CERITA MINI : ANGKA

image
Sumber : 404 Error | University of Wales Trinity Saint David

Aku ingin hidup dari untaian kata saja. Karena, kata-kata memberiku harapan. Di dunia hitam-putih aku diterima dengan baik, tiada caci maki, yang harus kutelan karena mereka menganggap bakatku yang tidak berguna. Bakat yang selalu membuatku berpikir, mungkin Tuhan memikirkan sampah ketika menciptakanku di dalam rahim ibuku. Penderitaan yang membuatku depresi sepanjang hidupku terobati ketika kata-kata mulai memberi makna. Makna yang harusnya kutemukan sejak dulu.


Berdasarkan teori Charles Darwin, kera berevolusi menjadi manusia. Jerapah yang dulunya berleher pendek, menjadi berleher panjang. Tapi satu hal ini selalu menjadi bagian dari paradigma setiap orang yang terlahir di dunia, dan mungkin tak kunjung mengalami evolusi.

Mengapa manusia menilai segala sesuatu dari angka?

Kau mungkin tertawa, dan merasa kalau aku membicarakan hal paling konyol sedunia. Atau, barangkali kau terhenyak sesaat dan ikut memikirkan jawabannya. Inilah realita yang terjadi. Kita selalu diukur berdasarkan angka.

“Rata-rata rapor semestermu berapa?”

“IPK-mu berapa?”

“Gajimu berapa?”

“Mobilmu berapa?”

Angka, angka, dan angka. Selama ini kita hanya berotasi di pusaran itu. Berkerja keras untuk pengakuan atau untuk memenuhi ekspetasi diri kita sendiri terhadap angka-angka tersebut. Kekecewaan menjadi teman tatkala angka yang muncul tak sesuai harapan. Bahkan, kau rela menghukum dirimu sendiri karena angka-angka tersebut. Ini merupakan kegilaan. Generasi apa yang akan muncul jika paradigma ini diteruskan?


Si Tanpa Bakat.

Begitulah mereka memanggilku.

Lagi-lagi, inilah dunia. Kau dinilai berdasarkan angka, tetapi di satu sisi, angka jugalah yang menjadi kekuatan. Maksudku seperti ini, angka-angka yang ada dikelompokkan, disortir, menjadi sebuah data. Jika data dioperasikan dengan baik, maka Ia akan menjadi kekuatan yang besar. Oke, cukup. Mari kita membicarakan mengapa mereka memberiku julukan seperti itu.

Alasannya sederhana. Dunia membutuhkan manusia-manusia yang mahir dengan angka dan aku adalah kelompok terbuang karena tidak mampu dengan hal itu.

“Bodoh! Kau tidak akan memiliki masa depan, jika nilaimu terus seperti ini!” Begitulah guruku berkata semasa aku berada di SD. Kala itu, aku terdiam. Aku yang salah. Aku akan berusaha , pikirku.

“Nak, mengapa kau tidak berusaha? Apa kau suka kalau Ibu terus dipanggil karena nilaimu?” Ucapan yang kuterima ketika aku duduk di bangku SMP. Lidahku terasa kelu untuk berbicara. Aku ingin memberitahu Ibu kalau aku selalu belajar keras untuk matematika dan tetek bengeknya. Lalu aku berpikir, kalau aku salah. Mungkin usahaku masih kurang.

Mari kita beranjak ke memori masa SMA. Ketika jurusan mulai ditentukan. Antara eksakta dan humaniora. Atau lebih tepatnya, antara si pintar dan si bodoh. Kau mungkin berpikir kalau aku terlalu kejam dengan menyebutkan hal seperti itu. Hei, itulah realita.

Lalu, aku memilih jurusan eksakta.

Aku gila. Iya benar. Aku yang tak pernah bisa berurusan dengan angka, memasuki dunia tersebut. Mereka bilang aku sudah kehilangan akal. Ya, itu benar! Tapi ucapan ibuku memberiku alasan kuat agar terjun ke bidang itu.

“Ibu lebih senang kalau kau masuk ke eksakta.”

Selama ini ibuku selalu bersedih dengan nilai-nilaiku yang tak pernah lepas dari tinta merah. Apa salahnya jika membuatnya senang dengan masuk jurusan itu?

Dua bulan kemudian setelah aku masuk ke kelas tersebut, aku depresi. Bahkan cermin pun merasa jijik saat menangkap refleksiku. Wajah yang lelah, gairah hidup yang nyaris redup. Bangunan ini seperti memenjarakan jiwaku. Lalu, aku tiba di suatu titik. Titik dimana membuatku sadar kalau angka-angka ini tidak mendefinisikan diriku. Bukan ini diriku. Bukan ini yang kuinginkan. Aku mulai berhenti berusaha. Aku mengambil langkah mundur dan berbalik ke belakang, mencoba menelaah rekam jejak hidupku selama tujuh belas tahun. Aku teringat suatu memori manis. Kala itu, aku tidak memiliki teman. Tidak ada yang ingin berteman dengan manusia terbodoh di kelas. Tidak ada yang ingin berteman dengan Si Tanpa Bakat karena mereka tidak mendapat keuntungan apa-apa dari berteman denganku. Maka, aku menulis. Aku mencoba bereksperimen dengan kata-kata. Indah, pikirku saat membacanya ulang. Semua karya itu kusimpan rapat-rapat, karena aku sadar kalau kata-kata tidak akan dihargai di dunia yang penuh dengan angka. Aku bagaikan hidup di dua dunia. Angka dan kata. Tapi, pada akhirnya, aku harus memilih bukan?

Aku memilih kata.

Merangkai untaian kata yang indah, itu bakatku.

Mereka memberi warna dan makna di hidupku. Jika seandainya aku tahu bahwa kata-kata adalah kekuatanku, maka aku tidak perlu memercayai perkataan mereka bahwa aku terlahir bodoh, terlahir tanpa bakat. Suatu saat, aku akan membuktikan pada dunia bahwa bukan hanya angka, tetapi kata adalah kekuatan.

Kata-kata mendefinisikan diriku.

Apa definisi dirimu?

1 Like