Cokelat (Challenge 30 Hari menulis Sastra)

COKELAT

Cokelat adalah perumpamaan dari pahit dan manis…

Cokleat mengingatkanku tentang memori kelam .

Namun…

Cokelat juga yang memberikan kenagan manis di hudupku .

“Cokelat, cokelat cokelat! Ayah, ayolah… satu saja, ku mohon… ayah telah berjanji padaku, kan…” pintaku pada Ayah, menagih janjinya. Ayah berjanji, jika aku mampu mendapatkan nilai 9 pada pelajaran berhitung, ia akan memberikanku sebatang cokelat besar.

Aku memang sangat menyukai cokelat. Di setiap permintaanku tak lepas darinya. Tak heran jika gigiku telah hitam olehnya dan tubuhku brubah jadi gemuk karena kebanyakan makan cokelat. Ayah dan ibu sudah sering mengingatkanku, tapi, aku tetap tak mau dengar. Namun, bagiku itu hal yang lumrah. Anak kecil mana yang tak menyukai manisan satu ini?

Ayah tersenyum. Ia kemudian duduk jongkok menyetarakan tingginya denganku, lantas berkata dengan kelembutannya yang khas: ”Baiklah, tapi nanti.”

Raut maukaku langsung berubah cemberut.

“Sekarang, tak mau nanti. Sekarang!” ujarku merajuk.

“Tapi ayah sedang sibuk.”

“Sekarang Ayah… Pokoknya sekarang…!” aku mulai menagis.

“Baiklah, baiklah, ayah akan pergi, ya. Tapi janji ulangan bahasa Indonesia harus dapat 9 bagaimana?”

“Setuju!” jawabku langsung tanpa pikir panjang.

Ayah pun segera pergi meninggalkanku.

Satu jam sudah aku menunggu ayah yang pergi untuk membeli cokelat. Ia tak biasanya lama. Aku jadi heran dan bertanya-tanya. Apa jangan-jangan ayah hanya bohong dan malah pergi ke tempat kerjanya? Aku mulai mencari bunda memastikan bahwa ayah tak sedang membohongiku.

“Bunda kenapa ayah lama sekali?” tanyaku pada Bunda yang sedang duduk membaca majalah di sofa ruang tamu.

“Bersabarlah sayang, mungkin ayah sedang dalam perjalanan,” jawab ibu tenang.

“Tapi ayah kenapa lama? Toko cokelat kan dekat. Ayah pergi kemana?”

Bunda tersenyum dan membelai rambutku dengan lembut. Ia kemudian berkata: “Mungkin ayah sedang beli cokelat besar untukmu.”

Aku tak bisa menahan senyum karena terlalu senang.

“Kring… kring… kring…” telepon rumah berdering.

“Nah, mungkin itu ayah,” ujarnya. Ia kemudian berjalan ke meja telepon dan segera mengangkatnya.

“Halo…” bunda mengawali pembicaraan. Suara hening. Aku ikut terdiam, memperhatikan wajah ibu yang kemudian berubah menjadi panik. Tangan bunda mulai bergetar.

“Apa? Sekarang dimana?” kini wajah Bunda semakin panik. Ia terlihat menahan tangis. Aku hanya bisa terus memandang perubahan wajah pada bunda dengan pandangan bingung.

“Baiklah, saya akan segera ke sana,” ujarnya seraya mengakhiri telepon.

Aku memandang Bunda penasaran. Bunda balas memandangku, mnamun dengan pandangan berbeda.

“Rena, sekarang ikut Bunda, ya,” ujar Bunda berusaha tenang.

Aku tak berani bertanya. Aku menurut saja. Kami segera pergi.

Pukul 13.22. kami sampi di rumah sakit. Kami segera menuju ruang tempat ayah dirawat. Aku masih menangis ketika tau apa yang terjadi pada ayah. Tepat beberapa saat setelah kami menunggu, dokter pun keluar dari ruangan ayah. Wajah Dokter itu lemah dan lesu. Namun, lebih wajah dengan rasa bersalah. Tanpa pikir panjang, bunda segera bergerak mendekat untuk menanyakan keadaan ayah.

