Bumiku, Mimpi Nyataku


Sumber : Kompasiana.com mengutip foto dok. Bobo.id

Bumiku, Mimpi Nyataku

Terik pancaran sinar matahari sudah sampai hingga sudut bumi sekalipun pagi ini. Dari balkon rumah, kicauan burung juga telah mengintip lirih seakan memberi sinyal, “bergegaslah!”. Aku pun penasaran dengan teriakan lirih dari sinyal yang diberikan oleh burung tersebut. Ku buka mataku dan ku pandangi bumi dari tempat ku berdiam.

“Wahai bumi, apa yang telah terjadi denganmu? Parasmu sudah sangat kusam dan kelam”, tanyaku pada bumi penuh khawatir.

“Sulit bagiku untuk menjelaskan semuanya. Mari, masuklah ke dalam. Dan kau akan mengerti semuanya”, jawab bumi terengah-engah.

Dengan penuh penasaran, aku masuk ke dalam bumi yang penuh kekelaman ini. Ku pandangi, dan lagsung ku temukan berbagai macam kehidupan pelik yang mengiris hati. Aku tau segala keindahan yang bumi berikan kepada manusia, kelimpahan sumber daya alam yang sangat mumpuni bahkan berlebih dari jumlah yang dibutuhkan manusia. Yang sudah selayaknya dijaga dan dilestarikan bersama demi keberlangsungan kehidupan manusia tidak hanya untuk abad ini, melainkan untuk keberlangsungan hidup anak cucu manusia, kelak. Tetapi yang terjadi sebaliknya, eksploitasi sumber daya alam yang benar-benar diluar ambang batas. Pengerukan tambang berlebihan yang membuat bumi semakin sakit. Belum lagi perusakan hutan sebagai paru-paru bumi yang dipandang sebelah mata.

Bumi pernah cerita, bahwa kehidupan manusia ada yang disebut sebagai pengontrol kendali bumi. Namun, bukanlah interprestasi yang ingin kuberi, melainkan keprihatinan yang terlampiaskan selama aku melihat bumi disini. Implikasi masalah yang sudah sengkarut, seperti nepotisme, kolusi, korupsi, marak terjadi. Kerakusan yang terjadi demi meraup kebahagiaan diri sendiri dan tidak mengindahkan makna amanah yang diberikan, menjadi pemeran utama dalam parade ini. Dasar pragmatis!

Arsitektur indah, gedung pencakar langit bertebaran di muka bumi. Namun, mereka lupa bahwa bukan hanya itu prioritas keberlangsungan kehidupan manusia di bumi. Manusia harus tetap menyeimbangkan dan menjaga pelestarian alam di bumi agar gedung pencakar langit itu tidak mengoyak keutuhan kulit bumi.

Upaya pengurangan emisi karbon, illegal logging dan pada akhirnya Global Warming hanya menjadi penarik perhatian semata demi mendapatkan tahta tanpa merealisasikan kata-katanya. Keegoisan para pembual dalam skala global sungguh sangat menyakitkan bagi bumi. Bumi hanya ingin disirami dengan perhatian khusus demi keberlangsungan makhluk di dalamnya.

“Aku yakin ini hanya sekedar tipuan belaka. Aku mengenal baik manusia. Mereka hanya sedang gelap mata karena terlalu mengejar dunia. Namun ini sudah berlebihan. Aku ingin teriak, namun vokal ini tak akan sampai ke telinga para manusia”, kataku lirih.

Kaum elite yang masih hobi merampas hak masyarakat kecil, bukan lagi! Janji manis semanis madu, tetapi nyatanya pahit sepahit empedu, atau mungkin bisa jadi lebih pahit dari itu. Integrasi kekuasaan yang seharusnya mampu memperbaiki luka-luka pada bumi, namun malah menjadikan luka itu semakin parah, bahkan dibiarkan membusuk dan terbengkalai. Penggadai senyuman manis yang hanya sekedar melucuti predikat citra buruk kursinya, bertebaran! Bangga akan strata sosial yang tinggi, hingga lupa jalan pencapaiannya itu telah membunuh manusia lainnya yang tak berdosa. Penggaung kata-kata bijak yang hanya ingin meraup keuntungan dan menjatuhkan “musuhnya”. Belum lagi ketidakadilan yang masih populer dikalangan manusia, dimana ia akan tajam ke bawah dan akan tumpul ke atas, mata pisau yang seharusnya tidak bisa lagi dijadikan sebagai landasan utama dalam penegakan hukum di bumi.

“Aku harus menolong kamu, bumi! Tapi apa dayaku? Engkau sudah semakin renta, namun manusia semakin ingin merusakmu”, kataku menggemetar memeluk bumi.

“Tidak apa-apa. Aku ikhlas menopang segala kerakusan dan kejahatan manusia padaku. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki dan merawat diriku sendiri seorang diri. Walaupun aku juga memiliki batasan kapasitas tenaga untuk itu”, jawab bumi tegar.

“Aku bangga memiliki teman sepertimu, bumi”, jawabku seraya hanyut dalam suasana ketegaran bumi.

“Gubraaak!”, suara pot yang dijatuhkan kucing.

“Ada apa itu?”, teriakku sambil membuka selimut.

Aku tercengang melihat suasana gelap kamarku. Ku lihat jam dinding yang menggelantung menunjukkan pukul lima pagi. Aku sempat terdiam, dan ternyata itu tadi hanyalah mimpi burukku. Dasar aku. Itu semua tidak akan terjadi, fikirku. Karena bumiku saat ini masih baik-baik saja.

Medan, 18 April 2020

Muchriza Citrananda Istanty