Boy To Remember

“C:\Users\user\Videos\Captures\d6f21ec8a943121d695637c49fc812b7.jpg”
Cleo hanya sekedar gadis kecil yang tersenyum setiap saat kala itu. Tanpa tahu asal usul hidupnya sendiri, tanpa tahu betapa jahat dunia luar kala menatapnya. Waktu itu sore hari, saat anak-anak lain sibuk berlarian di halaman panti sambil sesekali menerima cemilan yang diberikan Bunda Rana, mata Cleo kecil tak sengaja menangkap siluet seorang anak di bawah pohon.

“Cleo ajak main Kakak itu, ya?”

Cleo kecil menoleh, terkejut saat tiba-tiba Bunda Rana berjongkok mensejajarkan tinggi mereka di sampingnya.

“Dia?” Cleo bertanya setengah berbisik, bodohnya dia malah menunjuk anak yang duduk di bawah pohon itu dengan telunjuknya.

“Iya, kasian dia belum punya temen.”

“Tapi Buna… katanya dia anak nakal.”

“Eh? Kata siapa? Dia baik kok, dari tadi merhatiin Cleo terus, mungkin pengen temenan sama Cleo.”

Malaikat berwujud manusia itu mengelus rambut sebahu Cleo dengan sayang. Sementara Cleo merengut, terlihat ragu menuruti permintaan Bundanya. Sekali lagi, sepasang netra Cleo menatap anak laki-laki berambut kecoklatan yang duduk sendirian beberapa meter di depan sana. Dengan kulit putih dan manik hazelnya, dia memang terlihat sangat mencolok di banding anak-anak lain.

Cleo pikir anak itu terlihat menakutkan. Tatapannya seolah mengintimidasi pada setiap orang, tapi kemudian tanpa sengaja netra mereka bertemu membuat Cleo tersentak. Hanya sebentar, karena setelahnya anak laki-laki itu menyunggingkan senyum kecil.


Kelopak mata yang semula tertutup rapat itu terbuka tiba-tiba, seolah sesuatu memaksanya bangun, seolah sang gadis pemilik netra segelap malam tidak tahan dengan mimpi yang lagi-lagi mengganggu tidurnya. Nafas gadis itu memburu dengan mata yang menatap lurus ke depan, tak lama kemudian mendesah pelan saat menyadari dimana dia tertidur.

Seingat Cleo dia sedang membaca novel sambil medengarkan musik di balkon kamarnya. Cleo tidak menyangka akan tertidur di sana juga. Tapi harusnya Cleo tidak terkejut. Kebiasaan lamanya memang benar-benar buruk. Gadis itu bisa tertidur dimana saja dengan mudah. Tapi tetap saja berbahaya jika dia terus-terusan tertidur di balkon. Bukan tak mungkin akan ada orang jahat yang membawanya, kan?

Kini Cleo beranjak, berniat masuk dan berbaring di kasurnya yang nyaman. Namun, baru saja sepasang kaki jenjang itu menyentuh lantai yang dingin, sesuatu terjatuh dari halaman novel tebal di tangannya. Sebuah foto lusuh, dengan sepasang anak tersenyum lebar di sana. Foto yang sudah menguning itu jatuh tepat di dekat ibu jari Cleo.

Sejenak Cleo tertegun. Dia berjongkok memungut foto itu… kemudian menangis.


Awalnya Sian kecil biasa saja saat melihat Bunda Rana tengah bersama sepasang suami istri memerhatikan anak-anak dari kejauhan. Sian tahu mereka ingin mengadopsi anak dari panti. Itu sudah biasa. Jadi Sian tetap meneruskan langkahnya melewati mereka. Namun, saat mendengar nama yang begitu familiar, anak itu seketika berhenti.

“Yang lagi sendirian di sana namanya Cleo, Bu, Pak. Cleo Alkena,” kata wanita paruh baya berkerudung putih sambil menunjuk anak kecil berpipi chubby dengan ibu jarinya.

“Wah, lucu banget, Bu anaknya.”

Sian mengikuti arah tunjuk Bunda. Matanya membulat kala melihat Cleo tengah duduk di atas rumput, mejadikan kursi panjang sebagai meja sementara dia sibuk menggambar sesuatu di atas sana. Sian berlari ke arah Cleo, membuat anak itu tersentak saat seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang.

