Cerpen : Senja Ditelan Kabut

###Senja Ditelan Kabut
Sulaiman Rambe


Berlari mengikuti arus angin yang bertiup, membuat napasku tersengal tak beraturan. Kuatur perlahan sebisanya sampai napasku kembali berirama. Ah, lelah tubuhku semakin terasa sebab sedari pagi aku tidak pernah berhenti berjalan menelusuri padang cahaya di antara semak belukar bumi pertiwi, mengejar separuh impian yang sempat tertunda.


AKU terengah dalam pelarian panjang berpacu dengan nyali. Kusandarkan punggungku pada tiang keresahan, resah dalam menjalani hidup yang tak kunjung
berkesudahan. Kuistirahatkan raga ini sejenak sambil meneguk air kegundahan yang kusemai di kala angin bertiup ke barat. Di kala itu mentari memancarkan panasnya melalui pori-pori bumi hingga menyilaukan mata.

Cahaya itu semakin panas seakan berhasrat menjilat darahku. Ketika bersandar, sepasang mataku tiba-tiba tertuju pada satu noktah. Ya, dialah wanita yang telah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Meskipun bukan ia yang melahirkanku, setidaknya ia telah turut berpartisipasi dalam menyumbangkan kasihnya berupa sepercik perhatian padaku laiknya kasih ibu di rumah.

Wanita itu kini telah berumur sekitar lima puluhan, namun masih perawan. Wanita seusia itu namun belum menikah bukanlah hal yang asing bagiku, sebab sejak kecil aku sudah banyak menyaksikan wanita seperti itu tumbuh subur di kampung halamanku, Desa Mandalasena. Ia adalah wanita solehah dan mempunyai sikap yang ramah. Ia selalu menebarkan senyumnya pada siapa saja baik pada kaum muda maupun pada teman sebayanya. Tidak pernah sedikitpun terbersit di benaknya untuk melukai hati orang lain tidak terkecuali padaku yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.

Kursi roda.Ya, kursi itu kini menjadi saksi bisu yang mengharu biru menjelma menjadi sahabat sejatinya. Kemanapun ia melangkah, kursi roda pasti berada di sisinya. Di atas kursi roda itulah ia mejalani hidupnya hingga ajal menjemput. Lima tahun yang lalu, ia mengalami sakit yang luar biasa pada bagian kepala. Sakit itu bagaikan seribu jarum, lurus menghunus tajam tertancap di kepalanya yang tak kenal ampun, menyebabkan ia terjungkal ke lantai. Ia merasa bumi bergoncang seperti baru saja terjadi gempa.

“Awas! ada gempa, semua keluar!” Ia menjerit sekuat tenaga hingga membuat orang di sekitarnya panik dan gempar. Namun ada keganjilan yang terjadi. Tak seorangpun merasakan gempa seperti apa yang baru saja ia teriakkan.

“Kenapa Nek?” Sahut Tuginem dengan suara setengahmenjerit dari dapur yang tengah asik memasak. Tuginem adalah salah satu tetangga yang daun pintu rumahnya berhadapan dengan pintu dapur wanita itu.

“Tolong…!” Tanpa berpikir panjang, Tuginem langsung menuju rumah wanita itu tanpa menghiraukan apapun yang ada di sekitarnya.

Tuginem tersontak kaget. Ia menemukan wanita itu tengah dalam keadaan tersungkur di lantai dan meraung kesakitan. Ia mencoba membantu untuk berdiri, namun tidak bisa. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membangkitkan tubuh wanita itu, mengulangnya berkali-kali namun hasilnya tetap saja nihil. Wanita itu meminta Tuginem agar memanggilkan dokter yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya.

Tidak berapa lama dokter tersebut datang dengan membawa seperangkat alat medis. Ia mengeluarkan stetoskop dari kantung tasnya, lalu menyodorkan alat itu ke bagian dada wanita itu, untuk memastikan apakah denyut jantungnya masih dalam keadaan normal. Setelah diperiksa, dokter tersebut menyatakan ia mengidap hipertensi yang memicu rasa sakit luar biasa di kepala yang mengakibatkan ia terjatuh.

