Benarkah Menjadi Bapak Rumah Tangga Itu Buruk?

Kita semua pasti sudah sangat paham bahwa seorang suami itu umumnya bertugas mencari nafkah untuk istri sekaligus anak-anaknya. Seorang istri sebenarnya tidak wajib bekerja sehingga dapat hanya menjadi ibu rumah tangga dengan mengerjakan berbagai tugas rumah sekaligus merawat anak. Namun dengan perkembangan zaman dan peningkatan pendidikan yang diterima oleh kaum wanita serta isu kesetaraan gender, saat ini sudah banyak juga istri yang bekerja bahkan dapat menduduki jabatan yang penting dalam pekerjaan yang dijalaninya.

Bicara soal kesetaraan gender, pengertiannya adalah bahwa setiap orang berhak untuk diperlakukan secara setara dan tidak dibedakan berdasarkan gender atau jenis kelaminnya. Nah dari kesetaraan gender tersebut, jika ada sebutan ibu rumah tangga, seharusnya ada juga “bapak rumah tangga” atau seorang suami yang tidak bekerja melainkan mengurus tugas rumah sekaligus merawat anak sedangkan istrinya yang bekerja. Aku sendiri juga memiliki teman yang ayahnya menjadi bapak rumah tangga entah untuk sementara atau memang permanen. Namun, sepertinya peran seperti ini masih dianggap tabu oleh mayoritas masyarakat karena dinilai menyalahi kodrat seorang suami yang harusnya menafkahi keluarganya.

Nah, lalu bagaimana pendapat Youdics tentang “bapak rumah tangga” ini? Jika itu memang buruk, lalu kesetaraan gender yang seperti apa yang dimaksud orang-orang? Apakah ini dapat dikatakan sebagai suatu “double standard” dalam aturan kesetaraan gender? Yuk bagikan pendapat kalian!

Sumber Gambar

https://magdalene.co/story/setara-di-kasur-mulai-dari-sumur-dan-dapur

1 Like

Umumnya, pasangan suami istri di Asia masih menggunakan pemahaman konvensional dimana suami sebagai penanggung jawab utama dalam mewujudkan kesejahteraan keluarganya.
Mengacu pada asumsi bahwa suami masih menjadi harapan utama untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga, maka responden meyakini bahwa istri akan malu apabila memiliki suami sebagai bapak rumah tangga saat tampil pada acara – acara umum. Selain itu suami juga akan merasa kehilangan harga diri karena merasa tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai pemberi nafkah utama. Hal ini dikarenakan masih kuatnya budaya patriarki yang ada pada masyarakat yang menempatkan pria dan suami sebagai tulang punggung kehidupan keluarga.

Namun, menurut saya pribadi sah-sah saja menjadi bapak rumah tangga jika hal tersebut sudah disetujui dengan pasangan. Dan jika sang bapak rumah tangga dapat benar-benar mengerjakan tugasnya di rumah, tidak hanya tinggal berdiam di rumah. Mengingat kepribadian suami-istri dapat berbeda, dalam artian istri terkadanh dapat terlalu workaholic, sedangkan suami terkadang lebih lihai merawat anak. Aku rasa jika pasangan sama-sama sepakat, hal itu tidak akan buruk.

Referensi :

Suharmanto, T., Muhaimin, M., & Santoso, I. H. Bapak Rumah Tangga: Sebuah Alternatif Profesi?. JURNAL BISNIS STRATEGI , 29 (1), 37-44.

Julukan “Ayah Rumah Tangga” tampaknya masih terbilang asing di Indonesia dan sebagian besar negara Asia. Budaya patriarki masih sangat kental di negara-negara Asia. Tak heran, laki-laki yang mendapat julukan tersebut biasanya dianggap aneh bagi masyarakat.

