Dikenal sebagai e-commerce, mengapa Alibaba membuka offline store?

Alibaba

Alibaba.com adalah sebuah layanan e-commerce yang berfokus pada B2B e-commmerce untuk menghubungkan berbagai jenis usaha kecil dan menengah. Perusahaan yang didirikan Jack Ma yakni Alibaba Group kini menjadi salah satu perusahaan raksasa dunia yang mendulang kesuksesan. Dengan latar belakang kesuksesan tersebut, mengapa Alibaba kini mengembangkan bisnis offline?

Alibaba merupakan perusahaan e-commerce terbesar di China. Alibaba saat ini sedang mengembangkan ritel offline atau fisik di beberapa wilayah di China salah satunya yaitu Shanghai. Dikenal sebagai pelaku e-commerce, apa alasan Alibaba mengembangkan bisnis offline?

Joe Tsai selaku Vice President dan Co Founder Alibaba mengatakan bahwa pihaknya sedang mengembangkan sentuhan virtual dalam sebuah toko offline yang disebut Augmented Reality(AR) untuk memberikan daya tarik kepada konsumennya.

Hal ini dilakukan guna memberikan kepuasan pelayanan dalam kolaborasi bisnis online dan offline serta pengalaman yang unik bagi konsumen dalam berbelanja secara offline pada toko fisik milik Alibaba.

“Belanja itu hiburan dan ini akan menarik bagaimana kami mengembangkan Augmented Reality(AR) di beberapa store kami”, ujar Joe Tsai di Shanghai.

Seperti supermarket Hema yang dikembangkan Alibaba, hingga kini Hema telah memiliki 20 gerai di China meliputi 13 toko di Shanghai, tiga di Beijing dan masing masing satu toko di Ningbo, Hangzhou, Guiyang, dan Shenzhen.

Pada supermarket fisik Hema, konsumen bisa mendapatkan informasi produk dengan cara memindai barcode pada produk dengan aplikasi Hema, kemudian bisa langsung melakukan pembelian dengan Alipay. Agar dapat dilayani, konsumen perlu mendaftar keanggotaannya di Hema melalui akun Alibaba, Taobao atau Alipay

Daniel Zhang, CEO Alibaba menjelaskan, pencapaian yang dilakukan merupakan masa depan dari bisnis ritel baru. “Strategi ini akan mengintegrasikan bisnis online dan offline secara harmonis. Hema adalah contoh utama dari evolusi ini.” Ujar Zhang.

Joe Tsai juga menjelaskan juga bahwa tidak hanya fokus kepada diskon yang diberikan kepada konsumennya tetapi juga kepada perkembangan entertaiment ketika konsumen sedang belanja. Diskon hanya merupakan salah satu dari fokus yang dilakukan oleh Alibaba.

Langkah Alibaba dalam membangun bisnis offline telah dipuji analis. Mereka menyebut strategi tersebut sebagai langkah Alibaba menguasai pasar ritel, salah satunya dengan membidik konsumen China yang masih suka berbelanja secara offline.

Sumber :
Kompas
Tribun News

Menggabungkan pola penjualan online dan offline memang tengah menjadi model yang ramai dijalankan para e-commerce raksasa yang dikenal dengan dengan O2O atau “online-to-offline”. Begitupun dengan Alibaba. Dalam mengembangkan offline store, Alibaba membuat konsep baru yang mereka sebut dengan “New Retail”. Konsep tersebut menggabungkan konsep belanja online dan offline yang terintegrasi, sehingga memudahkan konsumen mendapatkan produk yang di inginkan. Hal tersebut dilakukan agar memberikan kepuasan pelayanan dalam kolaborasi bisnis online dan offline serta pengalaman yang unik bagi konsumen dalam berbelanja secara online dan offline pada toko fisik atau offline milik Alibaba.

