Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlah utang pemerintah sampai akhir Juni 2021 mencapai Rp6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021. Menurut Kemenkeu pada Laporan APBN, secara nominal posisi utang Pemerintah Pusat mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu namun mengalami penurunan pada bulan sebelumnya. Hal ini tak lain disebabkan oleh kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase pemulihan akibat perlambatan ekonomi yang terjadi di masa pandemi Covid-19.
Pembiayaan utang Indonesia pada 2021 digunakan sebagai instrumen untuk mendukung kebijakan countercyclical yang dikelola secara prudent, fleksibel dan terukur, terutama untuk menangani Pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Kemenkeu juga menilai kebutuhan utang tentu akan meningkat akibat pandemi covid-19, melihat hal ini Pemerintah senantiasa melakukan dan menyiapkan strategi untuk memitigasi volatilitas pasar keuangan serta mengelola risiko agar utang tetap terjaga dalam batas aman.
Anis Byarwati selaku Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS yang juga menjabat sebagai wakil ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI menyoroti tentang kasus utang Indonesia, Ia menjelaskan persoalan utama utang Indonesia adalah bagaimana agar negara dapat memacu penerimaan dibanding utangnya. Sementara yang terjadi saat ini, utang tumbuh lebih tinggi, baik dibandingkan terhadap penerimaan negara maupun dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Sehingga Indonesia semakin terjebak dalam utang. Menurut kalian, bagaimana strategi yang dilakukan Pemerintah untuk memicu penerimaan Negara? Lantas, bagaimana jadinya jika Negara gagal membayar utang?