“Bagaimana keadaan pasien, dok?”

“Maafkan kami, Nyonya. Kami telah berusaha sekuat mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. Pasien meniggal karena kehilangan banyak darah,” jelas Dokter dengan penuh kehati- hatian.

Spontan Bunda syok. Air mata mengalir deras dari pelupuk matanya. Tubuhnya bersandar ke tembok seolah berusaha menguatkan diri. Aku masih tak mengerti apa maksud dokter. Dengan polosnya aku bertanya: ”Bunda, kenapa bunda menangis? Ayah kenapa?”

Namun, sepertinya Bunda tak mendengarku. Ia justru berujar di tengah tangisnya: ”Allah, mengapa kau ambil ayah cepat.”

Aku terdiam sebentar. Kata-kata itu yang pernah di ucapkan ayah ketika kakek meninggal. Lalu, apa maksudnya Ayah yang diambil Allah? Aku mencoba menerka. Dan akhirnya aku sadar. Itu artinya… ayah meninggal. Aku tak kuasa menahan air mataku. Tangisku pecah seketika.

“Ayah… ayah… ayah…” tangisku.

Bunda langsung memelukku erat. Aku hanya bisa menangis dalam pelukan Bunda.

“Permisi, Dok, kami menemukan ini dalam genggeman tangan korban,”ujar salah seorang perawat laki- laki seraya mengulurkan sebatang cokelat kepada Dokter.

“Maaf Nona kecil, aku pikir ini untukmu,” kata dokter sembari mengulurkan sebatang cokelat.

Tangisku berhenti sejenak. Dengan sesenggukan, aku mengambil cokelat itu. Aku semakin menangis, teringat ayah. Tangisku makin keras saat memegang cokelat itu. ada rasa bersalah menyeruak dalam diriku. Jika saja aku tak merengek meminta cokelat, mungkin ayah tidak akan mengalami semua ini.

“Ayah… Ayah…” tangisku.

Dua belas tahun setelah kejadian itu, aku masih belum bisa melupakan semua yang terjadi pada hari itu. Aku tak lagi menyukai cokelat maupun semua benda yang berwarna cokelat. Aku akan merasa bersalah jika melihat cokelat. Cokelat seperti pembawa kenangan buruk bagiku.

“Rin, ada apa?” celetuk Mila, teman dekatku membuyarkan lamunanku.

“Wah, kau melamun lagi. Kau pasti tak mendengarkanku kan?”

“Eh, kau bicara apa?” tanyaku bingung.

Mila memutar bola matanya tanda kesal.

“Tugas Pak Denny,” ulangnya.

“Oh.” Aku membuka buku catatanku, melihat catatanku. Ia lalu melihat poin-poin tugas yang ada di bukuku.

Yah, beginilah kehidupanku setelahnya. Kini aku menjadi salah satu mahasiswa salah satu kampus negeri di daerah Yogyakarta. Bukan berarti aku telah berhasil melupakan semua itu, tapi karena aku sedang berusaha untuk tidak mengingatnya. Sebetulnya, aku tak ingin lanjut kuliah. Aku ingin bekerja saja membantu bunda menjahit, tapi bunda tak setuju. Ia bilang walau sesusah apapun mencari uang, ia akan terus berusaha agar aku bisa kuliah dan punya masa depan yang baik.

Semenjak kepergian ayah, kami kesulitan dalam bidang ekonomi. Kami terpaksa harus menjual rumah yang dulu dan pindah ke rumah yang lebih kecil demi mencukupi kebutuhan ekonomi. Aku sudah beberapa kali berusaha ingin membantu, tapi bunda selalu bilang tidak usah. Ini sebenarnya juga membuatku semakin bersalah. Seandainya bukan gara-gara aku meminta cokelat pada hari itu, kami mungkin tak akan seperti ini.

“Ren,” Mila mengagetkanku lagi.

“Yah, melamun lagi. Kau ini sedang melamun apa? Banyak pikiran?”

“Eh, tidak. Sudahlah, tak penting. Sudah selesai mencatat?”

“Sudah. terima kasih,” balasnya riang. Ia kemudian mengembalikan bukuku.