Sebagai contoh, Alibaba membuka 60 kios sementara (pop-up store) di 52 mall di China yang di dalamnya tersedia berbagai fasilitas berbasis teknologi yang memudahkan konsumen dalam berbelanja. Misalnya magic mirror yang memungkinkan konsumen mencoba secara virtual produk yang mereka incar. Jika cocok, konsumen tinggal memindai QR Code produk tersebut dan melakukan pembayaran menggunakan Alipay. Selain itu Alibaba juga menyediakan layar berukuran besar yang memuat produk-produk yang tidak ada di toko tersebut namun bisa dibeli secara online. Layar tersebut juga bisa menampilkan informasi terkait produk yang tersedia di toko. Konsumen cukup mendekatkan produk yang ditaksir ke layar tersebut. Setelah itu, menggunakan identifikasi berbasis gelombang radio, layar tersebut akan menampilkan informasi produk dari halaman resmi produk tersebut di Tmall (situs online Alibaba). Informasi seperti stok yang tersedia, program diskon, sampai ulasan pengunjung yang lain akan muncul di layar, sehingga bisa membantu konsumen memutuskan pembelian.

Menurut Michael Evans, President Alibaba, integrasi O2O ini menjadi sangat penting mengingat masih banyaknya toko retail konvensional di China. Menurutnya baru 18 persen toko retail China yang sudah berbasis online, sementara sisanya masih berlangsung secara offline. Melalui pendekatan “New Retail” ini, Alibaba ingin mengintregasikan dunia online dan offline ke seluruh proses bisnis toko retail, mulai dari pengelolaan stok, logistik, sampai pembayaran. Jika integrasi tersebut berhasil, Alibaba akan memiliki pondasi yang kokoh untuk menguasai bisinis retail di China yang nilainya mencapai US$4886 milyar.

Sumber :
(https://infokomputer.grid.id/2017/11/fitur/belajar-dari-keberhasilan-alibaba-di-singles-day/)
(Memahami Strategi Online-to-Offline Alibaba Group)

Alibaba adalah salah satu web grosir business-to-business E-commerce terbesar di dunia dan perdagangan online nomor satu untuk perdagangan global dan domestik China. Alibaba didirikan pada Maret 1999 oleh Jack Ma dan 17 rekannya. Dengan situs ini, Jack Ma dan timnya berangan-angan untuk menciptakan fasilitas yang memudahkan aktivitas bisnis pengusaha kecil dan menengah. Seperti tantangan yang dihadapi perusahaan internet business-to-business (B2B) lain di dunia, kepercayaan konsumen merupakan kuncinya. Dengan cepat mempelajari kesalahan dan cepat melakukan perbaikan, Alibaba sedikit demi sedikit dapat bangkit dan tumbuh besar.

Selain dikenal sebagai pelaku e-commerce, Alibaba telah mengembangkan bisnis offline. Alibaba membuka toko fisiknya, dengan mengakuisisi jaringan department store, Intime Retail seharga 2,6 milyar dollar pada Januari 2017. Hal ini dilakukan Alibaba untuk memberikan kepuasan pelayanan dalam kolaborasi bisnis online dan offline serta pengalaman yang unik bagi konsumen dalam berbelanja secara offline pada toko milik Alibaba. Langkah tersebut sekaligus menjadi bagian dari strategi yang disebut Alibaba “New Retail”. Gerai toko Alibaba yang bernama Hema Store memudahkan pelanggan berbelanja seperti memesan secara online. Hema Store diklaim sebagai bagian dari upaya Alibaba untuk mengembalikan supermarket tradisional. Sampai saat ini sudah ada 20 gerai di China meliputi 13 toko di Shanghai, 3 toko di Beijing dan masing-masing satu toko fisik di Ningbo, Hangzhou, Guiyang, Shenzhen.