Selama ini, tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mulai dari mengurus anak sampai dengan memasak identik sebagai tugas dari seorang ibu. Sedangkan ayah, seharusnya bertanggung jawab untuk banting tulang keluar rumah. Tradisi yang kuat melekat dalam masyarakat kita ini kian dipertegas dalam ketentuan di buku nikah yang dikeluarkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Tertulis jelas di sana, salah satu kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

Dr. Rose Mini AP, Mpsi menyebutkan bahwa peran ayah dan ibu sebenarnya diciptakan oleh lingkungan masyarakat. Inilah yang menyebabkan mengapa negara-negara timur dan barat memiliki pandangan yang berbeda mengenai ayah yang menjadi bapak rumah tangga. Negara timur masih menganggap sebelah mata seorang ayah yang mengurus rumah tangga. Sedangkan di negara barat, profesi bapak rumah tangga sudah menjadi hal yang biasa dan wajar.

Menjadi bapak rumah tangga merupakan pilihan yang wajar bagi seorang pria. Beberapa faktor yang membuat seorang pria mengambil keputusan untuk menjadi bapak rumah tangga. Banyak tantangan yang akan dihadapi oleh pria saat menjalaninya. Banyak pendapat miring yang akan muncul, baik dari keluarga dekat (mertua) maupun orang-orang di sekitar, saat suami melakukan pekerjaan rumah tangga. Belum lagi ditambah stereotip bahwa ayah tidak bisa merawat anak sebaik ibu yang harus diterima jika sesuatu terjadi pada anak. Berikut adalah stereotip bapak rumah tangga yang sering yang masih dipandang sebelah mata oleh orang-orang, maka dari itu jika ingin menjadi bapak rumah tangga harus siap dengan beberapa pandangan miring berikut ini :

1. Pria yang tidak maskulin

Kesalahpahaman yang sering muncul saat pria ada di rumah dan merawat anak-anak adalah kehilangan sosok maskulin. Stereotip ini yang kadang membuat pria enggan menjadi bapak rumah tangga. Untuk mengatasinya, Anda hanya bisa meyakinkan orang-orang tersebut bahwa Anda sangat peduli dengan pertumbuhan anak.

2. Dianggap pengangguran

Berkat kemajuan teknologi, ada banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah dengan pilihan waktu yang fleksibel. Keuntungan ini yang membuat pria berpeluang besar menjadi bapak rumah tangga. Sayangnya, pilihan ini yang membuat pria tersebut seolah-olah menjadi pengangguran.

3. Pemalas

Anggapan yang juga akan muncul dari banyak orang saat pria berada di rumah adalah pemalas. Kadang, pandangan ini tetap bertahan meskipun Anda sudah melakukan banyak hal, seperti membersihkan rumah dan memasak. Banyak orang mengira, pria di rumah itu hanya akan menonton televisi atau bermain game saja seharian.

4. Pria tidak bisa mengasuh anak

Pria masih dianggap lebih ceroboh dibandingkan dengan perempuan dalam mengasuh anak. Banyak orang menganggap jika anak-anak berada dalam keadaan “bahaya” saat sedang dipegang oleh ayahnya. Hal ini yang membuat banyak orang tua lebih nyaman melihat seorang anak diasuh oleh ibu ketimbang ayah.

5. Memaksa istri bekerja

Pandangan istri bekerja dan suami di rumah masih dianggap oleh sebagian orang sebagai tindakan yang dilarang. Hal ini kadang tidak bisa dipatahkan dengan alasan pekerjaan istri yang lebih baik dengan bayaran tinggi. Saat istri yang bekerja, masyarakat akan menganggap itu sebuah pemaksaan.

Sependapat dengan teman-teman yang lain, fenomena house husband sepertinya memang sesuatu yang masih baru dalam masyarakat Asia. Banyak dari mereka yang masih berpegang pada prinsip bahwa laki-lakilah yang harus menjadi pencari nafkah, bukannya mengurus rumah tangga. Para house husband seringkali mendapatkan cibiran dan stigma negatif seperti yang telah disebutkan juga diatas, seperti tidak jantan, malas, pengangguran dan pria gagal.

Namun menurut saya, justru mereka ini adalah pria yang pemberani. Mereka berani mendobrak stereotip yang ada di masyarakat dan menjadi dirinya sendiri sesuai dengan pilihannya. Peduli apa dengan kata orang, jika itu merupakan pilihan yang paling realistis, kenapa tidak?