“Kak Sian kenapa?”

“Ah… Gak papa kok. Cleo gambar apa?” Sian melepaskan tubuh mungil Cleo. Anak itu ikut menarik kedua sudut bibirnya saat Cleo tersenyum lebar seraya menunjukkan gambar yang dia buat.

“Ini Kak Sian sama Cleo.” Gadis berusia tujuh tahun itu menunjuk dua anak yang berpegangan tangan di atas kertas, seolah tengah tersenyum pada siapapun yang melihatnya. Benar-benar terasa nyata.

“Terus mereka ini…” Kini jari Cleo beralih menunjuk wanita dan pria di samping kiri dan kanan mereka. “… Ini orang tua Kak Sian sama Cleo. Nanti kita dapet orang tua kan, Kak Sian?”

_____

“Ah iya, Bu. Kalau boleh tahu, Cleo itu latar belakangnya seperti apa, ya?”

Bunda Rana tersenyum, terlihat pedih. Bola matanya bergerak seolah tengah mengingat hal yang sudah lama sekali terlewat. “Cleo itu… Dulu waktu masih bayi, keluarganya di bantai perampok, Bu. Setahu saya orang tua dan kakak laki-lakinya tewas. Kebetulan Cleo selamat karena waktu itu dia sedang dititipkan pada kerabatnya.”

_____

Sian memicingkan mata ke arah tiga orang itu. Dari raut wajahnya saja, Sian tahu apa yang tengah mereka bicarakan. Sian benci saat orang-orang melemparkan tatapan seperti itu pada Cleo yang bahkan tak pernah tahu masa lalunya sendiri.

“Cleo, pindah yuk.”

Cleo hanya menoleh dengan wajah lugunya lantas mengangguk mengiyakan. Dia mengikuti langkah lebar Sian yang sengaja anak itu perlambat agar Cleo tak kelelahan dia tarik tangannya. Sian itu, meskipun terlihat mencolok di banding anak lainnya dan terkesan dijauhi, tapi tidak dengan Cleo. Di mata Cleo Sian adalah kakak terbaiknya meskipun usia mereka hanya berbeda beberapa bulan. Sian tumbuh dengan cepat, membuat Cleo berfikir dia harus percaya pada anak laki-laki itu.

Sian Alkana. Satu-satunya manusia di muka bumi yang bisa Cleo jadikan tempat bergantung.

“Kak Sian kita mau kemana?”

Sian menoleh, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Taman deket seko…” Sian menggantungkan kalimatnya. Dia hampir saja lupa terakhir kali mereka kesana Cleo menangis melihat anak-anak seusianya memakai seragam. “Kita beli es krim di pertigaan sana, yuk!”


Seumur hidup, hanya Cleo satu-satunya hal yang bisa membuat Sian tersenyum. Bahkan hanya dengan melihat gadis kecil itu memakan es krim dengan berantakan, Sian tersenyum lebar tanpa sadar. Tangannya terulur mengelus rambut tebal Cleo. Entah kapan cerita klasik ini bermula. Sian bahkan tak ingat kapan dia pertama mengenal Cleo. Satu-satunya hal yang terekam di memori Sian adalah saat dia terbangun di rumah sakit dengan keadaan mengenaskan dan Cleo tengah menangis di samping ranjangnya. Tak ada ingatakan tentang apapun, seakan Sian terlahir kembali di hari itu. Kadang dia berfikir semua memori masa lalunya telah hilang.

“Kak Sian.”

“Hm?”

“Rena kok gak pernah main kesini lagi ya semenjak dia pergi? Padahal Rena udah janji mau sering-sering maen sama Cleo. Rena bahagia banget kali ya dapet orang tua baru sampe lupain Cleo?”

“Anak baik kayak Cleo gak bakal dilupain.” Cleo menoleh dengan bibir mengerucut membuat Sian gemas. “Mungkin karena Rena masih kecil, jadi dia gak bebas main jauh-jauh.”

Cleo hanya mengangguk singkat kemudian lanjut memakan es krimnya yang mulai mencair. Dia tidak terlalu memusingkan hal itu sebenarnya. Toh masih ada Sian. Semua teman yang Cleo punya satu per satu pergi dari panti, tapi Sian tak pernah meninggalkan Cleo membuat Cleo berfikir mereka memang ditakdirkan menjadi saudara dan mendapat orang tua yang sama.

“Cleo jadi gak sabar pengen dapet orang tua juga. Cleo sama Kak Sian kan anak baik, pasti ada kan yang mau bawa kita?”

“Iya.”

Mungkin tidak. Tidak ada garis takdir yang semudah itu, bukan untuk Cleo tapi Sian. Sejak lahir ke bumi, Sian seolah dtakdirkan hanya untuk mengahadapi masalah.


Sudah hampir dua puluh menit, tapi gadis itu tidak melakukan apapun selain berbaring di tempat tidurnya dengan tangan yang memegang sebuah foto lusuh. Iya, foto itu lagi. Cleo dan malaikat masa kecilnya. Foto yang sempat hilang bertahun-tahun ternyata berada di antara halaman novel lama Cleo dan tak sengaja terjatuh tadi malam.

Dada Cleo sesak. Seolah semua memori menyakitkan memaksa masuk ke dalam kepalanya setiap dia menatap wajah polos kedua anak itu. Padahal dia sudah mulai membaik beberapa bulan ini. Emosinya kembali stabil setelah bayangan masa lalu itu hilang. Tidak, bukan maksud Cleo melupakan malaikatnya. Dia hanya ingin bernafas dengan tenang, itu saja.

Padahal Cleo tahu, dengan semua kesalahan fatal yang pernah dia lakukan, mungkin selamanya Cleo akan hidup dalam penyesalan… seperti sekarang.

“Cleo, jangan lari!”

“Aku lebih tua dari Cleo tahu, panggil Kak Sian, ya?”

“Siapa tuh, Kak?” Cleo tersentak. Dengan gerakan cepat dia menyembunyikan foto itu, kemudian menatap kesal ke arah laki-laki yang tiba-tiba berbaring di sampingnya. Kenapa dia muncul tiba-tiba? Bahkan Cleo tak mendengar langkah kakinya. Mungkin saking dalamnya lamunan gadis itu.

“Nara! Ketuk pintu dulu napa?!”

“Sama adek sendiri juga.” Laki-laki bermata sipit itu mencebikkan pipi. Dia segera bangkit kemudian meletakkan kepalanya di atas paha Cleo saat gadis itu merubah posisinya menjadi duduk.

“Gak sopan tahu.”

“Iya iya, maaf.” Nara meraih pergelangan Cleo, meletakkan tangan yang terasa mungil itu di atas kepalanya. “Usapin.”

“Dasar manja.” Cleo mencibir, namun raut wajah gadis itu seketika berubah saat tanpa sengaja merasakan hangat di dahi Nara. “Demam?”

“Dikit doang kok.”

“Ih ini panas banget tahu!”

“Jangan ngomel, orang lagi sakit juga.”

Cleo mendengus. Punya adik laki-laki yang hanya lebih muda satu tahun tapi super manja sepertinya bukanlah hal yang mudah. Cleo sudah terbiasa menjadi adik bagi Sian… Ah, berfikir tentang laki-laki itu, Cleo jadi igin tahu kabar Sian sekarang. Sudah hampir delapan tahun sejak orang tua angkatnya bilang akan menjemput Sian juga. Dia dibohongi, bodohnya Cleo masih menyimpan harapan kecil itu sampai sekarang.

“Kak Cleo.”

“Apa?”

“Beliin kue coklat di toko pertigaan biasa.” Cleo menunduk, menatap horor wajah pucat Nara.

“Gak mau!”

Nara mendatarkan wajah. Susah sekali membuat kakaknya itu merasa kasihan padanya. Setelah terjadi keheningan sejenak, Nara mengeluarkan rintihan lantas memeluk perut Cleo. “Pusing tahu,” katanya.

“Ya udah iya, Cleo beliin!”

Cleo tidak tahu jadi seorang kakak bisa sesulit ini. Apa kabar dengan Sian yang terus ditempeli gadis manja dan hobi merengek sepertinya selama bertahun-tahun? Ah, Sian lagi. Setiap kesal dengan Nara nama Sian selalu muncul di pikiran Cleo setelahnya. Cleo merindukan laki-laki itu, sungguh.