“Jadi bagaimana sekarang dok, apakah saya baik-baik saja”?

Tanya wanita itu ingin tahu lebih lanjut.

Hening sejenak. “Maaf bu, setelah saya periksa, ibu mengalami kelumpuhan pada kaki kanan,” kata dokter tersebut.

“Apa,Aku lumpuh?” Isak tangis mengisi ruangan yang tadinya hening kini menjadi buyar. Bagaikan petir di siang bolong yang menyambar ulu hatinya. Ia tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa ia akan mengalami kejadian seperti ini.

“Ya Allah, salah apa hamba terhadap-Mu, dosa apa yang telah aku perbuat hingga Engkau memberiku musibah yang tak kuinginkan. Oh Tuhan, jangan Kau hukum aku seperti ini. Engkau maha adil tapi di mana rasa adil itu? Engkau pengasih tapi kau malah memberiku musibah ini. Apalah gunanya aku hidup kalau hanya untuk menunaikan panggilan-Mu saja aku sudah tidak bisa, lebih baik Kau ambil saja nyawa ini,” ucapnya dalam tangis tanpa henti.

Siang itu, tepatnya hari Senin. Hari dimana orang-orang kembali memulai aktifitasnya setelah istirahat seharian atau mengisinya dengan liburan sehari sebelumnya. Aku pun memulai aktifitasku seperti biasanya. Sebagai seorang musafir yang rela meninggalkan kampung halaman demi seteguk air ilmu pengetahuan di perantauan. Kupacu sepeda motorku menuju kampus, tempat aku mengadu nasib masa depanku.

Dalam perjalanan, tiba-tiba aku teringat pada pembicaraan singkat antara aku dan wanita itu pagi tadi. Di saat itu aku berjalan melewati koridor kecil menuju kamar mandi. Perutku berbelit sakitnya bukan main seakan umbai cacing yang ada di perut mengulum ususku. Aku berlari kencang menuju tempat pembuangan sampah. Bukan sampah organik maupun non organik, tapi sampah yang ada di dalam perutku yang tertahan sejak dua hari yang lalu.

Namun di tengah perjalanan menuju kamar mandi, wanita itu mencegatku bahkan ia bersikeras untuk tetap menahanku. Seperti ada sesuatu hal penting yang ingin ia sampaikan. Aku tersentak kaget sekaligus heran mengapa ia tetap bersiteguh menahanku. Padahal, biasanya aku sering melewati koridor itu tapi ia tidak pernah mencegatku bahkan acapkali ia mengacuhkanku.

“Aneh, tidak seperti biasanya,” gumamku dalam hati.

“Saiful, minggu depan ibu mau dironsen, sambil mengelus- elus kaki kanannya yang lumpuh. Tapi sebelum itu ibu akan tes kadar gula, bagaimana menurutmu?” tanyanya.

“Bagus itu bu, kita sebagai manusia hanya bisa berusaha, namun yang menentukan berhasil atau tidaknya tergantung kepada-Nya,” jawabku dengan gaya ustadz.

Tiba-tiba wanita itu menangis, memecah keharuan langit mendengar sederetan kalimat yang baru saja ku ucapkan. Apakah ada kalimatku yang salah, pikirku. Akupun merasa sungkan sekaligus merasa bersalah karena telah membuat ia bersedih.

“Aduh… mampus aku, ini semua salahku. Seandainya aku tidak berkata seperti itu pasti ia tidak sesedih ini,” ucapku dalam hati sembari menyalahkan kebodohanku.

“Ibu sudah tidak tahan lagi menanggung beban ini. Ibu hanya menjadi benalu bagi orang lain saja.Aku hanya bisa menyusahkan orang lain. Lebih baik aku mati saja sebab aku sudah tidak tahan dengan keadaan seperti ini terus. Tuhan… lebih baik kau ambil saja nyawa ini,” ujarnya.

“Istighfar bu, kita tidak boleh berkata seperti itu. Kita harus menyerahkan segalanya pada Allah, apapun yang terjadi pada diri kita, itulah yang terbaik bagi-Nya.”

Kucoba menyetir sedikit ayat Alquran. “Allah tidak akan membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya, apapun yang terjadi pasrahkan semua pada-Nya,” tambahku.

“Terimakasih ya nak, kamu memang anak yang baik dan mengerti keadaanku,” ucapnya sembari menyeka bulir air matanya yang mengalir deras dengan punggung tangannya.

“Ia bu, sesama muslim sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk saling mengingatkan.”

Aku menutup perbincangan singkat itu dengan pamitan untuk melanjutkan perjalanan ke kamar mandi, sambil mencoba melupakan kejadian yang menurutku tidak biasanya ia seperti itu.Ah, kutepis semua pikiran negatif yang ada dalam pikiranku. Sepulang dari kampus, jam telah menunjukkan pukul 19:00 WIB. Hari ini malam menjelang lebih cepat dari biasanya. Kubuka laptopku dan mencoba merangkai kata demi kata, Entah mengapa di malam ini aku ingin sekali buat puisi yang berhubungan dengan ibu. Mungkin karena aku sudah lama tidak pulang kampung halaman walau hanya sekadar melepas rindu yang amat sangat pada Ibuku.

“Saiful, saiful….” Suara itu menyontakkanku yang tengah tenggelam dibuai indahnya sentuhan rangkaian kata-kata. Puisi yang kurangkai tadi belum selesai, masih dalam keadaan separuh. Kuurungkan niatku untuk menyelesaikan puisi itu. Aku langsung berdiri menuju daun pintu kosku.

Ternyata ibu Legini, adiknya wanita itu.

“Ada apa bu?” Tanyaku.

“Anu pul, anu… “ Ucapnya dengan nada terputus-putus sambil menahan tangis.

“Anu apa bu, Ibu kenapa?” Tanyaku heran.

“Anu pul, Ibu Rumini sudah tidak ada lagi. Dia sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanya,” ucapnya diiringi tangis yang semakin menjadi.

“Apa? Wanita itu? Kini sudah tidak ada? Inna lillahi wainna ilaihi rojiun! Mengapa ia pergi secepat itu?” Tanyaku dalam hati. Tak terasa bulir-bulir kesedihan menetes satu persatu membasahi pipiku. Aku seakan tidak percaya dengan kabar duka yang baru saja singgah di telingakku. Sebab siang tadi aku masih berbincang dengannya.

Aku tidak menyangka bahwa pertemuan tadi siang adalah pertemuan terakhirku dengan dia. Keganjilan yang kurasa sedari siang tadi ternyata telah menjelma menjadi sebuah kenyataan yang tiada pernah terpikir dalam benakku sebelumnya.

Kematian telah merenggut nyawanya dan kini ia tengah berbaring kaku berselimutkan kain putih beralaskan kain kafan, beku membatu di hadapan Sang Kuasa. Burung mayat berkulin dalam pucat kehidupan. Bumi dan langitpun turut berduka atas kepergiannya. Kulihat orang-orang di sekitarnya menangis sambil melantunkan ayat-ayat suciAlquran sebagai pertolongan terakhir. Selamat jalan bu, nasihatmu bagaikan cahaya mutiara yang menembus lautan samudera yang tidak akan pernah kulupa sepanjang hidupku. Doaku akan selalu menyertai kepergianmu.

Di sini aku hanya bisa mendoakan semoga engkau diberikan tempat yang sebaik-baiknya di sisi-Nya.

Kematian akan menjemput kita tanpa pamit terlebih dahulu. Oleh sebab itu, persiapkan sejuta bekal menuju gerbang kematian. Karena kematian merupakan suatu hal yang tiada seorangpun bisa meramalkan sebab ia adalah sebuah ilusi tapi nyata yang takkan dapat dipungkiri.

(Waspada | Minggu, 15 Juli 2012)