Berbagi Kisah-Kisah Tentang Sedekah

Tertulis dalam Surat Al-Baqarah ayat 261, " Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui. "

Kisah Sedekah Rasulullah & Fatimah

Seperti biasanya siang itu matahari memanggang kota Makkah dengan amat terik.
Hari itu, Rasulullah baru saja berjama’ah sholat Dhuhur bersama para sahabat.
Sesaat mereka selesai membaca dzikir, tiba-tiba seorang laki-laki menyeruak dari shaf paling belakang.

Dengan merunduk-runduk ia melangkahi beberapa sof, langsung duduk dibelakang Rasulullah. Bau anyir peluh di tubuhnya menyebar…

Tubuh lelaki tua itu, kurus, ceking dan kumuh penuh debu. Kumis dan jambangnya lebar, rambutnya gondrong tak terurus. Dengan terbata-bata, lelaki tua itu memohon kepada Rasulullah,

“Asssalamu’alaikum… Yaa Rasulullah…. Sudah beberapa hari ini saya kelaparan, Tubuhku hampir telanjang karena hanya kain selembar dan compang-camping ini yang kupakai.

Saya datang dari pedusunan, nun jauh di puncak bukit sana. Saya lapar dan capek… Karena itu maaf ya Rasulullah, saya tak bisa ikut serta sholat berjama’ah karena tidak mampu menutup aurat. Adakah sesuap gandum yang bisa mengganjal perut dan selembar kain penutup aurat ?.”

Sebenarnya Rasulullah sangat iba melihat keadaan orang itu. Wajahnya pucat, bibirnya membiru dan tangannya gemetar memegang tongkatnya.
Tetapi apa mau di kata, beliau tidak sedang tidak punya apa-apa yang bisa diberikan kepadanya.

“Siapakah engkau, wahai saudaraku ?” Tanya Rasulullah dengan lembut sambil menjabat tangannya, sementara telapak kirinya menepuk pundak musafir yang kelaparan itu.

“Nama tidaklah penting, ya Rasulullah. Tetapi saya adalah sorang Arabi, orang dusun yang sangat miskin. Saya sangat merindukan bisa bertemu dengan Engkau, wahai kekasih ALLAH… Apalagi jika Engkau bersedia mengenyangkan perut saya dan membantu menutup aurat saya hingga saya bisa kembali sholat,” jawab lelaki tua itu terbata…Tubuhnya gemetar…

Rasulullaah sangat terharu.

Lalu sabdanya. “ Sayang sekali, wahai saudaraku…, saya sendiri saat ini juga tidak punya apa-apa seperti hal nya engkau. Tetapi orang yang menunjukkan kebaikan, sesungguhnya sama saja pahalanya dengan orang yang berbuat kebaikan…

Karena itu saya sarankan agar saudaraku datang kepada orang yang di cintai ALLAH dan Rasul NYA, yang lebih mementingkan ALLAH ketimbang dirinya sendiri. Rumahnya sangat dekat dengan rumahku, (yang dimaksud ialah Fatimah az-Zuhra, putrid Rasulullah), mungkin ada sesuatu yang bisa diberikan kepadanya sebagai sedekah.”

Dengan diantar oleh Bilal bin Robbah, bekas budak belian berkulit hitam, berangkatlah musafir tua itu kerumah Fatimah. Siang itu, kebetulan Fatimah ada dirumah, yang seperti hak nya rumah Rasulullaah, sangat sederhana.

Dengan sangat santun, lelaki itu berkata, “Assalamu’alaikum, wahai putri Rasulullah,” Suaranya serak parau, tubuhnya gemetar, hampir saja jatuh terkulai.

“Wa’alaikumussalam, Siapakah kakek ?, Adakah sesuatu yang dapat saya Bantu ?”

Dengan penuh harap, sementara kedua bola matanya berkaca-kaca, Badui Arab itu menceritakan keadaan dirinya, sama seperti yang baru saja ia ceritakan kepada Rasulullah… Persis, tak kurang tak lebih.

Mendengar cerita mengharukan itu, Fatimah bingung… Ia tak berdaya, Ia tidak memiliki barang yang cukup berharga untuk di sedekahkan. Padahal selaku keluarga Rasulullah ia telah terbiasa menjalani hidup amat sederhana, jauh di bawah taraf kehidupan rakyat jelata. Tetapi hatinya tak tega membiarkan lelaki tua dan miskin itu tetap kelaparan sementara tubuhnya hampir-hampir tak tertutup.

