Dari Dan Untuk Allah

Taman Surga

Syekh Ibrahim, salah satu murid kesayangan Syamsuddin Tabrizi, berkata:

“Jika Saifuddin Farukh memukul seseorang, maka ia akan menyibukkan dirinya dengan bercerita kepada orang lain tentang perbuatannya itu agar orang-orang lain juga memukulnya. Akan tetapi metode seperti tidak akan menolong orang yang ia pukul.”

Maulana Rumi berkata:

“Semua yang kamu lihat di dunia ini sama persis dengan apa yang ada di dunia sana. Semua hal yang ada di dunia ini merupakan contoh dari apa yang ada di dunia sana. Semua yang ada di dunia ini didatangkan dari dunia sana.”

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (QS. Al-Hijr: 21)

Seorang laki-laki botak dari Baalbak menjunjung nampan yang berisi bermacam-macam obat-obatan di atas kepalanya, segenggam tiap jenisnya—segenggam lada dan segenggam mastik. Masing- masing jenis obat-obatan itu sebenarnya tak terbatas, tetapi sudah tidak ada tempat lagi yang tersisa di dalam nampannya.

Manusia tak ubahnya laki-laki botak dari Baalbak ini atau seperti toko parfum. Masing-masing orang terisi oleh satu genggam atau beberapa genggam dari gudang sifat-sifat Allah yang diletakkan di dalam nampan. Sehingga di dunia ini, antara satu orang dengan yang lainnya saling bertalian dalam hal jual-beli barang yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Satu bagian dari pendengaran, satu bagian dari ucapan, satu bagian dari akal, satu bagian dari kemuliaan, satu bagian dari ilmu, dan seterusnya. Dengan demikian, terdapat beberapa orang yang berkeliling demi Tuhannya, ia berjalan berkeliling menyusuri jalan-jalan, siang dan malam untuk mengisi nampannya.

Misalnya kamu dengan jelas melihat bahwa di dunia sana terdapat penglihatan, mata, dan pemandangan yang berbeda-beda. Sebuah contoh dari semua itu dikirimkan kepadamu agar kamu dapat melihat hal itu semua di dunia ini. Melihatnya semua itu di dunia ini tidak berarti bahwa kadar semua hal itu terbatas pada apa yang kamu lihat, kamu hanya tidak mampu melihat lebih dari itu.

“Semua sifat yang Aku miliki tidak terbatas, dan kami mengirimnya kepadamu dengan kadar tertentu.”

Renungkanlah bagaimana ribuan manusia dari generasi ke generasi datang dan mengisi penuh lautan ini, akan tetapi lautan itu tidak pernah penuh. Lihatlah, gudang apa itu. Setiap orang yang tinggal lama di dalamnya, hatinya akan merasa lebih dingin dari nampan itu. Itu adalah gambaran bahwa dunia ini berasal dari tempat contoh itu berada, dan akan kembali lagi ke tempat berkumpulnya semua contoh-contoh itu.

“Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nyalah kami kembali.” (QS. Al-Baqarah: 156)

Kata Inna (sesungguhnya kami) bermakna: semua bagian dari kita berasal dari dunia sana, semua itu hanyalah contoh dari dunia yang ada di sana, dan nanti akan kembali lagi kesana—yang kecil, yang besar, maupun semua binatang. Dunia yang ada di sana begitu lembut dan tak kasat mata, tetapi alangkah indahnya ketika mereka menampakkan diri! Tidakkah kamu melihat bagaimana angin musim semi tercermin pada pepohonan, rerumputan, bunga-bunga di taman, dan tanaman kemangi? Melalui goyangan tanaman-tanaman itu, tampak keindahan musim semi. Jika kamu hanya memfokuskan pandanganmu pada angin musim semi itu, kamu tidak akan melihat semua keindahan itu. Tetapi, hal itu bukan karena pemandangan dan taman-taman itu tidak ada di dalam angin. Bukankah pemandangan seperti itu merupakan bias dari angin itu sendiri?

Saat musim semi, bunga-bunga dan kemangi berdansa di taman, akan tetapi berdansanya tanaman-tanaman itu sangat lembut dan tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Ia tak akan tampak tanpa adanya media yang dapat membuatnya keluar dari kelembutannya tersebut. Demikian juga dengan manusia, dalam diri manusia terdapat sifat-sifat yang samar, dan hanya akan terlihat melalui sebuah perantara, baik dari dalam maupun luar.

Pada seseorang, sifat-sifat itu bisa tampak melalui ucapan, yang lainnya melalui paksaan, orang yang lain lagi melalui perang atau pun damai. Meski kamu berusaha sekuat tenaga, kamu tak akan bisa melihat sifat-sifat manusia tanpa adanya perantara. Coba pikirkan dirimu, maka tak ada yang akan kamu temukan. Jadi, asumsikanlah bahwa dirimu terlepas dari sifat-sifat ini. Hal ini tentu bukan berarti kamu mengubah sesuatu yang ada pada dirimu, melainkan karena hal itu memang tersembunyi dari dirimu. Layaknya air di laut, air- air itu tidak akan keluar dari laut kecuali dibawa oleh awan, dan hanya terlihat pada ombak. Gelombang adalah gejolak yang timbul dari dalam dirimu tanpa perantara dari luar. Akan tetapi, selama laut itu diam, kamu tak akan melihat gelombang air. Ragamu terletak di pinggir pantai, sementara jiwamu ada di dalam lautan. Tidakkah kamu lihat bagaimana ikan-ikan, ular, burung, dan berbagai macam makhluk menampakkan dirinya dan kemudian kembali menghilang? Sifat-sifamu, seperti marah, dengki, nafsu, dan yang lainnya, akan timbul dari lautan ini.

Dengan demikian, kamu dapat berkata:

“Sifat-sifat yang kamu miliki begitu lembut wahai para pecinta Tuhan, tak mungkin kamu dapat melihatnya tanpa perantaraan lidah. Karena kelembutannya, ia tidak akan pernah terlihat tanpa adanya perantara.”

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum