Cerpen : Aku Menulis dengan Tangan yang Sakit

###Aku Menulis dengan Tangan yang Sakit
Alex R. Nainggolan


AKU menulis dengan tangan yang sakit. Meskipun sebelumnya aku tak kerja berat, tidak meninju atau memukuli seseorang. Juga tak menggebrak benda-benda keras. Pula, tangan itu tidak sedang ditato, atau habis disuntikkan sebuah jarum infus. Namun tanganku tetap saja sakit. Entah kenapa. Dan keadaan ini sudah berlangsung agak lama. Hampir setahun. Seperti jemari ini kaku untuk sekadar menekan tuts keyboard komputer.Atau barangkali pula tak ada yang mesti dituliskan. Sementara hari masih saja nyalang, guliran waktu terus menerawang.

Tanganku sakit, tapi tetap saja aku paksakan untuk menuliskannya. Barangkali akan menulis surat cinta buat dirimu, yang acap tak pernah kulakukan bertahun-tahun. Atau bisa saja kemungkinannya jika ini disebabkan dari diriku sendiri.Aku yang terlampau asyik pada pukau berita, sehingga merasa tak ada yang layak ditulis. Semuanya telah menjadi berita yang dipenuhi tragedi. Semuanya terasa memuakkan sekaligus menjemukan. Berita demi berita yang berjejalan tiba, seakan ingin mengeluarkan auran luka. Berita-berita yang miris dan membuat bergidik setiap kali membacanya. Berita-berita yang cuma mengabarkan amis darah dan ketakutan.

“Lalu mengapa kau paksakan juga untuk menulis?,” kata seorang kawan.

“Sebab mesti ada yang dikabarkan. Mesti ada yang dikisahkan. Seseorang, bagaimanapun harus menjadi penyaksi.”

“Tapi tanganmu sedang sakit. Kau gila, kawan! Bukankahlebih baik ke Rumah Sakit, menemui dokter saja?”

Akhirnya memang kuikuti saran kawanku. Lagi-lagi yang kutemui hanyalah seberkas kejemuan yang memuakkan.

Dokter banyak bertanya. Layaknya detektif. Ia memakai kaca mata, dengan kepala yang agak botak.

“Mengapa bisa begini, bung?”

“Entahlah, dok. Segalanya terjadi tiba-tiba saja.” “Punya riwayat darah tinggi atau rendah?”

“Ada. Darah tinggi.”

Dokter pun mendiagnosa. Menurut dugaannya, aku menderita stroke ringan.

“Hindari makan kolesterol, terlebih lagi daging kambing.

Perbanyak sayuran dan buah-buahan.Anda suka menulis?” “Kadang-kadang, dok.”

“Nah, ini yang menjadi pangkal penyebabnya. Hentikan kebiasaan anda menulis. Setidaknya sampai jemariAnda pulih, bung.”

Ia menuliskan resep obat. Dan aku merasakan tanganku makin kesemutan. Seperti dirayapi oleh ratusan semut. Terutama di sela jemari. Aku berlalu.


TAPI suatu malam, keadaan itu berulang lagi. Hasrat menulis hinggap tiba-tiba. Entah kenapa. Yang jelas di rongga kepalaku berhamburan pelbagai ide yang mesti diketikkan. Anehnya, saat menghidupkan layar komputer, dan aku mulai menekan tuts key- board, tanganku kembali sakit. Jari-jari terasa sulit digerakkan. Ide yang ada seperti berdiam saja di kepalaku. Ada keinginan menekan tuts keyboard, tapi sakitnya bukan main.

“Sialan,” gumamku. Ide itu mencair lagi. Tak menggumpal. Aku coba mengalihkannya dengan membuat secangkir kopi.Aneh, sakit tangan itu menghilang tiba-tiba. Lalu aku duduk lagi menghadap layar komputer. Jejalan ide berkerumun. Seperti kudengar dengung suara.Ada puluhan suara. Suara itu mendadak bergabung menjadi satu.

Ada anak yang menangis karena dipukuli Ayahnya. Ada seorang istri muda cantik yang menangis ditempeleng suaminya. Ada suara bayi menangis yang lapar karena belum diberi susu. Ada suara percakapan telepon tentang pejabat yang selingkuh. Ada anak muda yang membunuh seorang nenek. Ada suara yel- yel teriakan para demonstran untuk menggantung para koruptor. Ada suara terakhir dari seseorang sebelum sebutir peluru dari sepucuk pistol menembus kepalanya. Ada suara penyanyi perempuan yang renyah dalam musik jazz yang sedap mengalun, yang kutebak perempuan itu pasti cantik dan wangi.

Suara-suara itu terus menggaung. Tertimbun satu demi satu, menjelma jadi gunung. Menembusku dan berkelindan di dalam labirin kepalaku. Lalu beberapa tokoh hadir, berbisik dan berkumpul di sana. Salah seorang di antaranya ada yang berteriak.Ada pula yang sedang menangis tersedu, sendirian di sebuah sudut. Tokoh-tokoh yang terus kuingat, seakan tak akan bisa kulupakan, seperti menanti untuk keluar sebagai kalimat. Seperti minta untuk diberikan nama. Pun pada percakapan antara mereka.

Namun tetap saja ketika aku mencoba untuk menuliskannya. Tangan itu kembali sakit. Seperti dikomando demikian. Bahkan saat aku alihkan dengan membakar sebatang rokok sembari menulis—tetap saja tangan itu sakit. Malah semakin menjadi. Sehingga jemariku tak bisa menjepit puntung rokok itu. Mendadak aku geram sendiri. Aku merasa tanganku tak bisa lagi diperintah oleh kerja otak.

Tangan yang sakit itu membuatku lelah. Sampai aku mematikan layar komputer dan bergerak untuk tidur. Mungkin dengan tidur ia akan mendingan. Esoknya aku mencoba lagi, namun tetap sama. Tanganku masih saja sakit. Hingga aku memeriksa kedua tanganku. Mungkin ada lebam, barangkali pula terkilir. Sehingga memaksaku minta kepada istri agar dipanggilkan tukang urut.

Selesai mengurut, tiba-tiba ada lintasan kisah berjejalan di kepala. Semacam ingin segera keluar. Kembali aku menghidupkan komputer, dan mulai menekan huruf demi huruf. Tapi, ah sakit itu terus saja berlanjut. Membuatku keringat dingin, setiap kali coba menggabungkan huruf demi huruf, sampai merangkaikannya dalam kata, kalimat, paragraf. Membuatku dilanda kecemasan yang panjang.

Setiap kali aku mencoba menulis, sakit di tangan itu makin berkepanjangan. Seperti menguras seluruh energi. Kejadian itu terus saja berulang. Berkepanjangan, mendadak aku merasa tersia-sia. Jalinan ide itu terbuka, hanya sebagai jendela. Untuk kemudian lepas ke luar tanpa bisa dikejar.


MAU tidak mau, aku mesti memaksakannya. Kelak aku akan membuat sebuah cerita. Jika aku berupaya dengan sesungguh hati untuk menulis. Meskipun perlahan. Walaupun tanganku benar-benar sakit. Dan aku akan terus menulis dengan tangan yang sakit. 

Poris Plawad, 2012

Catatan:
*Cerita ini terinspirasi dari sajakAhda Imran “Aku Menulis” (Penunggang Kuda Negeri Malam, hal. 85), judul cerita ini diambil dari salah satu larik di sajak tersebut.

(Jurnal Nasional | Minggu, 15 Juli 2012)