Setelah mencari-cari sesuatu disekeliling rumahnya yang sempit itu, akhirnya Fatimah memberikan satu-satunya alas tidur miliknya yang biasa di pakai sebagai alas tidur Hasan dan Husain. Dengan ikhlas, ia pun menyerahkan kepada sang tamu, musafir tadi.

Tentu saja si Badui Arabi itu terheran-heran. Ia butuh makanan karena berhari-hari perutnya keroncongan. Ia pun juga hampir telanjang karena sudah lama pakaiannya hanya selembar kain kumal yang sudah compang-camping.

“Maaf Wahai putri Rasulullaah yang di cintai ALLAH. Saya kemari karena lapar dan mengharapkan selembar kain penutup aurat. Tapi yang engkau berikan hanya ini… Apa yang bisa saya perbuat dengan selembar kulit kambing ini ?” kata kakek itu dengan memelas.

Fatimah pun malu bukan main… Ia bertambah bingung…

Ia kembali masuk kedalam rumahnya, Matanya mencari-cari lagi sesuatu yang barangkali dapat ia sumbangkan kepada fakir miskin itu, Tetapi sungguh, tak ada satu pun barang atau makanan yang layak untuk diberikan. Ia bertanya-tanya…, mengapa ayahku mengirimkan orang ini kepadaku ?? Padahal ayah tahu aku tidak lebih kaya daripada beliau.

Sesudah merenung sejenak barulah ia teringat akan seuntai barang pemberian Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutholib, bibinya. Barang itu amat indah, namun ia merasa kurang pantas memakainya karena ia dikenal sebagai pemimpin umat. Barang itu adalah sebuah kalung emas.

Buru-buru diambilnya benda itu dari dalam kotak simpanannya, lalu dengan rasa ikhlas kalung kesayangan itu Ia berikan kepada si Badui Arabi. Dengan senyum ramah, Fatimah pun menyerahkannya.

“Ambillah kalung ini, kakek… Inilah satu-satunya benda berharga yang sempat saya miliki dan layak saya berikan pada kakek. Ambillah, saya mengikhlaskannya… Mudah-mudahan ALLAH Subhanahu wa ta’ala berkenan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih berharga.”. katanya dengan lembut tapi penuh hormat. Nada bicara wanita terhormat itu sangat menyentuh hati.

Orang itu terbelalak melihat benda yang kini di genggamnya. Begitu indah, pasti mahal harganya. Dengan suka cita dan wajah berseri, orang itu pun kembali menghadap Rasulullah. Diperlihatkannya kepada beliau kalung emas pemberian Fatimah. Ia pun menceritakan betapa Fatimah dengan ramah dan lembut tetapi penuh hormat memberinya seuntai kalung emas yang tak ternilai harganya.

Mendengar cerita orang tua itu, Rasulullah tak mampu menahan airmatanya tang meleleh satu demi satu sambil beliau berdoa,

“Semoga ALLAH membalas keikhlasannya,”

Diantara jama’ah yang ada pada saat itu terdapat salah satu sahabat Rasulullah yang cukup mampu, Abdurrahman bin Auf.

Melihat dan mendengar cerita kakek musafir itu, Abdurrohman pun berkata, “Ya Rasulullah…, bolehkah saya membeli kalung itu ?”

Sambil menyeka kedua belah pipinya yang basah oleh air mata, Rasulullah pun menjawab, “Belilah, jika engkau bersedia.” Abdurrohman pun kemudian mendekati Badui Arab yang menimang-nimang kalung itu. “Pak, berapa kalung itu mau kamu jual ?” tanyanya kepada musafir itu.

Kakek itu menoleh kepada Rasulullah, “Bolehkah saya jual ya Rasul ?”

“ Silahkan, kalung itu milikmu” sahut Rasulullah…

Orang itu lantas berkata kepada Abdurrahman bin Auf,

“Seharga beberapa potong roti dan daging yang bisa sekedar mengenyangkan perutku. Tetapi kalau bisa tambahkanlah dengan secarik kain penutup aurat agar saya bisa menghadap ALLAH dengan sopan dan bersih, serta beberapa keping dinar agar saya bisa pulang kampung,” Jawab si Badui.

“Baiklah, Kalung itu saya beli dengan 20 dinar dan 100 dirham. Selain itu saya tambah dengan roti dan daging secukupnya, Saya juga akan memberi pakaian serta seekor unta agar engkau bisa pulang kembali ke keluargamu di dusun,” kata Abdurrahman lagi.

“Alangkah baik budimu. Saya terima tawaranmu,” ujar orang tua itu sembari melangkah menjabat tangan Abdurrahman.

