’ab bin Malik, Nabi saw. bersabda,

“Dari Ka’ab bin Mālik bahwasanya Rasulullah telah bersabda, "Sesungguhnya Jiwa seorang mukmin itu laksana burung yang bergelayutan di pohon surga sampai Allah mengembalikannya ke jasadnya pada hari kebangkitan’.” (H.R. Ibnu Mājah dan Ahmad).

Perbedaan antara ruh orang yang mati syahid dengan orang mukmin yang saleh adalah bahwa ruh orang yang mati syahid seperti berada di sangkar burung hijau sambil terlepas dan berjalan kesana-kemari di taman surga lalu kembali ke lampu pelita yang tergantung di ʼArsy. Sedangkan ruh orang mukmin yang saleh seperti berada di sangkar burung yang tergantung di surga tetapi tidak berjalan kasana-kemari di surga.

Ruh Orang-Orang yang Bermaksiat

Dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang menjelaskan tentang azab yang diterima oleh orang yang suka berbuat maksiat telah dikemukakan sebelumnya. Orang yang suka berdusta akan diazab dengan jangkar besi yang dimasukkan ke dalam mulutnya sampai ke tengkuk. Kepala orang yang meninggalkan shalat wajib akan dihancurkan dengan batu. Para pezina, laki-laki atau perempuan, akan diletakkan di atas tungku api yang membara. Begitu juga orang yang tidak bersuci dari air seninya dan orang yang suka menggunjing dan mengadu domba di antara manusia.

Ruh para pemakan riba akan dimasukkan ke dalam sungai darah, setiap kali mereka akan berenang menuju ke tepian, maka di tiap tepi sungai darah busuk itu telah berdiri para penjaga yang siap dengan batu-batu besar di tangannya, dilemparnya laki-laki dan wanita pemakan riba itu, hingga tubuh mereka terdorong lagi ke tengah-tengah sungai.

Ruh Orang-Orang Kafir

Ruh orang-orang kafir ditolak oleh langit. Ketika para malaikat membawa ruhnya ke langit, para malaikat penjaga langit enggan membukakan pintu untuknya. Maka Allah memerintahkan kepada para malaikat tersebut untuk mencampakkan ruh yang keji dan berbau busuk tersebut untuk mencampakkan ruh yang keji dan berbau busuk tersebut ke bagian bumi yang paling dalam dan rendah. Sebagaimana dijelaskan dalam dalam hadis dari sahabat Barrāʽ bin ʼĀzib:

“Sesungguhnya manakala seorang hamba yang kafir sedang berada pada detik-detik terakhir kehidupannya di dunia dan akan memasuki gerbang kehidupan akhirat, para malaikat yang hitam legam wajahnya turun kepadanya dari langit dengan membawa kain tenunan yang kasar. Mereka kemudian duduk di sekeliling orang kafir itu sejauh mata memandang. Setelah itu malaikat maut datang hingga duduk di sisi kepalanya, dan berkata,

“wahai jiwa yang keji, keluarlah menuju kebencian Allah dan murka-Nya.”

Nyawanya lalu dipisah-pisahkan dari badannya dan dicabut dengan keras, bagaikan besi tusukan sate dicabut dari kain bulu yang masih basah. Malaikat maut segera menyambut nyawanya, namun belum sekejap mata nyawa itu berada di tangannya, malaikat yang hitam legam wajahnya itu segera mengambilnya dan meletakkannya di atas kain tenunan yang kasar, sehingga darinya keluar bau busuk yang melebihi seluruh bau busuk bangkai yang pernah ada di muka bumi.

Para malaikat itu membawa nyawanya ke langit, dan tidaklah mereka melewati sekelompok malaikat pun melainkan mereka bertanya, "Nyawa siapakah yang keji ini?’

Para malaikat yang membawanya menjawab, “Nyawa fulan bin fulan”, sembari menyebutkan nama panggilannya yang terburuk kala masih hidup di dunia. Mereka terus membawanya hingga sampai ke langit dunia, maka mereka minta dibukakan pintu langit dunia, namun pintu langit dunia tidak dibukakan untuknya. Rasulullah saw. kemudian membacakan ayat:

“Tidak dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit, dan mereka tidak akan memasuki surga sehingga unta bisa masuk ke dalam lubang jarum”. (Al-A’rāf [7]: 40).

Allah berfirman,

"Tulislah buku amalnya di Sijjin yaitu pada lapisan bumi yang terendah!’ Kemudian nyawanya dilemparkan dengan keras. Lalu Rasulullah saw. membaca ayat: "Dan barang siapa yang menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia menjadi seakan- akan jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang jauh’. (Al-Hajj [22]: 31).

Beberapa hal di atas merupakan keterangan tentang keberadaan arwah di alam barzakh (kubur). Terlihat jelas perbedaan antara tempat ruh orang yang beriman, ruh orang yang bermaksiat dan ruh orang-orang kafir. Oleh karena itu, sebagai manusia yang pasti akan mengalami kematian, sudah semestinya untuk menyiapkan bekal amal shalih sebelum kematian itu terjadi. Karena hanya amal shalih lah yang dapat menyelamatkan dan menentukan kedudukan seseorang di alam barzakh.

Referensi
  • ʼAbdu al-Rahman bin Ahmad al-Qāḏī, Daqāʽiqu al-Akhbār / Kehidupan Sebelum dan Sesudah Kematian , Penerjemah. Yodi Indrayadi & Wiyanto Suud, Cet. V, (Jakarta: Turos Pustaka, 2015)
  • Louwis bin Naqula Ẕahīr Al-Maʽlūf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A’lam, Cet. XXXIX, (Beirut: Dār al-Masyriq, 2002)
  • Fakhru al-Dīn al-Rāzī, Yasʽalūnaka „an al-Rūh / Roh itu Misterius, Penerjemah Muhammad Abdul Qadir al-Kaf. Cet. I, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001)
  • ʼImād al-Dīn Abū al-Fidāʽi Ismāʼīl bin Katsīr, Tafsīr al-Qurʽānu al-ʼAẕīm , (Riyaḏ: Maktabah Dār al-Islāmī, 1414 H/1994 M)
  • Muhib al Majdi & Abu Fatiah al Adnani, Dari Alam Barzakh Menuju Padang Mahsyar (Surakarta: Granada Mediatama, 2003)
  • Umar Sulaymān al-„Asyqār, Ensiklopedia Kiamat dari Sakratul Maut hingga Surga- Neraka , Penerjemah Irfan Salim dkk. Cet. III,
  • Febi Prasetya Adi, Menyibak Misteri Kekal Akhirat Tinjauan Ilmu Fisika , (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007)
  • Muhammad Nashiruddin Al Albani, Sahīh Sunan An-Nasāʻī, Penerjemah Kamaluddin Sa’diyatul Haramain, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009).