Strategi Alibaba dalam mendirikan toko offline tersebut adalah sebagai langkah Alibaba menguasai pasar ritel, salah satunya dengan membidik konsumen China yang masih suka berbelanja secara offline. Selain itu, langkah tersebut dilakukan oleh Alibaba untuk membangun sebuah big data dari kebiasaan konsumen di layanan ritel offline. Di Tiongkok ritel offline masih menguasai 85 persen transaksi. Seperti yang diungkap Chief Executive Officer Alibaba Daniel Zhang bahwa kehadiran toko fisik masih sangat dibutuhkan oleh konsumen apalagi mereka yang sedang melakukan perjalanan. Sehingga tidak mungkin bisa digeser kehadirannya tapi ada banyak sekali data terkait konsumen yang bisa digali dan berguna bagi perekonomian digital.
Dengan strategi New Retail yang dikembangan ini, bisa dikatakan Alibaba masih memperhatikan nasib para toko offline di tengah jumlah toko online yang terus berkembang. Dengan begitu bisnis toko online masih bisa bertahan ditengah terjangan tren belanja online.

Referensi:
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/11/142324226/mengapa-alibaba-kembangkan-ritel-offline
https://id.techinasia.com/fakta-menarik-tentang-alibaba-jack-ma

Alibaba adalah sebuah E-Commerce terbesar di dunia yang sudah melayani perdagangan didalam maupun diluar china. Meskipun Alibaba sudah sukses dalam bidang online, Alibaba masih membuka toko offline.Supermarket ini dinamakan dengan Hema Supermarket, Hema adalah salah satu rencana strategy “retail baru ” yang diciptakan oleh Alibaba. Strategi ini adalah dengan cara mengintegrasikan kegiatan belanja dengan offline dan online.

Hema menggunakan Aplikasi untuk kegiatan berbelanjanya, jadi aplikasi bisa memberikan saran dari barcode tiap item yang di scan, selain itu untuk pembayarannya juga menggunakan alipay, pembayaran yang terintegrasi dengan Alibaba. Dengan cara ini orang yang berbelanja akan tetap bisa merasakan pasar lokal yang lebih mudah dan lebih nyaman. “Kita percaya bahwa masa depan dari Retail baru adalah integrasi yang harmoni dari online dan offline, dan hema adalah contoh dari evolusi tersebut” Ucap Daniel Zhang, CEO dari Alibaba Group. Beberapa analyst juga mengatakan bahwa strategi ini untuk menjaring banyaknya masyarakat cina yang lebih percaya ke toko offline. Mereka juga mengakan bahwa kemungkinan besar akan banyak pesaing lain yang akan membuka toko seperti ini, khususnya di China.

Sumber :

Alibaba merupakan online marketplace atau e-commerce yang didirikan oleh Jack Ma pada tahun 1999 dimana pada awalnya Alibaba hanya sebuah marketplace kecil hingga sekarang menjadi e-commerce terbesar di China berkat kegigihan dan kerja keras Jack Ma. Pada tahun 2014, Alibaba berhasil dinobatkan sebagai online marketplace tersukses dengan keuntungan IPO mencapai Rp289,9 triliun.

Meskipun Alibaba sudah sukses dengan online store-nya, namun ia tak berhenti hanya disitu. Alibaba mengambil langkah untuk membuka offline store. Dijelaskan bahwa langkah tersebut dilakukan oleh Alibaba untuk membangun sebuah big data dari kebiasaan konsumen di layanan ritel offline dimana di Tiongkok ritel offline masih menguasai 85 persen transaksi.

Alibaba membuka offline store bernama Hema Store dengan memberikan sedikit sentuhan teknologi yakni diaplikasikannya Augmented Reality (AR). Teknologi AR diprediksi akan menarik calon konsumen dengan menawarkan pengalaman berbelanja yang unik dan memudahkan pelanggan berbelanja seolah-olah memesan secara online. Pelanggan dapat berbelanja makanan atau memesan barang belanjaan via telepon dan pembayarannya melalui Alipay. Hema Store telah beroperasi sejak tahun 2015 dan diklaim sebagai bagian dari upaya Alibaba untuk mengembalikan supermarket tradisional dengan membidik konsumen China yang masih suka berbelanja secara offline.

Referensi :