Dimanakah Letak Ide, Makna, dan Simbol dalam Hubungan Sosial?

image
Ide, makna, dan simbol dalam hubungan sosial memiliki letak tersendiri.

Dimanakah letak ide, makna, dan simbol dalam hubungan sosial?

Setelah memahami dasar-dasar hubungan sosial sebagai dialektikamaterial karena hubungan itu adalah kenyataan, kemudian kita juga harus memerhatikan aspek ide, makna, dan simbol dalam hubungan sosial. Asumsi yang digunakan dalam pengertian ini adalah manusia berhubungan, selain didasari oleh hal yang nyata dan material, juga digerakkan dan dihiasi dengan makna hidup, ide-ide (yang dicari dan diperjuangkan), serta berhubungan dengan mediasi berupa simbol-simbol yang dianggapnya mewakili eksistensi (keberadaan) dirinya dalam berhubungan dengan orang lain.

Jadi, dapat digambarkan dengan contoh, misalnya hubungan cinta yang menurut kaum Freudian semata-mata didorong oleh libido (seks) pada kenyataannya dalam hubungan sosial juga diungkapkan dengan bahasa yang simbolis. Ada bunga, ada puisi, ada ciuman yang simbolis, serta ada tindakan-tindakan simbolis lainnya yang lebih nyata sebagai tindakan sosial yang lebih tampak daripada sebab-sebab material maupun naluri (alam bawah sadar).

Manusia memiliki makna karena ia tidak hanya sebagai objek kehidupan atau situasi sosial, tetapi juga menjadi subjek bagi dirinya dalam menjalani sesuatu. Manusia berinteraksi dengan dirinya. Ketika dia berkomunikasi dengan dirinya, dia bisa menjadi subjek sekaligus objek. Manusia berpikir, yang berarti juga berbicara kepada dirinya, sama seperti ketika berbicara dengan orang lain. Percakapan dengan dirinya sebagian besar dilakukan dengan diam. Tanpa dirinya, manusia tidak akan mampu berkomunikasi dengan orang lain sebab hanya dengan itu komunikasi efektif dengan orang lain bisa terjadi. Berpikir juga memungkinkan manusia menunjuk segala sesuatu, menginterpretasikan situasi, dan berkomunikasi dengan dirinya, dengan cara-cara berbeda.

Oleh karena itulah, manusia selalu dihadapkan pada “arti” atau “makna”. Setiap individu yang menyampaikan “arti” pada dirinya, pada saat itu juga ia memberikan “arti” pada orang lain. Perasaan terhadap diri seseorang dibentuk dan didukung oleh respons orang lain. Jika seseorang konsisten menunjukkan dirinya dalam pelbagai perbedaan, dia juga harus menerima perlakuan orang lain sesuai yang dia berikan padanya.

Dengan memahami hubungan seperti itu, kita akan berkenalan dengan pendekatan atau teori sosiologi Interaksionalisme Simbolis. Perspektif interaksi simbolis berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi . Interaksi simbolis lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tecermin melalui komunikasi budaya di antara warga setempat. Pada saat berkomunikasi, jelas banyak menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna tersebut.

Studi manusia tidak bisa dilakukan dalam cara yang sama dengan tindakan ketika melakukan studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalamannya, dan berusaha memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikutnya menghindarkan kuantitatif dan pendekatan ilmiah serta menekankan riwayat hidup, autobiografi , studi kasus, buku harian, surat, dan wawancara tak langsung. Herbert Blumer , misalnya, yang termasuk sosiolog yang menggunakan pendekatan interaksionalismesimbolis ini, menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi . Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. Masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan intisari hubungan sosial.

Jadi, hubungan sosial harus dipahami sebagai fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna. Makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain. Makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung. Menurut K.J. Veeger yang mengutip pendapat Herbert Blumer , teori interaksionisme simbolis memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai Konsep Diri. Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak di bawah pengaruh perangsang, entah dari luar atau dalam, melainkan dari organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian, gagasan “Konsep Perbuatan”, yaitu ketika perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan dirinya. Perbuatan ini sama sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk manusia. Kemudian, “Konsep Objek” ketika manusia diniscayakan hidup di tengahtengah objek yang ada, yakni manusia-manusia lainnya.

Selanjutnya, “Konsep Interaksi Sosial” ketika di sini proses pengambilan peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah “Konsep Joint Action” ketika di sini aksi kolektif yang lahir atas perbuatanperbuatan masing-masing individu yang disesuaikan satu sama lain. Sebagaimana dikatakan Ryadi Soeprapto (2001), hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang salah dalam dasar pemikiran yang pertama.

“Arti” (mean) dianggap sudah semestinya begitu sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. “Arti” dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang bertanggung jawab pada tingkah laku manusia, sedangkan “tingkah laku” adalah hasil beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu psikologi sosial saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah sebaliknya: arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia berpusat dalam kebenaran manusia tersebut.

Dalam kaitannya dengan terjadinya hubungan sosial, yang harus dipahami dalam hal ini adalah hubungan sosial itu harus dilihat sebagai pertukaran makna dari individu atau kelompok yang saling berhubungan. Masing-masing individu memiliki kepentingan, ide, dan makna yang akan ditawarkan atau ditarungkan dengan makna orang lain. Ketika hubungan dilakukan, pertukaran makna dan nilai-nilai itu akan menghasilkan kesatuan makna baru yang dibagi bersama. Ketika penulis berhubungan dengan seseorang, masingmasing penulis dan dia tentu memiliki latar belakang yang berbeda yang memungkinkan pemaknaan terhadap diri dan kehidupan juga berbeda. Ketika kami melakukan hubungan intensif, kami akan berbagi makna dan ide yang akan dibagi bersama.