Berteman dengan Keegoisan

IMG_20200412_075220
Gambar : Pratiwi Nisa Icha - WordPress.com

Kurebahkan tubuhku di atas kasur. Rasa penat begitu terasa pagi ini. Bukan hanya penat secara fisik saja, tapi juga penat secara psikis. Masa ini adalah masa - masa dimana aku tak tau harus apa dan bagaimana. Kucoba flashback 2 tahun lalu. Tepatnya tahun 2018. Dimana saat itu, aku memutuskan untuk pergi ke kota Malang dengan membawa sejuta mimpi dan harapanku.

Setiap detik perjalanan menuju kota pendidikan ini, berbagai macam pertanyaan timbul dalam hati. Apakah aku bisa sukses disana ? Apa yang harus aku lakukan disana nanti ? Bagaimana jika ada hal - hal yang tidak kusukai disana ? Pikiranku terlalu berulah. 4 jam perjalanan pun telah ku lewati, dan akupun sampai di tempat tujuan.

Tak terasa sudah 2 tahun lebih berada disini. Dan selama itupun aku belum tau apa hakikatnya aku berada disini. Kejadian demi kejadian, memaksaku untuk berpikir keras. Juga meminta diri untuk mengenyampingkan perasaan. Sempat terucap dalam hati “Tuhan, inikah takdir yang kau berikan padaku?”. Sungguh, rasanya aku sudah durhaka kepada Allah dengan ucapan itu.

Tak dianggap, diremehkan, itu yang kurasakan selama 2 tahun lebih ini. Aku merasa bahwa aku sudah melakukan sebisaku yang terbaik disini. Hingga aku harus bertengkar dengan diriku sendiri, disaat berkata iya namun dalam hati tidak. “Kenapa mereka egois Tuhan ? Mereka memaksaku agar aku bisa menjadi seperti mereka dari semua hal. Tanpa pernah memikirkan bagaimana perasaanku. Apa mauku, dan apakah aku nyaman dengan ini semua ?”, berontakku dalam hati.

Tinggal di lingkungan yang benar - benar jauh dari bayangkanku sebelumnya. Membuat goncangan dalam diriku. Sempat beberapa waktu aku konsultasi dengan salah satu psikolog. Kuceritakan semua yang kualami. Segala yang terjadi disini, yang membuatku hampir depresi. Dan pada akhirnya psikolog pun menyarankan aku untuk pergi dari lingkungan ini. “Dek, saran saya tinggalkan lingkungan ini. Cari tempat baru, dimana kamu bisa dihargai dan suaramu bisa didengar. Berada di tempat seperti ini hanya akan memperburuk mentalmu”, saran psikolog itu.

Dengan segala konsekuensi, kuberanikan diri meminta izin pada orang tuaku. Yang sudah berkorban dan mengikhlaskan peluh serta do’anya untukku selama ini, dan tentunya untuk 2 tahun terakhir ini. Tapi mereka berargumen lain. Mereka berkata, “Nak, jangan terburu - buru. Mungkin ini hanya emosi yang sedang menguasaimu. Pikirkan baik - baik. Bertahanlah dulu. Dunia luar sana jauh lebih berat dan lebih kejam dari ini”.

Tanpa sadar air mataku jatuh membasahi pipi. Ucapan kedua orang tuaku beberapa bulan lalu, berhasil membuatku terbangun dari lamunanku. Mengunjungi masa lalu hampir saja membuatku kalap. Sempat rasanya ingin membeci semua hal yang terjadi 2 tahun ini. Tapi apalah daya. Aku hanya seorang aktor yang harus patuh pada arahan sutradara dalam memerankan drama kehidupan saat ini.

Tok … Tok (suara ketukan pintu)
Aku terhenyak. “Siapa?”
“Ini Ana mbak. Boleh Ana masuk ?”.
“Oh, kamu An. Masuk aja nggak tak kunci kok”.
“Loh, mbak Ayu habis nangis lagi ya?”, tanyanya padaku dengan nada sendu
“Enggak kok An. Tadi habis bersih - bersih kamar, dan nggak sengaja mata kemasukan debu, hehe”, jawabku sambil tertawa kecil
“Mbak, aku tahu kamu bohong. Sabar mbak, ini jalan kesuksesan kita, kita berjuang sama - sama ya?”.
“Heem”.

Ana adalah orang yang paling mengerti kondisiku saat ini, karena dia juga mengalami hal yang sama denganku. Ia adalah saudara dari Om ku. Kami dibiayai kuliah oleh Om dan Tante. Meskipun kampus kami berbeda, tapi kami tinggal di rumah dan kamar yang sama.

Tanpa Ana disini aku tak tahu apakah aku bisa bertahan di tempat ini sendirian. Bergumul dengan keegoisan mereka yang selalu menuntut ku untuk bisa menjadi seperti mereka. Ingin rasanya aku berontak. Mengungkapkan semua suaraku yang selama ini terbungkam. Tolong dengarkan aku. Jangan paksa aku untuk menjadi seperti yang kalian mau. Aku ingin berdiri tegak dikaki ku sendiri. Aku ingin mengatakan tidak saat kalian memaksaku untuk mengatakan iya.

Tapi itu semua masih menjadi angan - angan semu. Mana berani aku berbuat demikian pada Om dan Tante ku yang sudah mau membiayai kuliahku. Kondisi finansial
keluargalah yang membuatku menerima tawaran dari mereka, dan mengharuskan tinggal di rumah mereka pula.

Aku tak tahu apa yang sedang Tuhan rencanakan untukku. Aku hanya bisa mengikuti alur-Nya. Menerima setiap ketentuan-Nya. Dan berupaya dengan sebaik mungkin melalui ikhtiar dan do’a yang senantiasa ku panjatkan. Entah berapa lama lagi aku harus berteman dengan keegoisan mereka. Hidupku rasanya monoton. Tapi aku percaya bahwa Tuhan sedang merencanakan takdir yang terbaik untukku. Seperti kalimat mutiara dari R.A Kartini, “Habis Gelap Terbitlah Terang”, setelah sakit dan lelah yang ku lalui akan ada bahagia yang menanti.

1 Like