Cahaya Kekayaan : Cahaya diatas Cahaya

Taman Surga

Maulana Rumi berkata: Sesungguhnya hatimu itu baik. Kenapa bisa demikian? Karena hati merupakan sesuatu yang mulia. Ia laksana jaring yang siap untuk menangkap buruan. Namun bila hati keruh, jaring itu akan terputus dan akhirnya tidak bermanfaat.

Oleh sebab itu, manusia tidak seharusnya berlebihan dalam mencintai seseorang dan juga tidak berlebihan dalam memusuhinya, karena kedua hal itu akan memutus jaring tersebut. Manusia harus moderat dan sederhana. Cinta yang tak pantas berlebihan yang aku maksudkan di sini adalah cinta selain kepada Allah. Sementara untuk cinta kepada Allah, maka tak dikenal kata berlebihan: setiap kali cinta bertambah, maka itu akan lebih baik. Karena ketika kita mencintai secara berlebihan kepada selain Allah—sedangkan semua makhluk tunduk pada hukum putaran cakrawala, di mana setiap roda cakrawala berputar, keadaan makhluk juga berputar—maka si pecinta akan selamanya menghendaki kebahagiaan yang besar. Ini hanyalah harapan kosong yang menganggu hati.

Demikian juga ketika ketika kita memusuhi orang lain secara berlebihan, maka kita akan selalu menghendaki agar kenestapaan dan malapetaka selalu menimpa orang yang kita benci. Namun karena roda cakrawala berputar dan keadaan manusia juga berputar bersamanya, maka adakalanya manusia bahagia dan adakalanya ditimpa kerugian. Keadaan manusia yang selalu berada dalam kerugian adalah sebuah kemustahilan. Akhirnya, kebencian kita pada orang lain itu akan menggangu hati kita dan tidak memberi manfaat apa pun.

Adapun kecintaan kepada Allah terdapat di semesta alam, di semua benda yang ada, dan dalam diri seluruh manusia, baik yang beragama Majusi, Yahudi, maupun Nashrani. Karena bagaimana mungkin manusia tidak mencintai penciptanya? Cinta tersimpan dalam jiwa setiap manusia, tetapi di sana terdapat sebuah penghalang yang menyelubunginya. Ketika penghalang itu hilang, maka cinta itu akan menjadi tampak.

Mengapa aku tidak membahas benda-benda yang maujud saja? Sebab ketiadaan juga berada dalam pergolakan dan ia berharap agar Allah menjadikannya ada. Karakter segala sesuatu yang tidak berwujud seperti empat orang yang berbaris di hadapan seorang raja. Setiap orang dari mereka berharap dan menunggu sang raja untuk mengistimewakannya dengan sebuah kedudukan. Masing-masing merasa malu di hadapan yang lainnya karena harapan mereka adalah rintangan bagi yang lainnya. Begitu juga dengan segala sesuatu yang tidak berwujud, ia berharap pada Allah agar ia diciptakan. Mereka berbaris dan dengan bahasa keadaan mereka mengatakan, “Ciptakanlah aku,” seraya meminta pada Allah untuk mendahulukan penciptaannya daripada yang lainnya. Lantas jika segala sesuatu yang tidak berwujud saja memiliki harapan, bagaimana dengan segala sesuatu yang berwujud?

“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.” (QS. al-Isra: 44)

Tak ada yang mengherankan dari hal ini, justru yang lebih mengherankan adalah perkataan: “Dan tidak ada sesuatu yang tidak berwujud pun yang tidak bertasbih dengan memuji-Nya.”

Baik kufur maupun beragama, keduanya sedang mencari dirimu, Mereka kebingungan seraya berkata: “Yang Esa, tiada yang menyekutui-Nya.” 1

al-Hakim Sanai al-Ghaznawi - “Hadiqat al-Haqiqah.”

Bait ini digubah di atas kelalaian. Seluruh organ tubuh serta semesta alam juga tegak di atas kelalaian. Tubuh ini berkembang karena kelalaian. Kelalaian adalah sebuah kekufuran, dan agama tidak mungkin ada tanpa adanya kekufuran karena agama adalah bentuk meninggalkan kekufuran. Oleh sebab itu kekufuran harus tetap ada agar manusia bisa meninggalkannya. Demikianlah, dua hal sejatinya adalah satu. Karena yang satu tidak mungkin ada tanpa adanya yang lain, dan begitu juga sebaliknya. Semua adalah satu benda yang tidak terbagi-bagi, dan pencipta keduanya adalah Esa. Seandainya penciptanya tidak Esa, maka ciptaannya akan terbagi-bagi. Setiap pencipta yang bebas menciptakan segala sesuatu, hingga saat itu, keduanya terbagi-bagi. Demikianlah karena sang pencipta itu Esa, tidak ada yang menyekutui-Nya.