“Lagian kau kenapa sering tidak masuk akhir-akhir ini?” tanyaku heran. Ia sudah beberapa hari ini seding tak ikut perkuliahan. Wal akhir, akulah yang harus memasang memori agar ia tetap bisa belajatr dari catatanku.

“Aku membantu sepupuku. Ia sedang mengurusi kepindahan ke kampus ini.”

“Oh…”

“Ia mengambil mata kuliah yang sama dengan kita. Bisa jadi nanti sekelas dengan kita,” ujarnya sambil mencomot pentol goreng di mangkuk.

Aku hanya manggut-manggut saja mendengarkan ceritanya.

“Besok besok akan kukenalkan padamu,” ujarnya lagi.

Hari jum’at. Hari yang paling sibuk bagiku. Hari itu adalah hari dimana kuliah berlangsung dari pukul tujuh pagi sampai pukul empat sore tanpa jeda selain sholat dhuhur. Aku harus mengumpulkan tenaga dan menjaga mood agar hari berjalan lebih lancar. Tapi sepertinya itu sedikit sulit karena baru pagi hari aku sudah uring-uringan dengan buku tugas yang belum dikembalikan Mila, padahal hari ini akan dikumpulkan.

Sedari tadi aku menatap pintu dengan risau. Mila belum juga datang padahal sudah pukul tujuh lebih lima belas. Dosen juga sudah masuk kelas dan batang hidungnya belum muncul jua. Sudah hampir dua puluh kali kuhubungi ponselnya juga tak aktif. Itu membuatku semakin kesal. Apalagi dia tak bisa dihubungi.

“Permisi nona, kursi di sebelahmu kosong?” tanya seorang lelaki yang telah berdiri di depanku. Lelaki itu bertubuh jangkung, membuatku harus mendongak untuk melihatnya.

Aku terdiam sebentar. Bukan karena kagum atau terpesona. Tapi lebih karena ilfil melihat penampilannya. Ia mengenakan pakaian berwarna cokelat dari atas sampai bawah, sampai tasnya pun berwarna cokelat. Oh Tuhan, kenapa orang ini harus muncul di saat seperti ini, batinku.

“Nona kau tuli?” tanyanya melihata ku yang hanya diam saja daritadi.

“Bisa kau pindah ke sini?” katanya dengan nada congkak.

“Eh?” balasku bingung. “Kenapa? Kan kursi itu kosong.”

“Aku ingin duduk di samping jendela.”

Aku mengernyitkan alisku. Dengan sedikit kesal aku menjawab: “Kenapa tidak datang duluan kalau ingin di sini? Maaf, aku tidak bisa pindah, aku datang duluan.”

“Aku tidak bisa datang duluan karena aku tersesat tadi,” balasnya dengan nada meninggi.

“Ya sudah kalau begitu. Lebih baik terima saja kursi yang ada.” Aku tak mau kalah.

“Heh, kalian berdua. Ada apa? Kenapa kalian ribut?” tegur pak Herman.

Ia menatapku kesal sebelum akhirnya terpaksa duduk di kursi yang kosong.

“Tak ada apa-apa pak,” ujarnya akhirnya.

“Baiklah kalau begitu, perhatikan pelajaran baik-baik.”

Aku berusaha menahan amarahku. Aku masih kesal dengan sikapnya.

Lelaki itu segera meletakkan tasnya. Ia mengambil sesuatu dari tasnya. Sebotol parfum kecil dengan merek tak ternama. Ia kemudian membukanya lantas mendekatkannya ke hidung. Parfum itu baunya ternyata cukup menyengat. Bau ini bau yang cukup ku kenal. Bau parfum cokelat. Oh, tidak, kenapa harus parfum cokelat di saat menyebalkan seperti ini?

Aku menatapnya kesal, tapi ia tak merasa. Akhirnya, aku menutup hidungku dengan sapu tangan satu jam mata kuliah penuh hanya Karena parfum cokelat yang tak kusukai.

Jam pergantian mata kuliah. Aku segera keluar kelas setalah dosen pergi. Segera kuhirup udara segar sebanyak-banyaknya, mencoba menghilangkan bau cokelat yang menempel. Aku tak ingin fokusku buyar hari ini.

Tepat saat aku menuruni tangga ponselku berbunyi. Telepon dari Mila. Dengan cepat aku segera menagngkatnya.

“Halo Mila. Kau kemana saja hah? Kau tak tau seberapa takutnya aku dimarahi oleh pak Herman jika sampai tidak mengumpulkan tugas kan? Unatung saja deadline ditunda. Kalau tidak habis lah aku,” gerutuku kesal.

“Aduh, maaf-maaf. Tiba-tiba saja perutku sakit pagi ini. Aku masuk angin,” ujarnya. “Dari tadi aku tak bisa bangun. Ponselku juga mati dari semalam, makanya tak bisa mengabari. Aku benar-benar minta maaf ya.”

Suara Mila terdengar lemah membuatku tak tega untuk memarahinya.

“Ya sudah, lain kali janagn sampai terulang lagi,” ujarku akhirnya.

“Baiklah,” jawabnya lemah.

“Eh… aku boleh minta tolong?” tanyanya.

“Apa?”

“Sepupuku mulai masuk hari ini. Dia masih bingung dengan kampus ini. Kau bisa bantu dia? Dia sekelas katanya dengan kita.”

“Oh. Baiklah. Bilang suruh temui aku di kantin kampus. Mata kuliah pak Doni libur. Aku akan ke kantin,” balasku.

“Oke. Nanti aku kabari lagi,” balasnya. Ia kemudian memutus telepon.

Aku pun segera berjalan ke kantin.

Sepuluh menit berlalu. Aku telah duduk di kantin menunggu pesananku datang. Dari kejauhan, kulihat si lelaki berbaju cokelat tadi sedang memegang ponsel sambil memakan cokelat batang di pinggir jendela. Huh, lagi-lagi rasa kesalku muncul. Aku segera mengganti posisi dudukku membelakanginya.

Ping.

Sebuah pesan singkat masuk. Dari Mila.

Mila: “Dia sudah ada di kantin katanya. Kau dimana?”

Rena: “Di depan warung pak Somad, menunggu pesanan.”

Mila : “Oh, oke. Akan kuberitahu dia untuk menemuimu.”

Aku menunggu saja. selang tiga menit Mila mengirim pesan lagi.

Mila : “Kau dimana sih? Dia bilang tidak menemukanmu.”

Rena : “Ya sudah. berikan nomornya. Akan kutelepon.”

Sesaat kemudian, nomer itu masuk. Aku segera menelponnya. Sesaat kemudian, aku seperti mendengar suara ponsel di sekitarku. Aku mencoba menoleh mencari suara itu. namun, ketika aku belum sempat menemukan, telepon terputus. Saat itu kulihat lelaki berbaju cokelat lewat di hadapanku.

“Huh, dasar lelaki menyebalkan,” gumamku. Aku mulai menelpon lagi. Kali ini suara deringnya begitu dekat. Aku segera menoleh mencari suara. Di saat yang sama, aku terkejut ketika tau siapa pemilik ponsel yang tengah berdering tersebut. Ya, lelaki berbaju cokelat.

“Halo,” ujarnya mengangkat telepon tersebut.

Oh Tuhan, kenapa harus dia, gerutuku.

“Kau sudah bertemu Devan, sepupuku?” tanya Mila saat aku datang ke rumahnya.

“Sudah,” balasku malas.

“Bagaimana orangnya?” tanyanya.

“Menyebalkan.” Jawabku kesal.

Mila mengernyitkan dahi.

“Bayangkan saja, baru pertama kali bertemu saja aku sudah kesal dengan sikapnya. Dia menyuruhku pindah gara-gara ingin duduk dekat jendela. Dia juga bilang aku tuli. Sikapnya pongah, angkuh, ah pokoknya menyebalkan. Kau tau apa lagi, di tengah-tengah kelas, ia tiba-tiba mengeluarkan parfum berbau cokelat. Kau tau kan aku sangat tidak suka dengan cokelat. Ditambah lagi gayanya yang norak itu. setelan cokelat.”