Abdurrohman pun mengantar musafir itu mengambil semua yang di janjikan di rumahnya. Kini, musafir tua yang dekil itu bersemangat dan berseri-seri . Ia sudah kenyang, tubuhnya bersih. Dengan pakaian yang rapi, ia mengendarai onta yang sehat.

“ Bagaimana keadaanmu sekarang, saudaraku ?” Tanya Rasulullah.

“Alhamdulillaah, Wahai kekasih ALLAH, Saya telah mendapatkan yang lebih daripada yang saya perlukan. Bahkan saya merasa telah menjadi orang kaya.”

Rasulullah menjawab, “Terima kasih kepada ALLAH dan Rasul NYA harus di awali dengan berterima kasih kepada yang bersangkutan. Balaslah kebaikan Fatimah.”

Kontan, orang tua itu pun mengangkat kedua tangannya ke atas, “Ya, ALLAH… Aku tak mampu membalas kebaikan Fatimah dengan sepadan. Karena itu hamba memohon kepada-MU, berilah Fatimah balasan dari hadirat-MU, berupa sesuatu yang tidak terlintas di mata, tidak terbayang di telinga dan tidak terbesit di hati, yakni surga-MU, Jannatun Na’im.”

Rasulullah menyambut do’a itu dengan “aamiin” seraya tersenyum ceria.

Beberapa hari kemudian, budak Abdurrohman bin Auf bernama Sahm datang menghadap Rasulullah dengan membawa kalung yang di beli dari orang tua itu.

“Ya Rasulullah, “ ujar Sahm, “ Saya datang kemari diperintah Tuan Abdurrohman bin Auf untuk menyerahkan kalung ini untukmu, dan diri saya sebagai budak diserahkannya kepadamu”

Rasulullah tertawa, “ Kuterima pemberian itu. Nah, sekarang lanjutkanlah perjalananmu kerumah Fatimah, anakku. Kalung ini tolong serahkan kepadanya, Juga dirimu kuberikan untuk Fatimah.”

Sahm lalu mendatangi Fatimah di rumahnya, dan menceritakan pesan Rasulullah untuknya. Fatimah dengan lega menerima dan menyimpan kalung itu di tempat semula, lantas berkata kepada Sahm,

“Engkau sekarang telah menjadi hakku, Karena itu engkau ku bebaskan. Sejak hari ini engkau menjadi orang yang merdeka.”

Sahm tertawa nyaring sampai Fatimah keheranan, “Mengapa engkau tertawa ?”

Bekas budak itu menjawab, “Saya gembira menyaksikan riwayat sedekah dari satu tangan ke tangan berikutnya. Kalung ini tetap kembali kepadamu, wahai putri Rasulullah, namun karena keikhlasan , kalung ini telah membuat kaya orang miskin, telah menjamin surga untukmu, dan kini membebaskan aku menjadi orang yang merdeka”….

Pada suatu ketika, Rasulullah menyeru umatnya untuk bersedekah. Saat itu, adalah masa-masa yang sulit. Ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk menyedekahkan hartanya. Besar kecilnya sedekah tidak terlalu penting yang paling utama adalah keikhlasan.

Para sahabat pun menyedekahkan harta mereka, salah satunya Abdurrahman bin Auf. Ia memiliki uang sebanyak 8.000 dirham. Ia menyedekahkan hartanya sebanyak 4.000 dirham (sekitar 1,5 Milyar Rupiah), sisanya 4.000 dirham yang lain akan digunakan untuk keluarganya. Setelah menerima sedekah itu, Rasulullah berdoa agar Allah memberkahi Abdurrahman bin Auf dan harta yang digunakan keluarganya.

4000 dirham x 85/595 = 571,43 dinar
571,43 dinar x 4,25 gr = 2428,5 gr x Rp 590.000,00 = Rp 1.432.860.725

Selain itu, Asim bin Adly Al-Ajlani juga menyedekahkan sekitar 117 keranjang buah kurmanya.

Setelah itu, Abu Aqil Al-Anshari menemui Rasulullah, ia menyedekahkan semangkok kurma. Lalu ia berkata, “Wahai Rasululllah, aku telah bekerja. Aku mendapatkan upah sebanyak dua gantang kurma. Segantang kurma untuk keluargaku dan segantang kurma lagi aku sedekahkan”. Rasulullah pun menerima sedekah Abu Aqil.

Setelah sedekah terkumpul Rasulullah membagi-bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan, dengan sedekah itu, orang-orang yang kekurangan akan tercukupi kebutuhan pangannya.

Tidak lama kemudian, seorang munafik menemui Rasulullah, ia berkata, “Sesungguhnya Abdurrahman bin Auf dan Asim bersedekah hanya untuk pamer kekayaan mereka. Mereka hanya menginginkan pujian darimu, ya Rasulullah.” Ia juga berkata dengan penuh sindiran, “Seberapa besar nilai segantang kurma, sungguh, Abu Aqil hanyalah ingin menunjukkan dirinya telah bersedekah.

Kemudian, Allah menurunkan ayat 79 Surat At-Taubah :

(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas atas penghinaan mereka itu, dan untuk azab yang pedih.”

Suatu saat ada seseorang sedang berjalan di sebuah padang yang luas tak berair, tiba-tiba dia mendengar suara dari awan (mendung), “Siramilah kebun si fulan!” maka awan itu menepi (menuju ke tempat yang ditunjukkan) lalu mengguyurkan airnya di tanah bebatuan hitam.

Ternyata ada saluran air dari saluran-saluran itu yang telah penuh dengan air. Maka ia menelusuri (mengikuti) air itu. Ternyata ada seorang laki-laki yang berada di kebunnya sedang mengarahkan air dengan cangkulnya. Kemudian dia bertanya, Wahai hamba Allah, siapakah nama anda? Dia menjawab, “Fulan”.

Sebuah nama yang didengar dari awan tadi. Kemudian orang itu balik bertanya, “Mengapa anda menenyakan namaku?” Dia menjawab, “Saya mendengar suara dari awan yang ini adalah airnya, mengatakan ‘Siramilah kebun si fulan!’ yaitu nama anda. Maka apakah yang telah anda kerjakan dalam kebun ini?”.

Dia menjawab, Karena anda telah mengatakan hal ini maka akan saya ceritakan bahwa saya memperhitungkan (membagi) apa yang dihasilkan oleh kebun ini;

Sepertiganya saya sedekahkan; sepertiganya lagi saya makan bersama keluarga dan sepertiganya lagi saya kembalikan lagi ke kebun (ditanam kembali).

(Hadits Riwayat Muslim, dari Abu Hurairah).

SELIMUT TURKI

Seorang lelaki tua, pakaian lusuhnya menampakkan jelas kefaqiran yang ia alami. Ia memasuki sebuah toko megah untuk membeli selimut. Ia membutuhkan 6 buah selimut untuk keluarganya di musim dingin ini. Tapi uang yang ia miliki hanya 100 riyal.

Pemilik toko berkata: “Oh ada pak, saya punya selimut bagus buatan Turki, harganya juga murah, hanya 20 riyal per buah. Kalau bapak beli 5 buah akan mendapat bonus 1 buah.”

Lega…

Terpancar diwajah lelaki tua itu. Segera ia mengulurkan lembaran uang 100 riyal miliknya. Dengan wajah berseri sambil membawa selimut ia berlalu pergi.

Teman si pedagang yang sedari tadi duduk memperhatikan ini berkata: “Engkau ini aneh sekali, bukankah kemarin engkau mengatakan selimut itu jenis selimut termahal di tokomu ini, kalau tidak salah kemarin engkau menawarkan nya padaku seharga 350 riyal per helainya ?”

Pedagang itu menjawab: "Benar sekali, kemarin aku menjual padamu 350 riyal tidak kurang sedikitpun. Kemarin aku berdagang dengan manusia. Hari ini aku berdagang dengan ALLAH. Aku ingin keluarga laki-laki tua tadi dapat terhindar dari dingin di musim dingin yang akan datang sebentar lagi. Aku berharap ALLAH menghindarkanku dan keluargaku dari panasnya api neraka di akhirat nanti.

Demi ALLAH, kalaulah tidak karena menjaga harga diri laki-laki tua tadi, aku tidak ingin menerima darinya uang sedikitpun. Aku tidak ingin ia merasa menerima sedekah sehingga merasa malu di hadapan kita disini."

1 Like

Alkisah ada ahli ibadah bernama Abu bin Hasyim yg kuat sekali tahajudnya. Hampir ber-tahun2 dia tdk pernah absen melakukan sholat tahajud.

Pada suatu ketika saat hendak mengambil wudhu utk tahajud, Abu dikagetkan oleh keberadaan sesosok makhluk yg duduk di bibir sumurnya. Abu bertanya, “Wahai hamba Allah, siapakah Engkau?”

Sambil tersenyum, sosok itu berkata; “Aku Malaikat utusan Allah”.

Abu Bin Hasyim kaget sekaligus bangga krn kedatangan tamu malaikat mulia. Dia lalu bertanya, “Apa yg sedang kamu lakukan di sini?”

Malaikat itu menjawab, “Aku disuruh mencari hamba pencinta Allah.”

Melihat Malaikat itu memegang kitab tebal, Abu lalu bertanya; “Wahai Malaikat, buku apakah yg kau bawa?”

Malaikat menjawab; “Ini adalah kumpulan nama hamba2 pencinta Allah.”

Mendengar jawaban Malaikat, Abu bin Hasyim berharap dlm hati namanya ada di situ. Maka ditanyalah Malaikat itu. “Wahai Malaikat, adakah namaku di situ ?”

Abu berasumsi bahwa namanya ada di buku itu, mengingat amalan ibadahnya yg tdk kenal putusnya. Selalu mengerjakan shalat tahajud setiap malam, berdo’a dan bermunajat pd Allâh SWT di sepertiga malam.

“Baiklah, aku buka,” kata Malaikat sambil membuka kitab besarnya. Dan, ternyata Malaikat itu tdk menemukn nama Abu di dalamnya.

Tdk percaya, Abu bin Hasyim meminta Malaikat mencarinya sekali lagi.

“Betul … namamu tdk ada di dalam buku ini!” kata Malaikat.

Abu bin Hasyim pun gemetar dan jatuh tersungkur di depan Malaikat. Dia menangis se-jadi2nya. “Rugi sekali diriku yg selalu tegak berdiri di setiap malam dlm tahajud dan bermunajat … tetapi namaku tdk masuk dlm golongan para hamba pecinta Allah,” ratapnya.

Melihat itu, Malaikat berkata, “Wahai Abu bin Hasyim! Bukan aku tdk tahu engkau bangun setiap malam ketika yg lain tidur … mengambil air wudhu dan kedinginan pada saat orang lain terlelap dlm buaian malam. Tapi tanganku dilarang Allâh menulis namamu.”

“Apakah gerangan yg menjadi penyebabnya?” tanya Abu bin Hasyim.

“Engkau memang bermunajat kpd Allâh, tapi engkau pamerkan dgn rasa bangga ke- mana2 dan asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Di kanan kirimu ada org sakit atau lapar, tdk engkau tengok dan beri makan. Bgmn mungkin engkau dapat menjadi hamba pecinta Allah kalau engkau sendiri tdk pernah mencintai hamba2 yg diciptakan Allâh ?” kata Malaikat itu.

Abu bin Hasyim seperti disambar petir di siang bolong. Dia tersadar hubungan ibadah manusia tdklah hanya kpd Allâh semata (hablumminAllâh), tetapi juga ke sesama manusia (hablumminannâs) dan alam.

JANGAN BANGGA DENGAN BANYAK SHALAT, PUASA, DAN ZIKIR KARENA ITU SEMUA BELUM MEMBUAT ALLAH SENANG !!!

MAU TAHU APA YANG MEMBUAT ALLAH SENANG?

Nabi Musa : Wahai Allah, aku sudah melaksanakan ibadah. Lalu manakah ibadahku yang membuat Engkau senang?

Allah SWT:

SHALAT? Sholat mu itu untukmu sendiri, karena dengan mengerjakan shalat, engkau terpelihara dari perbuatan keji dan munkar.
DZIKIR? Dzikirmu itu hanya untukmu sendiri, membuat hatimu menjadi tenang.
PUASA? Puasamu itu untukmu sendiri, melatih dirimu untuk memerangi hawa nafsumu sendiri.

Nabi Musa : Lalu apa yang membuat Mu senang Ya Allah?
Allah SWT:

SEDEKAH, INFAQ, ZAKAT serta PERBUATAN BAIK-mu.
Itulah yang membuat AKU senang, karena tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang susah, AKU hadir di sampingnya. —Dan AKU akan mengganti dengan ganjaran 700 kali (Al-Baqarah 261-262)—

Nah, bila kamu sibuk dengan ibadah ritual dan bangga akan itu… maka itu tandanya kamu hanya mencintai dirimu sendiri, bukan Allah.
Tapi, bila kau berbuat baik dan berkorban untuk orang lain… maka itu tandanya kau mencintai Allah dan tentu Allah senang karenanya.
Buatlah Allah senang maka Allah akan limpahkan rahmat-Nya dengan membuat hidupmu lapang dan bahagia

(Dikutip dari Kitab Mukasyafatul Qulub Karya Imam Al Ghazali)