Bukan Kehendakku

Bukan Kehendakku

image

Oleh : Oktaviana Ikhtiarini

Kota yang ramai akan wisatawan kini bagai kota mati. Alun alun yang biasanya sesak akan warga kini lenggang, karena dampak dari makhluk tak kasat mata ciptaan tuhan, yang bisa merenggut nyawa.

Melumpuhkan segala aspek dunia, ibadah, pendidikan, mata pencaharian, dan silahturahmi.

Aku seorang warga menegah kebawah, yang bermodal kayuhan becak untuk bisa bertahan hidup. Hanya bisa berharap wabah ini cepat menghilang. Agar raut wajah orang rumah tak lagi sedih, saat aku tak bisa mendapat sepeser uang pun.

Sedari pagi aku kayuh becak tuaku ini, sambil menunggu panggilan seseorang yang ingin diantar ke suatu tempat, tapi sampai mentari mulai menghilang tak ada panggilan.

Sore itu aku pulang, sebenarnya tak tega aku melihat raut wajah mereka, yang penuh harap aku membawa buah tangan untuk mengisi perut. Tapi apalah daya, kondisi ini sangatlah sulit bagi kami. Ku putar otak untuk mengakali agar perut terisi malam ini.

Aku pergi kesawah mencari keong sawah untuk di makan nanti malam, yahh mungkin ini bisa mengukir secercah senyuman di wajah mereka.

Cukup banyak aku dapat, setidaknya cukup untuk 4 orang.

Sampai di rumah aku di sambut hangat oleh keluarga kecilku.

“Bapak pulanggg, bapak bawa apa pakk” kata buah hatiku paling bungsu.

“makanan paling lezat ehmmm yum” kataku sambil memperagakan raut wajah bahagia untuk mereka.

“alhamdulillah, ibu masak dulu ya ” kata istriku di lanjutkan dengan bisikan kepadaku,

”sepi ya pak, tapi makasih pak” sambil melempar senyuman manisnya walau mulai ada keriput di wajahnya.

“terima kasih selama ini engkau berusaha, mau berkorban demi keluarga” seperti ini lah kata-kata yang tepancar dari sorotan matanya.

Mereka menyantapnya dengan lahap dan penuh kebahagian di wajahnya.

Hari demi hari seperti ini lah makanan kami, jika aku tak mendapatkan uang. Terkadang sampai mengutang untuk membeli beras, yang penting keluargaku makan.

Allah memberikanku keluarga yang selalu bersyukur. Ini cukup membuatku bahagia.

Saat ini pemerintah mengeluarkan maklumatnya untuk melarang keluar rumah. Tapi aku tetap gigih untuk keluar, bukannya aku tak memikirkan tetang kesehatanku atau kesehatan orang lain. Bukan berarti aku egois, tetapku pakai masker dan sebisa mungkin menjaga jarak dengan orang lain.

Aku lebih memikirkan bagaimana nasib keluargaku.

Mungkin bukan hanya aku yang seperti ini, ada banyak orang yang senasib denganku,walau orang-orang menganggap kami egois tapi bukan itu kehendak kami.

Mungkin bagi mereka yang berdasi mudah untuk tetap di rumah. Pekerjaan mereka bisa di bawa kelayar elektronik. Aku? Mana bisa kayuhan becakku, ku masukkan ke layar komputer.

Tak sedikit dari kalangan menengah ke atas, yang tak tanggung-tanggung menyetok barang persedian melimpah atau panic buyying. Yang menyebabkan kelangkaan bahan pokok, yang otomatis akan membuat melonjaknya harga di pasaran. Membuat masyarakat kecil seperti kami makin menjerit. Lalu siapa yang lebih egois?

Untukmu para garda terdepan terimakasih engkau telah berkorban tak peduli lelah ragamu, demi raga yang lain.

Untuk mu makhluk kecil dari Tuhan, terimakasih atas segala hikmah yang bisa aku ambil dari dirimu, menjaga kebersihan, tidak saling bersentuhan lawan jenis, dan lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Tapi ku mohon segeralah pulang, saat tugasmu telah usai. Pulanglah, sebelum ramadhan datang, aku igin menikmati ramadhan ku dengan penuh berkah. Sholat tarawih berjama’ah, ngabu burit, bagi bagi takjil dan bisa silahturahmi saat idul fitri nanti. Aku mohon pulanglah.

#LombaCeritaMini #2.0 #dictiocommunity #EgoismediSekitarKita #CeritaDiRumahAja #DiRumahAja