Cerpen : Musim Maling

###Musim Maling
Riki Utomi


SUNGGUH ia tak mengerti mengapa akhir-akhir ini dadanya begitu bergemuruh. Seperti gemuruh saat mendung yang mengurung terang siang di penghujung bulan. Pada saat-saat seperti itu, kontak pikirannya juga menjadi tak menentu, lebih tepat ia merasa pusing, walau tak begitu menusuk, tapi cukup membuatnya sulit berpikir. Saat-saat seperti itu, tubuhnya terasa panas dan berkeringat. Ah, setahu dirinya, ia tak punya apa-apa, juga tak menaruh beban pada hidup. Tapi benarkah? Dia coba berputar-putar memikirkan lekuk liku hidupnya sendiri sehingga berhasil mapan saat ini.

Tapi ia tak mengerti mengapa seolah hal-hal yang rancu seperti singgah padanya. Seperti kemarin tiba-tiba ia takut akan gelap. Saat itu mati lampu dan malam seperti kuburan gelapnya. Hal yang membuat anak-anaknya tertawa karena ia menjerit-jerit ketakutan. Segera istrinya berlari sambil meneranginya dengan senter. Ia melihat istrinya dengan pucat, sepucat seperti ia melihat hantu.

Dan, juga kemarin lagi, hal yang tak dimengerti istrinya, ia tiba-tiba tak mau makan, padahal di meja telah terpenuhi seluruh makanan favoritnya. Kau tahu? Ia berkata yang mencengangkan istrinya, seluruh makanan itu—dalam penglihatan matanya— seolah bagai seonggok bangkai. Dan akhirnya, istrinya pun marah-marah, bahkan menumpahkan semangkuk sayur lodeh kesenangannya sehingga celana dan bajunya basah karena kuah sayur.

Dan… ini yang lebih gawat. Ia telah membuat wajah istrinya cemberut dan masam semasam asam jawa. Pada malam-malam yang di mana ia telah berjanji dengan istrinya itu di tempat tidur, tiba-tiba ia menjerit lagi. Ia menggigil dan ketakutan. Ia berteriak keras karena mengaku telah melihat bayangan hitam sambil membawa tombak yang siap menancapkan ke tubuhnya. Ah… ia benar-benar tampak seperti akan gila. Tapi, lain waktu, ia segar bugar, mengawali pagi dengan jalan kaki keliling halaman perumahan elit itu. Berjalan sambil tersenyum mendengarkan dendang burung-burung berkicau.


SEBENARNYA tak ada yang harus dirisaukannya. Sebab segala bentuk kesenangan telah diraihnya. Ia juga kini telah berhasil meraih prestasi sebagai konglomerat. Saat pulang kantor ia pasti tertawa lebar, ngakak seperti telah menonton ketoprak humor di televisi. Seperti lelucon yang segar telah ia dapati. Seperti angin semilir yang mengelus pipi. Ia makin tampak gembul dan bundar seperti bola kasti. Hidup senang adalah harapan! Gaungnya. Setelah itu, ia kerumuni anak-anaknya yang ramai. Istrinya menuju padanya sambil membawa secangkir teh hangat.

Mengecup pipinya dengan panas. Ia makin tertawa.

‘’Semua telah berada di tanganku. Kita harus menggenggam.’’ Istrinya mengangguk.

‘’Kita harus tak ketinggalan seperti mereka, bukan?’’ Istrinya makin senang, tersenyum lebar.

‘’Tenang saja. Semua yang ada sudah aku kuasai.’’

Hal itulah yang membuatnya makin gencar berada di kantor. Ia lebih sibuk dan (mungkin juga giat) tanpa pernah orang lain menyadarinya. Tapi orang lain tak tahu entah giat bekerja yang seperti apa, karena bisa jadi lain hal yang dijalaninya di kantor dinas itu. Tapi pelan dan pasti ia memang berhasil menggapai bintang cita-citanya: menjadi kepala dinas di sebuah kantor di kota itu. Ia kini pemegang kendali segala hal.
Dan ia tertawa makin lebar…


TAPI ada sesuatu hal yang lain di tempat ia tinggal. Pemukiman elit itu—entah mengapa— menjadi seperti neraka baginya. Itu tentu sebuah hal yang tak menyenangkan. Meski ia belum merasa apa-apa dari hal-hal yang buruk melandanya, ia seperti sudah merasa dilanda, bahkan yang lebih menyedihkan, ia sudah seperti menjadi orang gila.

‘’Rumah Pak Gimun, pejabat itu habis diobrak-abrik maling,’’ kata istrinya.

Ia terdiam sejenak. Seperti ada sengatan listrik menjalar di tengkuknya. Ia memandang istrinya dengan ragu. Tapi berusaha tersenyum, lebih tepat untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia juga merasa tak mengerti mengapa begitu takut akan hal itu. Sebab, baginya, hal itu bukan main-main. Setidaknya semua apa yang dirasakannya juga dirasakan oleh istrinya. Itulah harapannya. Dan mengingatkannya mengucapkan pada istrinya, ‘’kita harus hati- hati…’’

Istrinya tersenyum, seperti menganggapnya tak ada kejadian. Dan itu memang benar, belum ada kejadian. Tapi dia—entah mengapa— sejak saat diangkat sebagai kepala dinas di lingkungan kantor itu, cukup membuatnya resah. Resah? Bukankah itu sebuah harapan dan anugerah? Sebagai hasil prestasi? Ya. Ia telah menganggap dirinya pantas untuk memegang pucuk pimpinan di lingkungan kantor itu. Ia merasa giat dan pantas mendulang prestasi. Tentu semua itu harapan yang gemilang. Tapi… setelah lingkungan tempat tinggalnya ini kini cukup merisaukan karena maling, itu membuat perasaannya tak enak. Seperti ada sesuatu yang menusuk-nusuk pikirannya, menggoyahkan hatinya, dan entah mengapa ia seakan ditertawakan oleh maling itu sendiri. Saat-saat seperti itu ia akan memijit kening dengan lebih dulu mengoles balsem. Sesuatu hal yang tak terduga begitu menyentak menyerang pikirannya. Menerornya dengan tatapan tajam, dan ia memejam. Menggeleng. Hatinya bergemuruh lagi, sulit untuk ia redakan. Apalagi setelah istrinya mengatakan hal yang lebih menusuk.

’Semalam Bu RT cerita padaku. Bahwa orang-orang di pos ronda berhasil menangkap seorang maling. Maling itu memar dipukul saat diintrogasi karena ia tak mau mengaku. Setelah babak belur, baru ia mengaku telah mencuri uang dari rumah Pak Haji Dingklik sebanyak ratusan juta. Pipinya biru, bibirnya pecah, dan matanya lebam. Ya, salah sendiri ia maling…’’

Ia merinding mendengar istrinya bercerita. Baginya cerita itu begitu menusuk. Mampu mengoyak perasaannya. Betapa beratnya yang diterima maling itu. Tapi bukankah maling tik perlu dikasihani? Dan untuk apa pula merampas hak orang lain? Apakah maling itu tak memiliki pekerjaan sehingga berani berbuat hal yang merugikan dirinya sendiri? Ia tak habis pikir. Dan keningnya terasa kian berdenyut. Ia menambah lagi olesan balsem. Memijitnya dengan keras-keras…


MALAM mendung. Angin begitu simpang siur bertiup, menabrak pepohonan dengan sembrono. Beberapa pohon tampak miring kanan-kiri. Sesekali terlihat kilat menyalip malam dan terdengar gemuruh yang beruntun. Dalam pusaran angin yang menabrak-nabrak itu terdengar ranting-ranting dan dahan-dahan pepohonan yang jatuh. Terdengar juga buah kelapa yang ikut jatuh menimpa atap seng kamar mandi. Dan yang lebih menjengkelkan… keadaan itu membuat listrik padam.

Istrinya telah tertidur lelap. Entah mengapa ia makin merasa ketakutan. Dan yang membuatnya jengkel sejak satu jam yang lewat matanya tak dapat terkatup untuk segera pulas tertidur. Ia membayangkan kepulasan dalam tidur yang nikmat di setiap malam. Tapi akhir-akhir ini ia tak tahu mengapa begitu sulit untuk mendambakan tidur yang pulas dan nikmat. Malam-malam ibarat siksaan baginya saat ini. Dan kegelapan malam yang hanya diterangi lampu minyak tanah itu membuatnya terasa mencekam. Ia memasang selimut lebih tebal. Rintik-rintik gerimis telah turun menderu di atas genteng. Sayup-sayup suara kentungan terdengar dari pos ronda yang berada di simpang jalan. Ia tak dapat menyangka apakah rumahnya juga akan disinggahi maling seperti rumah-rumah elit yang akhir-akhir ini ia dengar dari istrinya. Apalagi cerita maling yang tertangkap di rumah Pak Joki, seorang pejabat teras di kota itu. Maling itu menertawakan tuan rumah, padahal ia telah dipukul habis-habisan oleh para tetangga. Tapi maling itu, yang anehnya tak seperti merasakan sakit oleh tamparan, tinju dan tendangan. Ia tetap menertawakan Pak Joki sambil juga meneriaki maling pada Pak Joki, yang membuat lelaki paroh baya itu murka dan turut juga menendangnya.

Hujan akhirnya turun dengan deras. Malam masih gelap. Hatinya terus bergejolak dan gemuruh. Ia teringat pekerjaan di kantor. Tentang berbagai macam proyek dan kerja sama yang menggiurkan. Negosiasi yang menjanjikan. Juga uang-uang sampingan dan pesangon yang membuat hatinya makin melambung. Dan… dari segala bentuk proposal yang telah ditandatanganinya, menjadikannya seperti orang terkaya yang mampu memiliki harta apa saja. Gaung mulut manis istrinya yang ingin mobil merek terbaru, sepeda motor untuk anaknya, beli rumah di Perumnas, usaha kapal, perabotan dan tabungan untuk pembiayaan dana kampanye karena sebentar lagi ia juga akan mencalonkan diri sebagai legislatif. Ah… sungguh hal yang besar dan banyak sekali. Ia memejamkan mata dengan berat tapi tetap kantuk tak juga singgah.

Ia masih berpikir mengapa maling itu menertawakan Pak Joki?

Dan juga orang-orang elit di perumahan itu. Apakah maling itu juga suatu saat akan singgah ke rumahnya? Menjarah segala apa yang ada di rumahnya. Dan ia juga akan ditertawakan oleh maling itu. Ia tak habis pikir. Ah… sungguh kasihan maling-maling itu, ia mencuri karena terpaksa. Karena suatu tuntutan hidup yang mendesak untuk sekadar mengisi perut yang perih karena lapar. Sedang orang-orang yang menjadi targetnya adalah orang-orang kaya yang bergelimang harta karena… ia berpikir ragu. Mengapa ia harus berhenti untuk mengatakan hal-hal jujur?

Ia menggeleng dalam diam dan napasnya naik turun tak tentu arah. Ia kembali teringat segala urusan kantor. Tentang royalti- royalti yang telah didapatkannya selama ini. Ya, tentang segala macam proyek yang diurusnya dan tentang simpang siur dana yang dicairkan, juga uang pelicin dari seluruh bentuk ketidakseimbangan dalam proses kerja dan… segala tetek-bengek yang tak lazim diikutsertakan dalam bentuk kerja yang dilakukannya.Tiba-tiba ia ingin menjerit dalam keremangan lampu minyak itu. Segala bentuk ketimpangan dari segala yang telah dilakukannya membuat hatinya tak merasa nyaman. Dan akhir- akhir ini musim maling membuatnya makin mencekam…

Dan… mendadak ia dikejutkan bunyi kaca yang pecah. Ia sempat meneliti dengan menajamkan telinga arah itu dari belakang, apakah dari kamar mandi? Dadanya bergemuruh hebat. Darahnya berdesir kuat. Ia coba membangunkan istrinya, tapi sial, istrinya tak bergeming sedikitpun, tapi tambah makin mendengkur pulas. Ia makin cemas. 

Telukbelitung, 8 Juni 2012

(Riau Pos | Minggu, 15 Juli 2012)