Mereka berkata: “Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq al-Tirmidzi (beliau adalah salah satu murid dari Bahauddin Walad, ayah Rumi) mengucapkan suatu perkataan yang indah, namun ia banyak mengutip syair dari Sanai.”

Maulana Rumi berkata: “Apa yang kalian katakan seluruhnya benar; matahari itu sangat indah, namun ia tetap memberikan sinarnya. Apakah itu sebuah aib? Sesungguhnya penyisipan ucapan Sanai adalah penjelasan dari perkataan tersebut. Matahari menyinari segala sesuatu, dan dengan cahayanya itu sesuatu menjadi mungkin untuk dilihat. Tujuan dari adanya cahaya matahari adalah untuk menampakan segala sesuatu. Bagaimanapun juga, keberadaan matahari di atas cakrawala dapat menampakkan segala benda yang tidak memiliki manfaat, sedangkan matahari yang hakiki menampakkan segala sesuatu yang bermanfaat. Matahari duniawi hanyalah bentuk metaforis dari matahari yang hakiki. Apakah dengan kemampuan akal parsial, kalian hendak menimba cahaya mentari di hati dan mencari lentera ilmu yang dapat membuat kalian mampu melihat segala sesuatu yang tak kasatmata, sehingga ilmu kalian akan semakin bertambah? Maka berharaplah agar dapat memahami dan mengetahui sesuatu itu dari setiap guru dan setiap teman.

Demikianlah, kami meyakini bahwa di sana terdapat matahari yang lain, yaitu matahari yang berwujud non-materi. Dengan perantaraannya, segala hakikat dan makna dapat tersingkap. Pengetahuan parsial yang dapat mengharumkan dirimu ini adalah cabang dari pengetahuan yang besar dan cahayanya. Cahaya itu memanggilmu ke alam yang begitu agung dan tempat matahari yang asli berada:

“Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh [QS. Fushilat: 44] .”

Kamu berusaha menarik pengetahuan itu kepadamu, tetapi ia berkata: “Aku tidak mungkin berada di sini, dan kamu begitu lama untuk sampai ke alam sana. Memaksaku untuk tetap berada di sini adalah kemustahilan, sedang kedatanganmu ke sana juga hal yang sulit.” Sekarang, apa yang mustahil adalah mustahil, tetapi apa yang sulit tidaklah mustahil. Jadi, berupayalah dengan sungguh-sungguh agar kamu mendapatkan pengetahuan yang agung. Tetapi jangan kamu berharap bahwa pengetahuan itu akan berada di sini, sebab itu adalah sesuatu yang mustahil. Demikianlah, karena kecintaan mereka pada kekayaan Allah, orang-orang kaya mengumpulkan dirham demi dirham dan biji demi biji agar memperoleh sifat kaya dari cahaya kekayaan. Tetapi cahaya kekayaan itu berkata: “Aku memanggilmu dari kekayaan yang tanpa batas di sana, tetapi mengapa kamu menarikku ke sini? Aku enggan berada di tempat ini. Apakah kamu mau ikut denganku menuju kekayaan yang tanpa batas itu?”

Singkat kata, awal adalah konsekuensi dari akhir: semoga Allah menciptakan akhir yang terpuji. Konsekuensi yang terpuji adalah pohon yang akarnya menancap di taman-taman spiritual, di mana dahan, ranting, dan buahnya menyebar di tempat-tempat lain, sementara buahnya berjatuhan; bahwa pada akhirnya buah itu akan kembali ke kebun itu, karena dari sanalah akar dan batangnya berasal. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka meskipun dalam bentuk lahirnya pohon itu bertasbih dan bertahlil, ia akan memberikan seluruh buahnya ke alam ini, karena akarnya tertanam di sini. Namun bila keduanya berada di kebun spiritual itu, maka itulah “cahaya di atas cahaya.”

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum