Bumi Allah Itu Luas

Taman Surga

Aku melihat kawan kita dalam bentuk seekor hewan buas dengan kulit rubah di sekujur tubuhnya. Aku tergerak untuk menangkapnya. Ia berada di atas jambangan sambil mengintai dari ambang pintu, binatang itu mengangkat tangannya dan melompat ke sana ke mari. Lalu aku melihat Jalal al-Tabrizi bersamanya dalam bentuk hewan melata. Aku segera menangkap kawan kita itu karena ia hendak menggigitku. Aku menginjak kepalanya dan memerasnya dengan keras sampai seluruh isi kepalanya keluar. Aku melihat kulitnya yang indah sambil bergumam:

“Tubuh ini layak diisi dengan emas, berlian, permata, yakut dan bahkan yang lebih bagus dari itu.”

Kemudian aku berkata:

“Aku telah mengambil apa yang aku inginkan. Sekarang pergilah kemana saja kamu suka, wahai hewan yang gesit. Melompatlah ke arah mana pun kamu mau.”

Lompatan demi lompatan hewan itu menunjukkan bahwa dirinya takut dikalahkan, padahal dalam perasaan takut dikalahkan itulah kebahagian dirinya tersimpan. Tidak diragukan lagi jika dia terbentuk dari serpihan-serpihan meteor dan benda-benda lainnya. Kureguk cairan di hatinya, dan dia ingin mengetahui segala sesuatu. Ia memulai jalan ini dengan hasrat yang besar untuk menjaga dirinya tetap berada dalam lintasan demi mencari kelezatan di jalan itu. Tapi semua itu belum cukup, sebab orang yang bijak memiliki keadaan yang tidak bisa dijerat dengan jaring- jaring perangkap seperti itu, dan memang tidak layak menangkap buruan yang satu ini dengan menggunakan jaring-jaring itu. Jika orang bijak itu sehat dan lurus, dialah yang akan memilih siapa yang akan menangkapnya. Tak seorang pun bisa menangkapnya tanpa seizinnya.

Kamu mencoba menapaki lorong menanjak untuk mengintai buruanmu, padahal buruanmu itu sedang mengawasimu, rumahmu, dan persiapanmu. Dia adalah buruan yang bisa memilih. Dia memang tidak bisa melewati setiap lorong, tapi dia hanya akan melewati jalan yang dia gambar sendiri. Bumi Allah itu memang luas, tetapi:

“Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya [QS. al-Baqarah: 255].

Jika serpihan-serpihan itu jatuh ke mulut dan cakrawala hatimu, ia tidak akan berbentuk seperti semula lagi. Ia akan rusak karena bertemu denganmu. Sebagaimana halnya ketika segala sesuatu—yang rusak maupun yang tidak—jatuh ke mulut seorang yang bijak dan tertangkap dalam cakrawala hatinya, maka ia akan berubah menjadi sesuatu yang lain yang diliputi oleh pertolongan dan juga keajaiban.

Tidakkah kamu melihat bagaimana tongkat di tangan Musa tidak berbentuk seperti semula? Begitu juga dengan tiang yang merindu dan sebatang pohon di tangan Rasulullah, doa yang diucapkan Musa, serta besi dan gunung yang tunduk di tangan Daud, semuanya tidak tetap sebagaimana wujud aslinya, melainkan sudah diubah. Demikian juga dengan lembaran-lembaran kertas dan pengakuan-pengakuan ini, jika ia jatuh di tangan seorang yang zalim jasmaninya, maka ia juga akan berubah.

Ka’bah adalah kedai bagi doa-doamu

Selama kamu merasa memilikinya, ia tetap akan ada bersamamu.

Orang kafir makan dengan tujuh usus, sementara anak keledai yang dipilih oleh pelayan yang bodoh makan dengan tujuh puluh usus. Seandainya dia menggunakan satu usus saja, niscaya itu akan setara dengan makan menggunakan tujuh puluh usus. Karena segala hal yang dibenci pasti akan dibenci, sebagaimana halnya dengan segala hal yang dicinta pasti akan dicinta. Seandainya pelayan itu ada di sini, niscaya sudah aku nasihati dia dan aku tidak akan meninggalkannya sampai dia mengusir anak keledai itu dan menjauhinya. Karena anak keledai itulah yang akan merusak agama, hati, roh, dan juga akalnya. Mungkin segala penyebab kerusakan seperti minum khamar masih lebih ringan baginya, sebab ia akan kembali menjadi baik ketika pertolongan dari Sang Pemberi Perhatian menghampirinya. Sementara anak keledai itu memenuhi rumahnya dengan sajadah-sajadah, si pelayan harus terbebas darinya dan dari kejelekannya, karena anak keledai itu akan merusak iktikadnya pada Sang Pemberi Pertolongan. Kaki tangannya akan merayu si pelayan, sedang dia sendiri diam dan menghancurkan jiwanya.

Sungguh orang ini telah menangkap buruannya dengan tasbih, wirid dan sajadah, semoga suatu saat Allah akan membuka mata si pelayan hingga ia bisa melihat betapa ruginya dia karena telah menjauh dari rahmat Allah. Kemudian ia akan memukul leher anak keledai itu sambil berkata:

“Kamu telah membinasakanku sampai dosaku menumpuk.”

Sebagaimana mereka melihat dari dalam ruang mukasyafah (ruang penyingkapan) atas berbagai keburukan dan kerusakan perbuatan dibalik punggungku dan tumpukan akidah yang menyimpang di pojok rumahku. Meskipun aku menyembunyikan semua perbuatan itu dari Sang Pemilik Pertolongan dengan menaruhnya di belakang pundak, Dia akan tetap melihat apa yang kusembunyikan seraya berkata: “Apa yang kau sembunyikan?” Maka demi Dzat yang aku berada dalam genggamannya, andai saja segala bentuk keburukan itu dipanggil, niscaya mereka akan datang satu persatu secara kasat mata, membuka selubung yang menutupi dirinya, dan mengabarkan keadaannya serta apa yang disembunyikannya. Semoga Allah membebaskan orang-orang yang dizalimi dari para begal yang menyimpang dari jalan Allah dengan cara pengabdian.

Para raja bermain polo di lapangan untuk menunjukkan kepada penduduk kota yang tidak bisa mengikuti pertempuran dan peperangan tentang contoh keahilan seorang prajurit seperti memenggal kepala musuh dan menggulingkannya sebagaimana bola yang menggelinding di lapangan, hingga mereka terusir dan lari tunggang langgang. Permainan di lapangan itu hanyalah sebuah simbol untuk urusan perang yang serius. Demikian juga dengan mengerjakan salat dan mendengar orang yang ahli beribadah kepada Allah guna memperlihatkan kepada khalayak apa yang dilakukannya di kala sepi, yaitu mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Penyanyi dalam pentas musik seperti seorang imam salat yang diikuti oleh jemaahnya. Jika dia bernyanyi dengan suara cepat, maka mereka akan berdansa dengan cepat. Jika dia bernyanyi dengan suara pelan, maka mereka akan berdansa dengan pelan. Ini hanyalah perumpamaan bagi orang-orang yang batinnya mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum