Berlayar Mengarungi Wujud Manusia

Taman Surga

Maulana Rumi berkata:

“Siang dan malam kamu terus berperang, berharap akan mampu memperbaiki akhlak seorang perempuan dan menyucikan amal perbuatannya melalui dirimu. Akan lebih baik kiranya kalau kamu memperbaiki akhlakmu melalui dia ketimbang mencoba memperbaiki akhlaknya melalui dirimu. Ubahlah dirimu dengan perantaraan dia.”

Datanglah padanya dan terima semua yang dia katakan, sekalipun dalam pandanganmu apa yang dia ucapkan terdengar mustahil. Buanglah kecemburuan dalam dirimu meskipun cemburu adalah sifat yang melekat pada laki-laki; karena hal itu akan membuat sifat baik dan buruk dalam dirimu bersatu. Karena itulah maka Rasulullah Saw… kemudian bersabda:

“Tidak ada sistem kependetaan dalam Islam.”

Jalan yang ditempuh oleh para pendeta adalah menyendiri, menjauh dari keramaian di gunung, menghindari perempuan, dan meninggalkan dunia. Allah SWT sudah menunjukkan jalan yang lurus dan tersembunyi pada Nabi Muhammad Saw…

Apa jalan itu?

Yaitu menikah, sehingga kamu bisa memikul ketidakadilannya, mendengarkan berbagai kemustahilan darinya, bisa menjalani kerasnya hidup bersamanya, dan bisa mengubah akhlakmu menjadi jernih.

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam: 4)

Dengan memikul ketidakadilannya, itu sama halnya kamu menghapus ketidaksucianmu padanya. Kesabaran akan memperbaiki akhlakmu, sementara akhlaknya akan memburuk dengan penguasaan dan agresifitasnya. Jika kamu sudah memahami ini, sucikan dirimu. Ketahuilah bahwa mereka bagaikan pakaian bagimu, melalui mereka, kamu bisa menyucikan dirimu. Jika dengan cara ini tak berhasil, bermusyawarahlah dengan dirimu sendiri melalui akal yang kamu miliki seperti ini: “Biarkan aku menganggap bahwa kita tidak pernah menikah. Ia adalah pelacur. Setiap aku diliputi oleh hawa nafsu, aku akan pergi kepadanya.” Cara ini akan melindungimu dari sifat agresif dan cemburu sehingga kamu akan merasakan indahnya berjuang dan memikul, dan karena kemustahilan mereka sendirilah berbagai hal akan tersingkap dengan jelas di hadapannya. Setelah itu, tanpa perlu bermusyawarah lagi, kamu akan langsung bersedia untuk menanggung kesalahannya, berjuang demi dirinya, dan menaklukkan jiwanya yang penuh dengan kesalahan. Saat kamu melihat itu semua, ada keuntungan-keuntungan yang secara khusus akan kamu dapatkan.

Dikisahkan bahwa pada suatu malam, Rasulullah Saw… kembali bersama para sahabat dari sebuah serangan. Beliau memerintahkan mereka untuk menabuh genderang, seraya berkata:

“Malam ini kita akan tidur di gerbang kota, dan memasuki kota keesokan harinya.”

Mereka menjawab:

“Ya Rasulullah, untuk apa kita melakukan itu?”

Beliau bersabda:

“Barangkali kamu akan melihat istrimu sedang bersama lelaki asing, lalu kamu akan sakit hati dan terjadi perselisihan di antara kalian.”

Salah seorang sahabat tidak mendengar ucapan Rasulullah itu. Ia kemudian memasuki kota dan melihat istrinya sedang bersama pria asing.

Inti dari cara Rasulullah Saw… ini adalah bahwa kamu harus mampu memikul rasa sakit, menyingkirkan kecemburuan dan agresifitas, beban dalam menafkahi dan memberi pakaian pada istri, serta ribuan kepedihan lainnya yang tak berkesudahan. Inilah “dunia Muhammad.” Cara yang ditempuh Nabi Isa as. adalah dengan bergelut dalam kesendirian dan menundukkan hawa nafsu, sedangkan cara yang ditempuh Rasulullah Saw… adalah dengan memikul ketidakadilan dan penderitaan yang terjadi di antara mereka berdua. Jika kamu tidak bisa menerapkan cara yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, setidaknya pakailah cara yang digunakan oleh Nabi Isa as., agar kamu tidak sepenuhnya berada di luar jalan spiritual. Jika kamu memiliki ketenangan, maka kamu akan mampu menentramkan hatimu untuk memikul seratus pukulan, dan kamu juga akan menemukan buah dan hasilnya, atau kamu akan percaya hatimu yang tersebunyi bahwa sesuatu “akan terjadi sesuai dengan yang mereka katakan dan kabarkan, dan aku akan bersabar hingga tiba waktunya berada di tempat yang banyak diceritakan orang.”

Kemudian kamu akan melihat, karena kamu mencurahkan hatimu tentang hal ini, dan berkata, “Meski saat ini aku tidak mendapat hasil apapun dari penderitaan ini, pada akhirnya nanti aku akan sampai ke gudang-gudang itu.” Kamu akan sampai ke gudang-gudang itu, ya, bahkan lebih dari yang kamu ingin dan harapkan. Jika sekarang kata-kata ini belum memberikan pengaruh padamu, maka suatu saat nanti kata-kata ini akan memberikan pengaruh yang besar padamu. Itu akan terjadi ketika kamu menjadi lebih dewasa. Itulah perbedaan antara perempuan dan cendekiawan. Entah kamu mau mengajak perempuan berbicara atau tidak, mereka masih akan tetap sama dan tidak akan mengubah tabiat dan wataknya. Kata-katamu tidak akan berpengaruh apapun pada mereka, bahkan mungkin akan menjadi lebih buruk.

Sebagai contoh, ambillah seiris roti dan letakkan di bawah ketiakmu, dan jangan berikan pada orang lain, katakanlah:

“Aku tidak akan pernah memberikan roti ini kepada siapapun. Kenapa harus aku berikan? Aku bahkan tidak akan menunjukkannya.”

Sekalipun roti itu dibuang di depan pintu, belum tentu anjing akan memakannya karena begitu berlimpah dan murahnya roti itu. Tapi ketika kamu mulai melarang orang lain untuk mendapatkannya, maka semua orang akan mulai menginginkan roti itu, mereka akan memancangkan hatinya untuk roti itu, dan mereka menjadi sangat berhasrat pada roti itu,

“Kami ingin melihat roti yang kamu sembunyikan dan kamu larang untuk kami miliki itu.”

Terlebih lagi kalau kamu simpan roti itu untuk waktu yang sangat lama di lengan bajumu, sambil kamu lebih-lebihkan dan tegaskan bahwa kamu tidak akan memberikan dan menunjukkannya pada siapapun, maka rasa ingin tahu mereka kepada roti ini akan menembus ambang batas kewajaran, karena

“Manusia sangat berhasrat pada sesuatu yang dilarang.”

Semakin kamu memerintahkan perempuan, “Tetap sembunyikan dirimu,” maka ia akan semakin bersikeras untuk memperlihatkan dirinya dan semakin bersikeras juga orang lain untuk melihat perempuan itu karena hijab yang menutupinya. Maka kamu duduk di tengah dan hasratmu bertambah pada dua hal yang berbeda, dan kamu menganggap dirimu benar. Itu adalah pandangan yang salah. Jika dalam diri mereka terdapat jiwa yang bisa mencegah mereka untuk tidak berbuat jahat, maka hasilnya akan sama saja apakah kamu mau mencegahnya atau tidak, mereka akan tetap berjalan sesuai dengan tabiat baik dan watak sucinya. Jadi, kosongkanlah pikiranmu dari kegelisahan dan kesedihan. Jika tidak begitu, maka kamu akan sama saja seperti mereka. Yang terjadi bukanlah kamu mencegahnya untuk berbuat jahat, tapi justru kamu memperbesar hasratnya untuk dilihat orang lain.

Orang-orang tetap berkata: “Kami telah melihat Syamsuddin Tabrizi, Tuanku! Sungguh kami telah melihatnya.”

“Hei bodoh, di mana kamu melihatnya?” Orang yang tidak bisa melihat seekor unta di atap rumahnya sendiri, datang dan berkata: “Aku melihat sebuah jarum dan memasukkan benang ke dalamnya.” Apa yang dikatakan orang itu sama bagusnya dengan apa yang diucapkan oleh orang lain yang berkata: “Ada dua hal yang membuatku tertawa: orang negro yang mewarnai ujung-ujung jemarinya dengan tinta hitam dan orang buta yang bisa mengeluarkan kepalanya dari jendela.” Keduanya sama persis dengan cerita di atas. Orang yang buta mata hatinya, mengeluarkan kepala mereka dari jendela raga yang materil. Apa yang akan mereka lihat? Anggukan atau gelengan kepala? Bagi orang yang berakal, keduanya sama saja, apakah mereka melihat anggukan ataupun gelengan, semua yang mereka katakan tetaplah omong kosong.

Pertama-tama seseorang harus memiliki pandangan hati, setelah itu barulah ia dapat melihat. Jika ia tidak memiliki pandangan hati, lantas bagaimana ia bisa melihat sesuatu yang tersembunyi?

Di dunia ini, ada banyak wali yang sudah mencapai tingkatan kemanunggalan, sementara wali-wali lainnya berada di belakang mereka, yang disebut Wali Allah yang Terselubung. Para wali yang pertama selalu memohon dengan sungguh-sungguh: “Ya Tuhan, tunjukkan pada kami salah satu wali-Mu yang Terselubung.” Selama mereka tidak benar-benar ingin, atau selama Wali yang Terselubung itu tidak ingin dilihat, meskipun wali itu memiliki mata yang sangat tajam, mereka tidak akan mampu melihatnya. Seperti para pelacur yang tidak boleh melihat satu orang pelanggan pun, mereka tidak bisa berkomunikasi dengan mereka atau menemuinya. Bagaimana bisa seseorang melihat Wali yang Terselubung atau mengetahuinya tanpa mereka kehendaki?

Ini bukanlah perkara yang mudah. Para malaikat berkata:

“Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” (QS. al-Baqarah: 30)

“Kami juga para pecinta, rohaniawan, dan cahaya sejati. Sedangkan mereka para manusia, hanyalah sekumpulan orang rakus yang gemar membunuh, mereka akan selalu menumpahkan darah.” Ini semua dikarenakan manusia gemetaran oleh adanya malaikat yang merupakan rohaniawan, yang tak memiliki nafsu pada harta, martabat, dan tidak tertutup oleh selubung. Mereka adalah cahaya sejati yang mewakili keindahan Tuhan, mereka adalah pecinta sejati, pemilik mata yang tajam yang mampu melihat dari jarak yang sangat jauh. Antara mengingkari dan mengakui realitas tersebut, dengan gemetaran manusia bertanya: “Oh, siapa aku? Apa yang aku tahu? Demikian pula jika ada seberkas cahaya yang menyinari wajahnya dan ia merasa sangat senang, maka ia akan bersyukur seribu kali sambil berkata: “Bagaimana aku bisa layak mendapatkan semua ini?”

Sekali lagi, kamu akan mendapatkan sesuatu yang lebih menyenangkan ketimbang perkataan Syamsuddin. Karena pelayaran mengarungi wujud manusia adalah cita-cita kita. Ketika ada pelayaran, maka angin akan membawa kapal itu ke suatu tempat yang agung. Tapi ketika tidak ada pelayaran, maka semua perkataan itu hanyalah hembusan angin belaka.

Alangkah indahnya hubungan antara pecinta dan yang dicintanya, tidak ada paksaan di antara mereka bedua. Kalaupun ada paksaan, maka hal itu dilakukan demi yang lain. Semua hal selain cinta adalah haram baginya.

Aku bisa menjelaskan ucapan ini secara panjang lebar, tapi sayangnya tidak ada waktu lagi. Seseorang harus berjuang keras dan menggali sungai agar bisa sampai ke telaga hati. Akan tetapi orang-orang itu menjadi bosan, atau orang yang berkata itu yang bosan dan mengajukan beragam alasan. Jika tidak, maka orang yang berbicara tidak akan membiarkan pendengarnya melepaskan diri dari kebosanan yang tak bermakna itu.

Siapapun tidak bisa meminta seorang pecinta untuk memberikan bukti tentang keindahan orang yang dicintanya. Siapapun juga tidak akan mampu menunjukkan bukti di hati pecinta tentang keburukan orang yang dicintanya. Dengan demikian, bukti tidak berguna di sini. Di sini, manusia harus menjadi pencari cinta. Jika dalam bait ini aku melebih-lebihkan keadaan pecinta, maka itu bukan merupakan bentuk yang sebenarnya. Aku juga melihat bahwa seorang murid hendaknya menanggalkan seluruh tujuan (makna)-nya demi bentuk guru mereka.

Wahai engkau yang bentuknya lebih indah dari seratus makna

Hal itu dikarenakan semua murid yang datang kepada gurunya harus melepaskan diri dari semua tujuan (makna) yang dimilikinya, untuk masuk ke dalam kebutuhan gurunya itu.

Bahauddin melemparkan pertanyaan:

“Tentu saja murid tidak menanggalkan tujuan mereka karena bentuk gurunya, tetapi demi tujuan gurunya?”

Maulana Rumi menjawab:

“Malasahnya tidak seperti itu. Jika kondisinya demikian, maka keduanya akan menjadi guru. Sekarang kamu harus berjuang agar bisa mencapai cahaya di dalam dirimu, agar kau bisa selamat dan mengamankan diri dari api kebingunan-kebingungan ini. Jika seseorang bisa menemukan cahaya semacam ini di dalam dirinya, maka seluruh kemegahan dunia seperti pangkat, kehormatan dan jabatan akan melewati batinnya seperti kilatan cahaya. Ini sama dengan orang-orang yang berkepentingan terhadap dunia sehingga beragam kemegahan dari dunia lain di sana, seperti rasa takut kepada Allah dan rindu kepada dunia para wali, hanya akan menyinari hati mereka untuk sesaat lalu melesat seperti kilat. Ahlul Haq (para pengikut kebenaran) adalah milik Allah. Wajah mereka menghadap ke arah-Nya. Mereka sibuk dengan Allah dan tenggelam ke dalam diri-Nya. Bagi mereka, nafsu-nafsu dunia itu ibarat nafsunya orang yang impoten, tidak pernah tinggal lama dan hanya lewat dengan cepat. Ini berbanding terbalik dengan yang terjadi pada Ahlu al-Dunya .

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum