Benarkah sifat kritis menjadi tantang dalam ber etika di Indonesia?

A Critic

Menumbuhkan Sifat kritis saat ini mulai muncul kembali dipermukaan publik musabab banyak diangkat oleh beberapa tokoh baik oleh akademisi maupun public figure di Indonesia saat ini. Beberapa tokoh antara lain dari akademisi seperti Rocky Gerung dan Public Figure seperti Deddy Corbudzier. Namun hal ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi kita para kawula muda ketika hendak mengkritisi sesuatu atau secara spesifik lagi yaitu contoh seperti seseorang yang lebih tua, terutama di Indonesia membutuhkan kode etik yang sangat kompleks, sehingga kita sendiri agak dilema ketika hendak melontarkan sebuah kritik

Di kampus luar negeri, perdebatan antara dosen dan mahasiswa sudah menjadi kebiasaan dalam kegiatan belajar mengajar. Namun lain hal jika di Indonesia, beberapa dosen akan mengancam nilai jika ada mahasiswa yang mengkritisi caranya mengajar atau materi yang disampaikan, atau sentimental bahkan akan didapatkan dari teman mahasiswanya sendiri yang akan menjadikan dirinya bahan omongan di luar kelas?

Melihat fenomena ini, bagaimana menurut anda hal semestinya? Apakah kode etik perlu diutamakan ketimbang buah pikiran baru yang melawan arus? Ataukah sebaliknya?

Refrensi :

Ya, sifat kritis bisa menjadi tantangan dalam praktik etika di Indonesia. Meskipun kritisitas penting untuk pengembangan masyarakat yang beretika, namun di beberapa situasi, terutama dalam konteks budaya dan sosial Indonesia, keberanian untuk bersikap kritis seringkali dihadapkan pada beberapa hambatan.

Pertama-tama, budaya hierarki yang kuat di Indonesia dapat membuat orang enggan untuk menantang atau mengkritik orang yang dianggap memiliki status atau kedudukan lebih tinggi. Adanya tradisi untuk menghormati otoritas dapat menghambat ekspresi kritis, terutama jika itu berarti menantang kebijakan atau tindakan yang diambil oleh pihak yang berwenang.

Selain itu, kecenderungan untuk menghindari konflik dan memelihara hubungan interpersonal yang harmonis dapat menjadi penghambat bagi individu untuk bersikap kritis. Orang mungkin khawatir bahwa menyuarakan kritik akan menyebabkan konflik atau ketidaknyamanan, sehingga lebih memilih untuk memilih sikap yang lebih pasif dan mempertahankan ketertiban sosial.

Aspek sosial dan kekeluargaan juga memainkan peran dalam menahan sifat kritis. Budaya gotong royong yang erat di Indonesia dapat membuat individu ragu-ragu untuk mengkritik keputusan atau tindakan yang mungkin merugikan masyarakat secara keseluruhan. Rasa tanggung jawab kolektif seringkali lebih dominan daripada kepentingan individu.

Selanjutnya, media sosial juga dapat memainkan peran dalam mengekang sifat kritis. Meskipun platform ini memberikan wadah untuk menyuarakan pendapat, tetapi tekanan sosial dan kemungkinan konsekuensi negatif seperti pelecehan online atau pembatasan karir dapat membuat individu lebih berhati-hati dalam menyampaikan kritik.

Dalam konteks politik, terkadang adanya ketidakpastian hukum dan potensi represi dari pihak berwenang dapat menjadi hambatan bagi seseorang yang ingin bersikap kritis. Kondisi ini bisa membuat individu enggan menyuarakan pendapat mereka karena takut akan konsekuensi yang mungkin timbul.

Meskipun ada tantangan dalam mempertahankan sifat kritis di Indonesia, penting untuk diingat bahwa budaya dan masyarakat selalu berubah. Edukasi yang mendorong pemahaman dan apresiasi terhadap keberagaman pandangan, serta membangun kesadaran akan pentingnya kritisitas dalam pengembangan etika, dapat membantu meredakan hambatan-hambatan ini.

Dalam menghadapi tantangan ini, penting untuk mempromosikan dialog terbuka dan inklusif, di mana ide-ide dan pandangan yang kritis dapat didiskusikan tanpa takut atau diskriminasi. Penguatan pendidikan etika yang melibatkan aspek-aspek kritisitas juga dapat membantu menciptakan lingkungan di mana sifat kritis dihargai dan didorong untuk mendukung perkembangan masyarakat yang lebih etis.