Beragamnya Komunikasi Pemerintah Terkait Pandemi Antara Januari Sampai Pertengahan Juli 2020

Pandemi yang teridentifikasi di Wuhan akhir 2019 lalu telah merebak ke seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Negeri di mana yang kerap dikenal sarangnya warga +62 di jagat maya.

Pandemi yang akrab dikenal dengan nama Corona ini mendapatkan berbagai respon dari berbagai kalangan yang mendiami tanah Indonesia. Respon tersebut tentu beragam, terutama sejak kemunculannya pertama kali yang berusaha dikaitkan dengan perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Hal ini saat itu terdengar masuk akal karena perang dagang tersebut masih hangat diperbincangkan.

Sontak hal itu pada awalnya di Indonesia hanya ditanggapi sekedarnya saja bahkan dijadikan candaan yang berseliweran di linimasa media sosial. Kesantaian itu bukan hanya ditunjukkan oleh publik, namun oleh beberapa orang yang kebetulan sedang dipercaya publik untuk menjalankan amanah rakyat dalam merealisasikan Pancasila, UUD 1945, dan Visi Misi Presiden - Wakil Presiden terpilih saat pemilihan umum 2019.

Kesantaian tersebut berimbas pada cukup kelabakannya penanganan dan pencegahan yang dialami baik oleh pemerintah maupun rakyatnya. Hal ini terutama terjadi di awal-awal penemuan kasus pertama di Indonesia. Walaupun setelah kasus pertama diumumkan dan beberapa minggu kemudian dinyatakan sembuh lalu diberikan seremoni atas kesembuhan yang dicapai. Tetap saja di sekitar kita masih ada yang bandel untuk tidak menerapkan protokol kesehatan walaupun mereka telah mengetahui atau mendengar berbagai istilah yang dikaitkan dengan virus corona.

Istilah-istilah yang digunakan oleh pemerintah untuk mengomunikasikan kepada publik selama kurun 3.5 bulan sebelum pergantian istilah, yakni: Positif Covid-19, Pasien dalam pengawasan (PDP), Orang dalam pemantauan, dan Orang tanpa gejala. Selain itu cukup dikenalnya metode tes cepat ( rapid test ) dan tes SWAB (PCR).

Positif Covid-19 ditujukan tentunya kepada pasien yang telah mengantongi bukti terjangkit virus melalui serangkaian tes yang dilakukan. Mereka yang disebut sebagai PDP merupakan orang-orang yang memiliki gejala yang pada awalnya diidentikkan dengan pasien positif Covid-19, memiliki kontak dekat dengan pasien, dan menunggu hasil tes yang belum diterima. Sedangkan ODP dan OTG terdapat perbedaan yang cukup mudah untuk diingat. Bila yang disebut ODP memiliki gejala sama dengan pasien Covid-19 namun tidak melakukan kontak dengan si pasien, sebaliknya OTG mereka tidak memiliki gejala dan biasanya terlihat sehat-sehat saja, namun memiliki riwayat kontak dengan pasien.

Seringkali yang menjadi fokus adalah banyaknya kasus yang terkonfirmasi positif dan semakin hari semakin meningkat jumlahnya. Rasa yang cukup ketar-ketir bila menontonnya di televisi atau muncul di beranda media sosial. Namun ini bisa dibilang sebagai langkah yang cukup apik karena semakin banyak tes yang dilakukan. Sembari berharap bahwa tes semakin menyeluruh dilakukan di Indonesia dan mengutamakan daerah-daerah dengan tingkat kasus yang tinggi. Asal orang yang akan dites tidak main petak umpet dengan petugas medis, lebih disayangkan bila ternyata tesnya gratis. Tentu hal ini untuk memudahkan pelacakan dan pengendalian kasus. Apalagi di tengah bentuk kenormalan baru seperti ini.

Kenormalan baru yang lebih mudah disebut dengan New Normal baik mengucapkan sesuai standar native speaker maupun seenak pengucapan lidahnya sendiri, dapat dilihat untuk menggerakkan ekonomi domestik. Meskipun di satu sisi ada para pekerja yang tidak lagi bekerja di tempat ia biasa bekerja karena merasakan lemasnya ekonomi buah dari hadirnya pandemi di era ini. Setidaknya dapat melajukan kembali perputaran uang dalam negeri walaupun gelombang kenaikan kasus baru tetap menghantui.

New Normal yang dibuka beberapa pekan lalu itu pun, mengalami perubahan istilah lagi menjadi adaptasi kebiasan baru (AKB). Dari laman resmi covid19.go.id, pemerintah menekankan bahwa dibukanya beberapa tempat yang sebelumnya dibatasi atau ditutup saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) lalu tidak serta merta mengembalikan kepada keadaan aman, normal, dan sama seperti belum hadirnya pandemi di antara kita. Bahkan dikatakan bahwa rasa aman yang akan dialami bila ada di tempat umum merupakan rasa aman palsu.

Perubahan istilah ini penulis duga karena New Normal menyiratkan bahwa semua sudah baik-baik saja, virus corona sudah pergi dari sekitar kita, tidak perlu mengurung diri apalagi memperhatikan jarak aman lagi, karena rindu untuk bertemu tak lagi dapat dibendung.

Tapi Anda salah besar, bila normal baru seperti itu. Maka dari itu kebiasaan yang sebenarnya bukan hal baru seperti sering mencuci tangan itu lebih ditekankan agar menjadi terbiasa, sehingga bila tidak cuci tangan atau memakai hand sanitizer rasanya tidak afdal saja. Belum lagi bila di tingkat lingkungan tempat tinggal diwajibkan memiliki wastafel sederhana di depan rumah. Ah sungguh ini kalau melihat ajaran nenek moyang pun bukanlah hal yang baru, hanya saja terlupakan begitu saja. Kalau dulu ada gentong air yang dihidangkan untuk minum, kini ‘gentong’ yang ditemani sabun sebagai syarat sebelum melangkah ke rumah.

Beberapa hari yang lalu bersamaan dikenalkannya AKB juga muncul istilah pengganti PDP, ODP, dan OTG dan dikenalkannya istilah baru seperti kasus Probable. Penggantian tersebut menjadi kasus suspek, kasus konfirmasi, dan kontak erat. Pada kasus konfirmasi sama dengan positif Covid-19, yakni dibuktikan dengan hasil positif dari tes yang telah dilakukan. Covid-19 yang memiliki gejala mirip dengan ISPA, menyebabkan orang yang memiliki gejala ISPA, sesak napas berat, dan meninggal dengan gejala Covid-19 yang mana hasil tes PCR belum keluar dikategorikan sebagai kasus probable . Selintas kasus probable jika mengacu pada istilah sebelumnya, maka lebih dekat ke kategori PDP, namun tentu tidak sama persis, karena ada kondisi khusus yang digolongkan dalam kategori ini. Untuk kasus suspek, dapat dibilang secara singkat sebagai peleburan istilah PDP dan ODP yakni, mereka yang memiliki gejala ISPA atau Covid-19 yang mana melakukan perjalanan ke luar kota yang utamanya memiliki kasus cukup tinggi selama 2 minggu terakhir, dan/atau menjalin kontak dengan kasus konfirmasi atau probable. M ereka yang memiliki ISPA berat/ pneeumonia berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit juga tergolong dalam kasus probable. Bila belum bisa move on dari istilah lama, istilah kontak erat bisa dibilang seperti OTG, mereka menjalin kontak dengan kasus probable atau yang sudah terkonfirmasi kasusnya (Corona).

Istilah-istilah di atas tentu memerlukan penyesuaian bagi komunikan dalam menjalankan adaptasi kebiasaan baru. Terdengar sedikit ribet, namun tidak mengapa, ada kejelasan siapa yang disematkan dengan jenis-jenis kasus di atas. Agar publik juga tidak risau dan mengatakan dikit-dikit dibilang Corona.

Adanya beberapa istilah baru tersebut juga bukan merupakan sesuatu yang final, karena selama pandemi masih ada dan berkembang, maka dinamika manusia yang sedang berkontak erat dengan pandemi ini akan menyesuaikan alur yang akan kita ciptakan sendiri. Sekedar saran: Bila tidak mau diribetkan dengan kemungkinan banyaknya istilah baru mendatang. Maka mari bergotong royong untuk sehat bersama melawan Corona!

1 Like