Cleo mengeratkan jaket tebal yang dia pakai saat Mulai mendung, padahal saat Cleo keluar rumah langit terlihat sedikit cerah. Gadis itu mempercepat langkah saat rintik gerimis mulai turun dari langit. Tidak lupa mengutuk Nara dalam hati karena telah membuatnya terjebak dalam keadaan seperti ini tanpa payung.

Hujan turun semakin deras tepat saat Cleo membuka pintu café. Gadis itu menggosok-gosokkan kedua tangannya lantas memlih duduk di salah satu kursi sebelum memesan. Menoleh ke jendela di sampingnya, suara rintik hujan yang beradu dengan aspal menimbulkan ketenangan tersendiri bagi Cleo. Dulu… dia suka bermain hujan dengan Sian di halaman belakang panti. Lagi-lagi masa kecil itu.

“Ck, gue kanapa sih? Palingan Kak Sian udah lupa sama gue,” gumamnya pelan.

“Permisi.” Cleo tersentak. Kepalanya sontak mendongak pada laki-laki berseragam karyawan yang tiba-tiba berdiri di samping mejanya.

“Kenapa, Kak?”

“Cafénya udah mau tutup, Dek.”

“Lho, kok—” Cleo mengedarkan pandangan ke setiap sudut café. Dia bahkan baru sadar hanya ada dirinya yang tengah duduk sendirian. Meskipun dekat dari rumah, Cleo jarang berkunjung membuatnya tak tahu banyak tentang café ini.

“Terus gimana?”

“Adek harus keluar.”

“Ta—tapi—”

“Sian, kamu tuh ya. Biarin dulu lah dia neduh bentaran. Jangan dulu ditutup cafénya.”

Cleo mengiyakan perkataan seorang wanita yang tiba-tiba mendatangi mejanya. Enak saja dia disuruh keluar padahal hujan turun deras di luar sana. Cleo menatap wanita itu yang dia tebak adalah pemilik café lantas menganggukkan kepalanya sopan dan tersenyum sebagai ucapan terimakasih.

Setelah wanita itu pergi, Cleo membulatkan mata kala teringat satu hal. Dengan cepat dia menoleh pada laki-laki asing yang kini ikut berjalan menjauh. Kesal akibat disuruh keluar membuat Cleo lupa memerhatikan wajahnya yang tertutupi topi. Satu hal yang membuat Cleo tersentak, dia itu Sian?

Huh… Kenapa Cleo begitu berharap? Bukankah ada jutaan Sian di muka bumi?

Tapi Cleo bukan orang yang seperti itu. Dia tidak bisa tidur semalaman selama beberapa hari hingga memutuskan untuk kembali ke café itu sepulang sekolah. Dengan perasaan yang entah kenapa jadi tak nyaman secara tiba-tiba, tangan Cleo terulur hendak mendorong kenop pintu.

“Eh—” tapi di waktu yang sama pintu putih itu ditarik seseorang dari dalam.

Keduanya tercekat. Cleo bahkan kehilangan kendali atas pikirannya sendiri selama beberapa saat. Gadis itu mundur beberapa langkah, kemudian megerjap-ngerjapkan matanya dengan mulut terbuka seperti orang bodoh.

“K—ka—”

Seterkejut itu. Tapi bahkan cowok yang hampir saja bertabrakan dengannya pergi begitu saja melewati tubuh Seal. Bahkan setelah beberapa meter di depan sana dia sama sekali tak berbalik dan malah mempercepat langkah.

Iya, itu Sian, pelayan café yang kemarin. Sian yang sama dengan teman masa kecilnya yang dia tinggalkan di panti. Sian yang dulu selalu menjaganya seperti seorang kakak sebelum akhirnya Cleo pergi lebih dulu bahkan tanpa pamit.

Setelah melewati bertahun-tahun penuh rasa bersalah, harusnya Cleo menahan laki-laki itu. Harusnya Cleo tidak hanya berdiri mematung dan menatap punggung tegap itu menjauh seperti orang bodoh. Tapi Cleo takut… karena hal yang terakhir kali dia lihat adalah sorot marah yang begitu kentara di kedua mata Sian.