Di Balik Pintu Kelas


Sumber foto: patreon.com/mimi_n

Aku tak pernah menyangka akan sangat membenci forum yang dilaksanakan pada hari Jumat kala itu, mestinya aku segera mengepak buku pelajaranku lalu segera pergi dari kelas agar mata ini tak melihat drama itu; drama bodoh yang terbalut dalam suatu forum. Namun aku agaknya lebih bodoh lagi karena mau-mau saja duduk menunggu forum dibuka tanpa ada rasa curiga.

Saat itu—setelah bel pulang berbunyi—ketua kelas memerintahkan kami untuk menunda kepulangan sebab ada hal penting yang harus dibahas: mengenai kelas kita sendiri. Alhasil aku segera duduk di lantai kelas bersama dengan yang lainnya tanpa ada spekulasi buruk mengenai apa pun nantinya.

Forum dimulai dengan salam pembuka dan segala basa-basi yang lumrahnya dilakukan oleh seseorang, terutama jika seseorang itu adalah Mawar—ia suka berbasa-basi. Kami pun mendengarkan secara saksama: tidak ada seorang pun memainkan smartphone-nya atau berbisik-bisik dengan lawan bicara di sampingnya. Aku dan lainnya serius mendengarkan—dan pada akhirnya awal dari pembicaraan ini adalah tentang betapa tidak solidnya kelas ini.

“Kelas ini mulai renggang,” kata Mawar.

Omong kosong.

Memang sedari dulu kelas tidak pernah solid kenapa baru sekarang ini dielu-elukan? Tetapi tentunya pertanyaan itu masih kusimpan di pikiran karena Mawar masih berpidato dan aku sendiri juga ragu akan mengutarakannya dengan lantang.

Mawar memang pandai berbicara, apalagi ia adalah orang yang paling dominan di kelas. Ia mampu membuat semua orang menatapnya dan mengakui keberadaannya dengan segala celotehan yang dilempar. Namun tidak untuk kali ini, aku mengendus maksud di balik kelas-yang-tidak-solid.

Maka dugaanku—yang sebenarnya lebih kepada prasangka—benar. Si Mawar mulai menggiring kami ke masalah pribadinya (hal yang tak pernah aku ketahui sebelumnya dan sejujurnya aku tidak peduli akan hal itu). Perlahan situasi menjadi lebih runyam dan tidak mengenakkan. Daripada forum, ini malah seperti tempat yang tepat untuk mengungkap si pelaku di depan kami semua. Alasanku berkata demikian ialah Mawar tengah menggempur si pelaku—yang berada di antara kami—dengan sindiran-sindiran yang mengacu pada permasalahan pribadinya dengan si pelaku.

Aku bertanya-tanya siapa gerangan orang itu dan mengapa atmosfer di kelas kami semakin menyesakkan, dan bertambah jadi menyebalkan saat Mawar dengan emosinya mulai mengungkapkan nomor whatsapp -nya tidak pernah disimpan oleh beberapa di antara kami, status yang menyinggung telak Mawar dan ketiga sahabatnya di samping kanan-kiri bahunya, pemblokiran nomor tanpa alasan jelas, dan segala hal buruk yang menimpa si Mawar dan ketiga sahabatnya. Ia naif sekali, seperti anak kecil yang kaget karena baru saja mengetahui bahwa beberapa kawannya tidak suka dengannya.

Ini terlalu berlebihan. Aku dan beberapa temanku bahkan tak mempermasalahkan segala tetek-bengek yang dielu-elukan Mawar di forum. Namun kalau kupikir-pikir lagi aku ragu permasalahan kami—yang tidak dominan ini—betulan akan diangkat ke forum. Masalah Nilam dengan kakak kelas atau Seli yang dirundung anak dari sekolah lain tidak pernah diangkat, itu karena mereka tidak cukup berpengaruh di kelas pun orang dominan merasa tak perlu mengetahuinya lebih dalam sebab itu bukan masalah mereka.

Kukira forum akan berakhir dengan kegagalan karena si pelaku tidak mau menunjukkan diri, namun tiba-tiba Melati memanjangkan lehernya dan mengaku di hadapan kami semua dengan segala kerendahan hati dan kesalahan-kesalahan yang ada di kedua pundaknya. Ia mengaku menyimpan rasa tidak suka pada Mawar dan ketiga sahabatnya, karena peran mereka terlalu dominan di kelas, segala sikap semena-mena, dan kepemilikan sifat yang terlalu berlebihan (aku memafhumi kritikan itu, terkadang Mawar memang bertindak sesuka hati saat mengambil keputusan dan—mungkin tanpa sadar—menyinggungku).

Kupikir ketegangan akan mereda saat Melati mengakui kesalahannya dan Mawar luluh begitu saja namun apa yang terjadi malah membuat forum ini semakin menegang.

Seperti sebuah lakon drama yang sering kutonton, Mawar mulai berderai air mata—jangan lupa ketiga sahabatnya juga melakukan hal serupa. Ia semakin gencar bertanya apa salahnya selama ini sampai ia dan kawan-kawannya dimusuhi lalu membandingkan perlakuan Mawar pada Melati yang bahkan tak pernah menyinggungnya sekali pun.

Rasanya aku ingin menyela tudingan Mawar—dan tiga orang lainnya—pada si Melati, memintanya untuk menghentikan tangisan drama pada saat itu juga, lalu kita semua pulang dan menikmati acara tidur siang (kebetulan hari itu kami pulang lebih awal). Tapi yang ada di depanku itu Mawar.

Mawar dan ketiga kawannya terlalu fokus pada Melati, padahal sebagian dari kami mulai mengutak-atik smartphone , sisanya membangun obrolan dengan kawan di sampingnya sementara aku ingin pulang sekarang juga.

Sungguh, kami tidak ingin peduli dengan permasalahan kalian.