“Ah, aku lupa memberitahumu. Ia itu punya gangguan hidung. Penciumannya sangat tajam, jadi ia harus menghirup udara terus agar bisa menghindari bau. Makanya dia ingin duduk di samping jendela,” Mila menjelaskan.

Aku jadi merasa sedikit bersalah.

“Ya… ya tapi kenapa harus menghirup parfum cokelat segala? Bukannya tambah bau?” tanyaku.

“Itu semacam obat untuknya. Semacam penangkal.”

“Eh, bisa begitu?” celetukku heran.

“Entahlah. Dia bilang hanya agar bisa berdamai dengan kenangan buruk.”

Aku terdiam. Tak berkomentar apapun. Berdamai dengan kenangan buruk? Bagaimana bisa berdamai dengan kenangan buruk? Batinku.

Hari senin. Awal semua rutinitas berulang kembali. Aku berjalan dengan langkah sedikit lemas. Sedari tadi kepalaku pusing dan berat. Badanku juga rasanya lemas. Namun aku tetap masuk karena hari ini aku harus mengumpulkan tugas dari Pak Herman.

“Ren,” panggil Mila sambil melambaikan tangannya. Ia terlihat sudah rapi dengan kemeja dan rok hitam, terlihat begitu resmi.

“Kau mau pergi?” tanyaku.

“Ah, aku lupa memberitahumu. Aku ikut lomba debat, menggantikan Sherin. Aku akan berangkat hari ini. Oh, iya, aku titip Devan lagi ya,” ujarnya.

Aku belum sempat menjawab apapun, ia sudah pergi saja membawa tasnya masuk ke mobil. ia melambaikan tangan padaku sebelum mobil itu melenggang pergi.

Aku pun melanjutkan perjalanan menuju kelas denagn langkah lemas.

Sejam mata kuliah, aku benar- benar tak bisa focus. Sakit kepalaku makin menjadi-jadi setelah keluar kelas menuju jam berikutnya. Saat berjalan, tiba-tiba saja pandanganku kabur. Itu membuatku berhenti tiba-tiba dan menabrak Devan.

“Aduh. Kau ini bisa jalan yang benar tidak?” omelnya.

“Maaf,” ujarku lirih.

Tiba-tiba saja dunia terasa berputar. Aku tak bisa menjaga keseimbangan. Pandanganku gelap, dan saat itu aku hanya mendengar Devan memanggilku dengan nada bingung dan khawatir.

Kepalaku masih pusing saat aku membuka mata. Kulihat sekeliling hanyalah dinding bercat putih. Sebuah gorden berwarna hijau menggantung di sampingku, sebagai pembatas. Seorang perawat masuk menyibak gorder tersebut.

“Sudah sadar nona?” tanyanya saat melihatku membuka mata.

“Saya kenapa sus?” aku balik bertanya.

“Pingsan. Seorang mahasiswa membawamu kemari. Kau perlu menambah gula darahmu. Sepertinya kau sangat kekurangan gula darah,” ujarnya menyampaikan hasil periksa.

“Sudahlah. Istirahat dulu ya. nanti kalau sudah mau pulang, kamia kan berikan vitamin dan obat,” katanya lagi kemudian keluar.

Aku menghela napas sambil meijat-mijat kepalaku. Ah, rasanya menyebalkan harus sakit seperti ini.

Gorden kembali disibak. Devan masuk dengan wajah datarnya.

“Sudah sadar?” tanyanya datar.

“Terima kasih sudah membawaku kemari.”

“Kau kekurangan gula darah.”

“Aku tau,” balasku. “Aku tidak terlalu suka makanan manis.”

“Jangan bilang kau penganut diet ekstrim.”

“Tidak,” balasku cepat.

“Aku… hanya tidak ingin merasakan rasa manis lagi setelah kehilangan,” ujarku dengan nada sedih.

“Jangan terlalu terpuruk. Hidup itu selalu antara pahit dan manis. Kau tidak bisa hanya memilih salah satu,” balasnya.

Aku terdiam sebentar. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari sakunya.

“Ini, untuk menambah gula darahmu,” ujarnya sambil mengulurkan sebatang cokelat.

Aku ingin bilang kalau aku tak suka cokelat, tapi aku tak enak rasanya menolak niat baiknya.

“Terima kasih,” balasku.

“Hidup itu bagaikan cokelat. Ada manis ada pahitnya. Jangan lupa bahwa rasa asli cokelat itu pahit, tapi lihat, seberapa banyak orang menjadikan cokelat itu manis,” ujar Devan saat kami sedang berada di depan perpustakaan.

Ya, setelah kejadian aku pingsan itu, kami menjadi dekat. Ini juga Karena kami sekelas dan sering sekelompok.

“Ya, ya. itu bisa jadi kalau cokelat tidak emngandung memori dan hanya rasa, itu bisa terasa manis. Tapi bagaimana kalau cokelat itu mengandung memori buruk?”

“Kalau begitu buatlah memori itu menjadi manis,” celetuknya.

“Semudah itu?” tanyaku tak setuju.

“Tidak mudah. Tapi jangan sampai tidak sama sekali.”

Ia kemudian menghela napas sebentar.

“Kau tau, mengapa aku suka cokelat? Aku ingin berdamai dengan kenangan buruk,” ujarnya.

Persis seperti yang dikatakan Mila, batinku.

“Cokelat adalah kenangan pahit saat orang tuaku bercerai. Ibuku meninggal dalam kecelakaan mobil saat perjalanan pulang dari pengadilan. Ia membelikanku cokelat dan berniat untuk mengatakan semuanya padaku saat sampai rumah, tapi ternyata semua itu tak pernah terjadi.”

“Setelah kejadian itu, aku sering sedih saat melihat cokelat pemberian ibuku. Aku selalu terbayang ibuku saat melihat cokelat itu. aku tak bisa menerima kehilangan ibuku. Hingga bertahun-tahun berlalu, aku terus tenggelam dalam kesedihanku. Kau tau apa, semakin aku tak bisa terima, semakina ku kehilangan semuanya. Kehilangan itu membutakan mataku dan menutupi rasa syukur yang ada. Ayahku meninggal tanpa kutau dia sebenarnya telah menderita penyakit parah. Itu juga yang menyebabkan ia ingin bercerai dengan ibuku. Aku semakin merasa bersalah saai itu.”

“Kehilangan dua orang yang paling kita cintai bukanlah hal yang mudah, sangat berat. Namun, kali itu, aku berusaha untuk berdamai dengan kehilangan dan mencoba mencintainya. Aku mulai mmberanikan diri untuk mengubah kenangan buruk menjadi manis. Dan kau bisa lihat sekarang, seperti aku dan cokelat. Aku menjadikannya penenangku ketika aku sedang merasa tak nyaman.”

Aku terdiam saja. Rasanya tak bisa berkomentar.

“Kau tau, setelah aku terpuruk akan kematian ibu dan ayahku, aku sadar satu hal. Itu adalah contoh dari hal pahit yang ku alami. Semua itu pasti akan terjadi : meninggal dan ditinggalkan. Hanya waktunya saja yang berbeda. Jadi, setelah aku merasa bersalah pada ayahku karena tak memperhatikannya, aku mulai sadar, bahwasannya itu bukan salahku. Itu adalah bagian dari jalan hidup pahit yang harus kulalui,” uajrnya panjang lebar.

Aku kini benar-benar terdiam. Semua yang dikatakan benar. Mungkin saja itu juga bukan salahku. Itu sudah menjadi jalanku. Jalan pahit yang harus kulalui.

“Mau cokelat?” tanyanya sambil menyodorkan sebatang padaku.

“Terima kasih. Akan kusimpan dulu,” balasku.

Hari demi hari berlalu. Tak terasa sudah setahun kami berteman. Kami cukup akrab daripada saat pertama kali kami bertemu. Tentu saja, setelah semua berlalu dan dia yang mulai mengubah presepsiku untuk berani menghadapi hidup lagi. Namun, tiba-tiba saja ia menyampaikan kabar tak terduga pada kami kemarin.

“Aku akan kembali ke Jakarta. Kakek memintaku untuk mulai belajar memegang bisnis keluarga,” ujarnya saat kami berkumpul untuk berbincang bersama.

