Bentuk-Bentuk Maladministrasi


Apakah ada perbuatan lain selain pungli yang bisa disebut dengan maladministrasi? Apa saja kewenangan Ombudsman selain menangani maladministrasi?

Maladministrasi menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (“UU 37/2008”) diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk maladministrasi yang paling umum adalah penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, ketidakjelasan informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidakpastian hukum, dan salah pengelolaan.

Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.

sumber: hukumonline.com

Istilah mal-administration (mal-administrasi) dalam Black Law Dictionary diartikan “poor management or regulation” dan dalam Kamus Ilmiah Populer mengandung arti “administrasi yang buruk”. Konsep mal-administrasi menurut Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiyati ialah terkait dengan perilaku administrasi. Mal-administration berasal dari Bahasa latin yaitu malmalum yang berarti buruk atau jelek sedangkan yang dimaksud administrare adalah pelayanan. Dengan demikian, mal-adminsitrasi singkatan dari pelayanan yang buruk…

Filippo berpendapat bahwa mal-adminsitrasi adalah sebuah tindakan penyalahgunaan wewenang yang sering dilakukan oleh administrator publik dalam menjalankan tugasnya berupa KKN dengan segala bentuknya seperti ketidakjujuran, perilaku yang buruk, konflik kepentingan, melanggar peraturan perundangundangan, perlakuan yang tidak adil terhadap bawahan, pelanggaran terhadap prosedur, tidak menghormati kehendak pembuat peraturan perundangan, inefisiensi atau pemborosan, menutupi kesalahan dan kegagalan mengambil prekarsa. Hal tersebut dibutuhkan etika administrasi publik yang baik sehingga diharapkan dapat menumbuhkan budaya organisasi dan manajemen pemerintahan yang baik pula.

Mal-administrasi menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia adalah “Perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaran pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintah yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan”.

Bentuk-Bentuk Mal-administrasi

Menurut klasifikasi Croosman, bentuk-bentuk tindakan yang dikategorikan sebagai mal-administrasi adalah berprasangka, kelalaian, kurang peduli, keterlambatan, bukan wewenang, tindakan tidak layak, jahat, kejam, dan semena-mena. Sedangkan Nigro dan Nigro mengemukakan terdapat 8 (delapan) bentuk maladministrasi yaitu ketidakjujuran (dishonesty); perilaku yang buruk (unethicalbehaviour); mengabaikan hukum (disregard of the law); favoritisme dalam menafsirkan hukum; perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai; inefisiensi bruto (gross inefficiensy); menutup-nutupi keasalahan’ dan gagal menunjukkan insiatif.

Menurut Gerald Caiden terdapat 13 bentuk maladministrasi yaitu overkill or diseconomy (hasilnya dicapai dengan biaya tinggi yang tidak perlu); counter productivity (hasilnya bertentangan dengan yang diinginkan); inertia (tidak ada yang terjadi sebagai respons terhadap stimulus); ineffectiveness (tanggapan yang muncul hanya mengatur ulang input dan output mencapai sedikit atau tidak sama sekali); tail chasing (semakin banyak yang disediakan, semakin banyak yang dituntut); under and over organization (pita merah, penyuapan, dan korupsi); wastage (kesempamtan pegawai untuk melakukan hal tidak semestinya); big stick syndrome (kontrol dan ancaman yang mengalahkan diri sendiri); negative demonstration (tindakan memicu respons yang tidak tepat); time lags (penundaan); reorganization (perubahan struktural sebagai respons simbolis); suboptimization (unit komponen mengalahkan tujuan keseluruhan, tujuan yang saling bertentangan, dan kurangnya koordinasi); dan terakhir professional fragmentation (masalah penguncian dan biaya sekitar).

Lebih luas lagi Hendra Nurtjahyo dalam bukunya berjudul “Memahami Mal-administrasi” mengklasifikasikan bentuk dan jenis mal-administrasi menjadi 6 (enam) kelompok berdasarkan kedekatan karakteristik sebagai berikut :

  • Bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait dengan ketepatan waktu dalam proses pemberian pelayanan umum, terdiri dari tindakan penundaan berlarut, tidak menangani dan melalaikan kewajiban.
  • Penundaan Berlarut: dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat publik secara berkali-kali menunda atau mengulur-ulur waktu sehingga proses administrasi yang sedang dikerjakan menjadi tidak tepat waktu sebagaimana ditentukan (secara patut) mengakibatkan pelayanan umum yang tidak ada kepastian.
  • Tidak Menangani: seorang pejabat publik sama sekali tidak melakukan tindakan yang semestinya wajib dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
  • Melalaikan Kewajiban: dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat public bertindak kurang hati-hati dan tidak mengindahkan apa yang semestinya menjadi tanggungjawabnya
  • Bentuk-bentuk maladministrasi yang mencerminkan tindakan keberpihakan sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan diskriminasi. Kelompok ini terdiri dari persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, dan nyatanyata berpihak.
  • Persekongkolan: beberapa pejabat publik yang bersekutu dan turut serta melakukan kejahatan, kecurangan, melawan hukum sehingga masyarakat merasa tidak memperoleh pelayanan secara baik.
  • Kolusi dan Nepotisme: dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat publik melakukan tindakan tertentu untuk mengutamakan keluarga/ sanak famili, teman dan kolega sendiri tanpa kriteria objektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan (tidak akuntabel), baik dalam hal pemberian pelayanan umum maupun untuk dapat duduk dijabatan atau posisi dalam lingkungan pemerintahan.
  • Bertindak Tidak Adil: dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat public melakukan tindakan memihak, melebihi atau mengurangi dari yang sewajarnya sehingga masyarakat memperoleh pelayanan umum tidak sebagaimana mestinya.
  • Nyata-nyata Berpihak: dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat public bertindak berat sebelah dan lebih mementingkan salah satu pihak tanpa memperhatikan ketentuan berlaku sehingga keputusan yang diambil merugikan pihak lainnya.
  • Bentuk-bentuk maladministrasi yang lebih mencerminkan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundangan. Kelompok ini terdiri dari pemalsuan, pelanggaran undang-undang, dan perbuatan melawan hukum.
  • Pemalsuan: perbuatan meniru sesuatu secara tidak sah atau melawan hukum untuk kepentingan menguntungkan diri sendiri, orang lain dan/ atau kelompok sehingga menyebabkan masyarakat tidak memperoleh pelayanan umum secara baik.
  • Pelanggaran Undang-Undang: dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik secara sengaja melakukan tindakan menyalahi atau tidak mematuhi ketentuan perundangan yang berlaku sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.
  • Perbuatan Melawan Hukum: dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan perbuatan bertentangan dengan ketentuan berlaku dan kepatutan sehingga merugikan masyarakat yang semestinya memperoleh pelayanan umum.
  • Bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait dengan kewenangan/ kompetensi atau ketentuan yang berdampak pada kualitas pelayanan umum pejabat publik kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan diluar kompetensi, pejabat yang tidak kompeten menjalankan tugas, intervensi yang mempengaruhi proses pemberian pelayanan umum, dan tindakan yang menyimpangi prosudur tetap, meliputi:
  • Diluar Kompetensi: dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat public memutuskan sesuatu yang bukan menjadi wewenangnya sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.
  • Tidak Kompeten: dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik tidak mampu atau tidak cakap dalam memutuskan sesuatu sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi tidak memadai (tidak cukup baik).
  • Intervensi: seorang pejabat publik melakukan campur tangan terhadap kegiatan yang bukan menjadi tugas dan kewenangannya sehingga mempengaruhi proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat.
  • Penyimpangan Prosedur: dalam proses pemberikan pelayanan umum, seorang pejabat publik tidak mematuhi tahapan kegiatan yang telah ditentukan dan secara patut sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan umum secara baik.
  • Bentuk-bentuk maladministrasi yang mencerminkan sikap arogansi seorang pejabat publik dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, dan tindakan yang tidak layak.
  • Bertindak Sewenang-wenang: seorang pejabat publik menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, menjadikan pelayanan umum tidak dapat diterima secara baik oleh masyarakat.
  • Penyalahgunaan Wewenang: seorang pejabat publik menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) untuk keperluan yang tidak sepatutnya sehingga menjadikan pelayanan umum yang diberikan tidak
    sebagaimana mestinya.
  • Bertindak Tidak Layak/ Tidak Patut: dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan sesuatu yang tidak wajar, tidak patut, dan tidak pantas sehingga masyarakat tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya.
  • Bentuk-bentuk maladministrasi yangmencerminkan sebagai bentuk korupsi secara aktif. Kelompok ini terdiri dari tindakan pemerasan atau
    tindakan permintaan imbalan uang (korupsi), tindakan penguasaan barang orang lain tanpa hak, dan penggelapan barang bukti.
  • Permintaan Imbalan Uang/Korupsi: a. Dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat publik meminta imbalan uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dia lakukan (secara cuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya;
  • Seorang pejabat publik menggelapkan uangnegara, perusahaan (negara), dan sebagainyauntuk kepentingan pribadi atau orang lain sehingga menyebabkan pelayanan umum tidak dapat diberikan kepada masyarakat secara baik.
  • Penguasaan Tanpa Hak: seorang pejabat public memenguasai sesuatu yang bukan milik atau kepunyaannya secara melawan hak, padahal semestinya sesuatu tersebut menjadi bagian dari kewajiban pelayanan umum yang harus diberikan kepada masyarakat.
  • Penggelapan Barang Bukti: seorang pejabat publik terkait dengan proses penegakan hukum telah menggunakan barang, uang dan sebagainya secara tidak sah, yang merupakan alat bukti suatu perkara. Akibatnya, ketika fihak yang berperkara meminta barang bukti tersebut (misalkan setelah tuduhan tidak terbukti) pejabat publik terkait tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Referensi:

Nurtjahyo, Hendra . 2013 . Memahami Maladminsitrasi . Ombudsman Republik Indonesia

Holilah. 2013. Etika Adminsitrasi Publik. Jurnal Review Politik Vol 03, No 02.

Wheare, K.C. 1973. Maladministrations and Its Remedies . London: A Steven and Son Publication

Bowden. E. 1976. Mal-adminsitration: A Thematic Analysis of Nigerian Case Studies in the
Ccontext of Administrative Initiative. Human Organization 35 (4):392-399.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesi