Dari Lautan Itulah Tetesan Ini Berasal

Taman Surga

Maulana Rumi berkata:

“Berita-berita yang mereka tuduhkan pada gadis ini hanyalah kebohongan belaka dan hendaknya itu tidak perlu diperpanjang lagi. Meski begitu, sesuatu telah lebih dulu terpatri dalam imajinasi orang-orang itu. Prasangka dan hati manusia ibarat beranda rumah, di mana sebelum memasuki rumah, manusia akan melewati beranda terlebih dahulu. Seluruh dunia ini ibarat satu tempat tinggal. Segala sesuatu yang masuk lewat beranda akan mampu melihat apa yang ada di dalam rumah. Misalnya rumah yang kita huni ini sudah tampak di hati sang arsitek, kemudian rumah ini diwujudkan di alam nyata. Dari situ kita berkata: Sesungguhnya seluruh dunia ini ibarat satu tempat tinggal. Sementara asumsi, visualisasi dan pikiran lainnya adalah berandanya. Ketahuilah bahwa apapun yang tampak olehmu di beranda, ia akan terlihat di dalam rumah. Demikian juga segala sesuatu yang terjadi di dunia ini—kebaikan maupun kejelekan—semuanya sudah tampak di beranda, sebelum terlihat di sini.”

Ketika Allah hendak memperlihatkan segala bentuk keanehan, keajaiban, taman-taman, kebun-kebun, padang-padang rumput, ilmu dan lain sebagainya di dunia ini, Dia terlebih dahulu akan meletakkan kecenderungan dan pengharapan bagi terciptanya semua itu di lubuk hati manusia, sehingga segala sesuatu bisa terwujud lantaran kecenderungan ini. Demikianlah, setiap apa yang kamu lihat di alam ini, ia sudah ada terlebih dahulu di dunia batin. Setiap tetesan yang kamu lihat misalnya, ketahuilah bahwa ia sudah tampak sebelumnya di lautan, sebab dari lautan itulah tetesan ini berasal. Begitu juga dengan penciptaan langit, bumi, arasy, kursi dan berbagai keajaiban lainnya, Allah telah menanamkan harapan akan penciptaan semua itu di dalam jiwa para pendahulu, dan akhirnya alam semesta ini mewujud karena harapan itu.

Manusia yang berkata: “Sesungguhnya alam ini tidak memiliki permulaan,” bagaimana mungkin ucapannya akan didengar? Sementara mereka yang mengatakan: “Sesungguhnya alam itu baru,” maka mereka itulah para Nabi dan para wali yang sudah ada terlebih dahulu dari alam semesta ini.

Allah telah menanamkan harapan akan penciptaan alam semesta ini dalam jiwa-jiwa mereka, dan baru kemudian muncullah dunia ini. Jadi, dengan pengetahuannya yang pasti dan derajatnya yang tinggi, mereka mengabarkan bahwa alam itu baru. Misalnya kita yang sudah menghuni sebuah rumah sejak enam puluh atau tujuh puluh tahun lamanya, tentu kita sudah melihat bahwa sebelumnya rumah itu belum ada. Namun setelah beberapa tahun berlalu sejak rumah itu dibangun, lahirlah beberapa makhluk hidup yang tumbuh di pintu dan tembok rumah tersebut seperti kalajengking, tikus, ular dan hewan hina lainnya. Mereka terlahir dan melihat bangunan ini sudah berdiri tegak. Seandainya mereka berkata: “Sesungguhnya rumah ini tidak memiliki permulaan,” tentu ucapan itu merupakan penistaan bagi kita. Karena sebelumnya kita sudah melihat ketiadaan rumah ini.

Mereka yang hanya hidup menumpang di depan pintu dan merayap di dinding rumah itu, tidak akan mengetahui dan melihat selain bangunan itu saja, padahal selain dirinya masih ada beberapa makhluk lain di dunia ini yang tidak mereka lihat, dan mereka juga tumbuh di tempat itu. Seperti itulah gambaran ketika mereka turun ke bumi. Andai mereka berkata: “Sesungguhnya alam ini tidak memiliki permulaan,” niscaya ucapan itu adalah sebuah pengingkaran terhadap para Nabi dan para wali yang sudah ada ratusan juta tahun sebelum adanya alam ini. Lantas untuk apa membahas tahun dan hitungannya jika para Nabi dan para wali tidak dikekang oleh batasan dan hitungan? Mereka sudah melihat dunia ini terwujud, sebagaimana kamu telah melihat rumah itu dibangun.

Seorang filsuf Sunni berkata: “Bagaimana kamu tahu kalau alam ini baru. Wahai keledai, bagaimana kamu tahu alam tidak memiliki permulaan?” Jawablah: “Alam ini tidak memiliki permulaan, yang bermakna bahwa alam ini tidaklah baru, maka pernyataan ini adalah kesaksian yang didasarkan pada penolakan.”

Bagaimanapun juga, kesaksian yang didasarkan pada bukti itu lebih mudah daripada kesaksian yang didasari penolakan. Kesaksian jenis kedua ini semakna dengan pernyataan: “Sesungguhnya orang ini tidak melakukan perbuatan si Fulan.” Tentu kita akan kesulitan untuk meneliti validitas dari pernyataan itu. Misalnya orang ini selalu menyertai si Fulan dari awal hingga akhir, siang dan malam, saat tertidur maupun terjaga, hingga melahirkan pernyataan: “Sesungguhnya orang ini tidak mengerjakan pekerjaan itu.” Bahkan hingga batas ini pun, pernyataan tersebut belum tentu benar, sebab bisa jadi orang yang memberikan pernyataan itu terlena oleh rasa kantuk atau orang itu pernah pergi untuk membuang hajatnya atau pekerjaan lain yang memungkinkannya tidak selalu bersama pihak yang disaksikannya. Oleh karena itu, kesaksian yang didasarkan pada penolakan dianggap tidak sah, sebab bisa saja yang bersaksi akan mengatakan: “Aku bersamanya sesaat, dan ia berkata begini dan begitu.”

Tak diragukan lagi bahwa kesaksian semacam ini bisa diterima, karena ia berasal dari harapan manusia. Sekarang wahai anjing, mereka yang bersaksi bahwa alam ini baru akan jauh lebih mudah ketimbang kamu yang bersaksi bahwa alam tidak memiliki permulaan. Sebab kesaksianmu sama dengan pernyataan: “Sesungguhnya alam tidaklah baru.” Jadi, kamu sudah menyampaikan kesaksianmu berdasarkan penolakan. Saat di sana tidak ada bukti akan kebenaran kedua kesaksianmu itu, dan kamu sendiri tidak menyaksikan apakah alam ini baru atau tidak memiliki permulaan, kamu bertanya padanya: “Bagaimana kamu tahu kalau alam ini baru?” maka mereka juga akan menjawab: “Wahai dayus, bagaimana kamu tahu kalau alam ini tidak memiliki permulaan? Kalau begitu, maka pernyataanmu sungguh pelik dan mustahil (diterima).”

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum