Cerpen : Kain Kafan

###Kain Kafan
Iben Nuriska


SUDIN sadar umurnya tak lagi muda. Sudah bau tanah. Tenaganya habis dimakan usia. Tapi akalnya tetaplah panjang.Apa lagi untuk tipu-tipu. Di akhir hayatnya, dia
masih merencanakan sebuah penipuan.

“Tak ada orang di kampung ini, dulu, yang tidak terkena muslihatnya. Pasca tumbangnya orde lama, Sudin mengaku sebagai kaki tangan pemerintah. Dikumpulkannya mantan pejuang kemerdakaan, tentara rakyat yang ikut dalam perang menumpas PRRI Permesta dan pejuang revolusi. Setiap orang dimintainya biaya seribu rupiah. Bagi yang tidak bersedia membayar diancam tidak didata sebagai tentara veteran perang. Itu artinya, mereka tidak akan pernah dihargai jasanya oleh negara dalam bentuk tunjangan hari tua.

“Di kampung kita, sekitar lima ratus orang mantan pejuang yang tidak tahu apa-apa dan memang membutuhkan tunjangan hari tua karena tidak punya sumber pendapatan bersedia membayar. Lima ratus ribu menjadi milik Sudin. Bayangkan saja, di tahun itu, emas satu gram harganya masih lima ratus rupiah. Padahal pemerintah pusat melalui pemerintah daerah telah mengumumkan tidak ada pungutan bagi siapa saja yang mengajukan diri mendapat tunjangan veteran perang. Dan data yang dikumpulkannya tak pernah diserahkan kepada pemerintah karena para veteran itu sendiri yang harus mendaftar di kantor kabupaten.

“Perlahan dan pasti, Sudin jadi orang terkaya di kampung kita. Berkat kecerdikannya berunding, para ninik mamak terbujuk rayuan untuk mau menyerahkan pengelolaan tanah ulayat kepadanya. Ribuan hektar tanah ulayat lalu dijualnya kepada perusahaan-perusahaan perkebunan. Kayu-kayu ditebangi. Lahan kering dibakar kemudian ditanami akasia, pohon karet dan kelapa sawit. Tidak ada anak kemenakan di kampung ini yang bisa menikmati hasilnya. Lahan-lahan itu telah berpindah tangan dan bersertifikat atas nama orang-orang jauh. Dan pewaris sah tanah adat hanya menjadi kuli penjaga dan pemanen hasil kebun.”

“O, tahulah aku sekarang, Tuok, kenapa perusaah-perusaahan itu selalu memenangkan sengketa lahan di pengadilan. Orang kampung kita yang bodoh kalau begitu,” sela Riman memotong cerita TuokAlim.

“Ya, secara legal formal, tanah yang selayaknya menjadi warisan anak kemenakan kampung ini telah dibeli perusahaan- perusahaan itu dengan sah,” sambung Komar.

“Berarti perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan kembali tanah ulayat itu akan sia-sia,” lanjut Limin membuat kesimpulan.

“Kalian mau mendengarkan cerita Sudin atau diskusi tanah ulayat?” tanyaTuok Alim memandangi kami satu-satu, mahasiswa yang sedang menghabiskan akhir pekan di kampung halaman. Di sini, di lepau bambu di muka rumah lontiok[1] kediaman Tuok Alim, aku, Riman, Komar dan Limin sering menghabiskan waktu mendengar Tuok Alim bakobou [2].

“Lanjut saja ceritanya, Tuok,” kataku.

“Lanjut atau diskusi?”

“Lanjut!” jawab kami serempak.

TuokAlim terbahak. Lepau bambu bergoyang mengikuti gerak tubuhnya.Tawanya berhenti ketika batuk menyerang dan matanya basah menahan sakit di dada.

“Kasihan sekali bangsaku,” lirih TuokAlim sejurus kemudian. “Mahasiswanya lebih senang mendengar orang tua nganguik[3] ini daripada mendiskusikan cara merebut haknya kembali.”

“Kita sudah sama-sama tahu pangkal masalahnya, Tuok. Surat jual beli tanah itu tak bisa disangkal. Kemana pun berjuang, kita pasti kalah,” ujar Limin.

“Masalah bangsa kita bukan hanya itu, anakku. Belum sekali pun selama kita bakobou kalian membicarakan persoalan bangsa. Kalian lebih senang mendengar Hikayat Burung Pogam, Si Malancau, Si Biluo, Naga Beralih, dan dongeng lain daripada mendiskusikan persoalan korupsi yang kian hari makin mengeroposkan sendi bangsa kita. Kalian tidak peduli pada kasus freeport di tanah Papua. Bank Century. Penyalah gunaan wewenang anggota DPR. Dan banyak lagi persoalan bangsa yang tumpang tindih datang silih berganti. Kalian itu sama saja dengan Sudin.”

“Sudin itu penipu, Tuok. Sedang kami belum sekali pun merugikan orang lain untuk kepentingan kami sendiri,” bantah Riman.

“Sama saja.”

“Beda,” seru Komar. “Sama!”

“Beda,” kompak kami berempat.

“Anakku. Sudin itu orang baik. Sama seperti kalian. Sudin itu baik pada dirinya dan keluarganya. Apa bedanya sama kalian?” “Baik tapi culas, Tuok,” kesalku tak bisa terima disamakan dengan orang seperti Sudin.

“Kalian itu juga culas anakku. Culas pada bangsa kalian sendiri. Kalian hanya sibuk memikirkan masa depan kalian sendiri. Pernahkah kalian memikirkan masa depan bangsa kita?”

“Kami kuliah untuk melanjutkan masa depan bangsa ini,Tuok,” sengit Limin.

“Dengan menampung hasil titik peluh mak bapak kalian.” “Sudah kewajiban orang tua membiayai kehidupan kami. Daripada kami luntang lantung jadi pengangguran,” kata Komar. “Dan sebagai balasannya, uang dari orang tua kalian habiskan untuk belanja di mall, di cafe, nonton di bioskop dan jalan-jalan sambil menyegarkan otak bersama pacar kalian. Sudin juga punya pembenaran atas sikapnya sebagaimana kalian. Dia merasa telah menjalankan kewajibannya membantu orang lain. Sama seperti kalian menjalankan kewajiban kuliah untuk menyenangkan or- ang tua. Sebagai imbalannya, kewajiban yang sudah kalian jalankan harus diikuti dengan pemenuhan hak atas biaya kuliah dan belanja hiburan. Sudin pun begitu. Dia telah mematok standar hak yang harus dia terima atas bantuannya pada orang lain.

“Kerbau-kerbau dan tanah yang luas yang sekarang diwarisi anak-cucunya merupakan tanda terima kasih yang dia terima. Dulu, sebelum tahun sembilan puluhan, pemerintah daerah sangat membutuhkan orang untuk diangkat jadi pegawai negeri. Hal itu dimanfaatkan Sudin dengan mengaku dekat sama orang dalam. Maka, setiap orang yang berhasil dia jadikan pegawai akan memberikan seekor kerbau atau sehektar tanah kepada Sudin. “Imbalan yang dia terima setimpal dengan harapan yang or- ang lain dapatkan. Bukankah kalian juga sedang memberikan harapan pada orang tua kalian? Menghabiskan masa muda dengan belajar. Kelak kalian akan jadi sarjana dan bekerja. Dan orang tua kalian bangga. Dan untuk itu, kalian merasa telah melakukan pengorbanan menghadapi jadwal kuliah yang padat dan stres menyelesaikan tugas kuliah yang menumpuk. Sebagai imbalannya, kalian mengharuskan diri mendapat hiburan. Orang tua kalian jadi korban. Saya yakin, kalian pasti sering melebihkan uang kuliah yang kalian minta dengan alasan bayar uang praktikum atau uang ujian yang sebenarnya tidak ada. Masih mahasiswa sudah bermental korup. Bagaimana kalau sudah berkuasa. Kasihan sekali bangsaku.”

Tak ada yang berani membantah Tuok Alim. Jangankan memandang mukanya, sesama kami pun tak ingin beradu mata. Kami menunduk saat tahu ia memandangi kami satu-satu.

“Anakku. Sudah menjadi watak orang kampung kita menghormati orang kaya. Bila yang bicara itu orang berpunya, salah pun yang dia kata, orang-orang tetap mengangguk membenarkan. Dan bila yang berkata itu orang tak berada, kebenaran sekali pun yang ia sampaikan, kata-katanya akan dilempar kembali ke mukanya, orang-orang akan menyuruhnya berkaca dulu sebelum bicara.

“Sudin paham benar akan hal itu. Sebagaimana kalian sangat menyadari penampilan itu lebih utama dari pada kecerdasan agar kalian dihormati dan punya banyak kawan di kampus. Bagaimana pun caranya, kalian akan berusaha agar tidak ketinggalan gaya. Seperti Sudin yang tidak peduli harus menipu siapa saja untuk mengumpulkan harta. Dia takut miskin. Dia juga tidak mau anak keturunannya miskin.”

“Kami tak pernah menipu orang, Tuok,” protesku masih belum terima TuokAlim selalu menyamakan kami dengan Sudin.

“Mak bapakmu bukan orang, Wan?” tanyanya disambung tawa bersama ketiga kawanku.

“Pada saatnya nanti, kalian akan menyadari semua kekeliruan yang telah kalian lakukan, anakku.

“Lanjut ke cerita Sudin. Sebulan sebelum meninggal, Sudin mendatangiku. Dia mengakui semua kesalahannya selama ini. Dan semuanya sudah terlambat. Dia tak punya kesempatan lagi untuk meminta maaf pada orang-orang yang pernah ditipunya. Kebanyakan orang itu telah meninggal.

“Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk menghindari azab kubur, katanya padaku waktu itu. Dia menunjukkan beberapa helai kain lampin yang sudah kumal dan compang camping. Dia bilang, dia sudah berpesan pada istrinya agar lampin itu dijadikan kain kafannya.”

“Lampin itu benar, Tuok, dipakaikan untuk kafan?” tanya Komar.

“Pantang melanggar amanah orang mati.” “Untuk apa, Tuok?” tanya Limin penasaran.

“Tidak ada yang tahu tujuannya. Sudin hanya menceritakan padaku kalau kain kafannya itu untuk menghindari siksa kubur.”

“Bagaimana bisa?” tanya Riman.

“Saya hanya menduga. Otaknya yang setiap hari berpikir untuk menipu, terbawa sampai jelang kematiannya. Saya membayangkan kalau kain kafan yang sudah kumal itu digunakannya untuk menipu malaikat Munkar dan Nakir, yang akan menanyai si mati di dalam kubur tepat pada langkah ke tujuh para pengantar jenazah meninggalkan tanah kuburan.”

“Memangnya malaikat bisa ditipu, Tuok?” ledekku.

“Itulah yang dipikirkan Sudin. Saya membayangkan rencana yang telah disiapkannya itu begini: begitu kedua malaikat itu mendatanginya, Sudin berkata, saya sudah lama mati. Lihatlah kain kafan saya. Sudah sangat buruk. Compang camping. Orang yang baru mati pastilah kain kafannya putih bersih. Saya sudah pernah ditanya, tidakkah kalian ingat?”

“Dasar penipu,” seru kami bersorak. 

Rumahkata Batubelah, 121111

Catatan:
[1] Rumah Lontiok = Rumah Panggung
[2] Bakobou = Berkabar atau berbagi cerita
[3] Nganguik = Renta

(Arah Riau | Minggu, 15 Juli 2012)