“Heh, kok tak memberitahuku sebelumnya?” protes Mila.

“Kupikir kau sudah tau?” balasnya enteng.

“Dasar kau ini…” ujarnya sambil menjitak kepalanya.

“Hati-hatilah di jalan,” balasku.

“Hanya hati-hati?” tanyanya.

“Lalu apa hah? Cokelat sekarung?” candaku.

“Tak ada.”

“Hhh… aku pasti akan merindukan kalian,” ujarnya.

“Wah, ada apa ini? Kau bahkan tak pernah merindukanku sebelumnya,” celetuk Mila.

Aku hanya diam saja. Namun, ternyata aku tak bisa diam setelah sampai rumah. Aku terus memikirkannya. Akan seperti apa rasanya kalau dia tidak ada? Apakah akan sama? Aku benar-benar tak habis pikir dia akan pergi.

Ping.

Sebuah pesan masuk. Dari Devan.

“Jangan lupa besok jam 10.25 di Stasiun Tugu,” tulisnya.

Aku tak menjawab apapun. Hanya diam sambil berbaring menatap langit-langit. Aku terus berpikir hingga tak bisa tidur. Pagi telah tiba tanpa kusadari. Dengan pikiran yang belum menemui ujung aku berjalan ke kamar mandi, bersiap-siap dan pergi ke stasiun Tugu.

Sepanjang jalan, aku berusaha mengatur perasaanku. Rasanya aku benar-benar tak ingin dia pergi. Aku tak ingin dia jauh dariku. Aku tak pernah merasakan ini, tak pernah sesedih ini. Tidak juga saat berpisah dengan Mila saat kami tak se-SMA. Mengapa aku merasa seperti ini?

Aku masih menatapnya ragu ketika ia tengah berbincang dengan Mila dan keluarganya. Entah mengapa rasanya aku ingin berbicara sebentar dengannya, hanya berdua. Hanya sebentar saja.

“Rena. Kau kenapa? Kau sesedih itu aku akan pergi?” tanyanya.

“Bisa bicara sebentar?” tanyaku langsung ke intinya.

Ia menatap bingung, namun kemudian segera menurut.

“Kami pergi sebentar. Ada sesuatu yang harus kubeli,” ujarnya langsung menyeletuk.

Kami pun segera berjalan agak menjauh.

“Ada apa Ren?” tanyanya lagi.

“Jangan pergi,” ujarku. Air mataku tiba-tiba saja menangis.

“Ku mohon jangan pergi. Jangan pergi aku tak mau kau pergi. Aku masih ingin bersamamu. Jangan pergi,” ujarku dengan suara bergetar mengontrol tangis.

Ia menarikku dalam pelukannya. Tangisku makin pecah.

“Aku tak akan pergi selamanya Ren. Aku pasti akan kembali. Kau mau menungguku?”

Aku tak menjawab hanya menangis dalam pelukannya.

“Sudahlah, aku pasti akan kembali,” ujarnya lagi.

Aku masih saja tak menjawab hingga pemberitahuan kereta akan berangkat berbunyi. Aku melepas pelukannya.

“Jika aku menunggumu kau akan datang?” tanyaku.

Ia mengangguk.

“Pasti.”

“Kau tak akan mengecewakanku?”

“Tak akan,” balasnya tanpa ragu.

“Tepatilah janjimu.” Ujarku.

Sampai kereta berangkat, aku berusaha menahan tangis. Aku tak ingin Mila meledekku atau bertanya-tanya. Tangisku pecah saat aku naik taksi. Aku hanya bisa berharap ia tak mengingkari janjinya.

Tiga tahun, dua bulan dua puluh lima hari. Aku masih menunggu kedatangannya untuk menepati janji. Kami masih sering kontak dan dia berjanji akan datang hari ini. Tapi entah mengapa, sejak seminggu yang lalu ia tak kunjung mengabari. Apa ia tak jadi datang hari ini? Batinku. Ah, aku akan tetap menunggunya.

“Ren, kau bisa tidak temani aku mala mini,” ujar Rena.

“Kemana?” tanyaku.

“Kafe cokelat Melody. Aku ada janji dengan temanku.”

“Kenapa tak sendirian saja?” balasku malas.

“Takut di culik. Dari fotonya seram.”

Aku terkekeh mendengarnya.

“Oke. Hanya sebentar ya.” balasku.

Ya, aku masih bersama Mila. Kami memutuskan untuk bekerja di perusahaan yang sama dan bekerja di bagian yang sama. Kami rasanya terlalu susah untuk berpisah. Sudah terlalu akrab saja dan terbiasa bersama.

Pukul tujuh malam. Aku sudah sampai di tempat. Tapi aku belum juga melihat batang hidung Mila. Ah, dia pasti terlambat lagi.

Aku segera menelponnya.

“Halo Mil, kau dimana? Aku sudah di tempat,” kataku.

“Wah, kau sudah di tempat? Aduh, maaf ban mobilku kempes. Sepertinya makan waktu. Bisa kau tempati dulu mejanya, takut dikira batal.”

“Hhh… ya sudah, meja nomor berapa?” tanyaku akhirnya.

“Nomor 22 lantai dua di balkon ya,” balasnya.

“Oke. Cepat kemari. Aku akan pergi kalau sampai setengah jam kau tak datang.”

“Heh, kau pasti tidak akan bisa pergi.”

“Eh…”

Tut… tut… tut…

Telepon telah terputus.

Aku mulai berjalan ke dalam untuk mencari meja yang dimaksud oleh Mila. Dalam waktu dua menit aku segera menemjukan meja itu. Aku mulai duduk sambil main ponselku. Memeriksanya siapa tau ada kabar dari Devan. Namun nihil, tak ada pesan satupun darinya.

Aku mulai menunggu dengan bosan. Lima belas menit berlalu. Tak ada kabar dari Mila. Ini membuatku sedikit kesal dengannya.

“Permisi mbak, pesanan kue cokelatnya.”

“Eh, cokelat? Tapi saya tidak pesan.”

“Sudah dari pemesan tempat mbak untuk menaruh di sini.”

“Oh, iya. Baiklah.”

Pelayan kemudian meletakkan di atas meja. Ia kemudian pamit pergi.

Aku menatap kue cokelat tersebut. Semua tentang cokelat kini mengingatkanku pada Devan. Ia paling ahli berfilosofi tentang cokelat. Ah, mengingatnya membuatku rindu. Andai saja ia tak pergi waktu itu. Kira-kira ia sedang apa ya sekarang?

“Permisi nona, bisa anda pindah ke tempat lain? Saya ingin duduk di dekat jendela.”

“Maaf, meja ini sudah di pesan,” balasku tanpa menoleh kea rah orang itu, masih menatap kue cokelat.

“Tapi saya ingin duduk di dekat jendela.”

Aku tiba-tiba saja kesal dengan orang ini. Apa sih maunya

“Maaf, kalau begitu kenapa anda tidak pesan saja dul… u… an.”

Aku terdiam ketika menatap siapa yang ada di depanku. Tubuh jangkung, parfum cokelat dan wajah yang sangat kurindukan.

“Devan,” ujarku tak percaya.

“Kau masih sama Rena,” balasnya.

Aku segera memeluknya erat.

“Aku kira kau tak datang,” ujarku setelah aku melepas pelukanku.

“Bagaimana aku bisa tak datang. Memori manisku tertinggal di sini,” ujarnya.

“Aku datang untuk membawa rasa manis bersamaku selamanya,” ujarnya.

Aku tak bisa berkata-kata lagi. Ia memberikan sesuatu ke genggaman tanganku. Sesuatu yang kecil berbentuk bulat dengan berlian berwarna merah.

“Kau mau terus bersamaku?” tanyanya.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk berulang kali saking senangnya. Aku kembali memeluknya erat.

Aku memandang kue cokelat yang kini masih tergelak di atas meja. Devan benar. Cokelat adalah perumpamaan dari pahit dan manis. Cokleat mengingatkanku tentang memori kelam Namun, cokelat juga yang memberikan kenagan manis di hidupku dan mengajarkanku bagaimana cara mencintai kehilangan.

Cokelat jpg

1 Like