Benarkah keringanan hukuman untuk koruptor perempuan merupakan bagian dari perlindungan perempuan?

images

Kalau belum dengar beritanya, coba aku rangkumkan sedikit. Jadi pada 15 Juni 2021, hakim memutuskan memotong hukuman seorang terpidana yang terlibat dalam kasus korupsi, pencucian uang dan pemufakatan jahat. Terpidana yang merupakan seorang perempuan tersebut mendapat potongan hukuman 6 tahun, dari yang tadinya hukuman penjara 10 tahun menjadi tinggal 4 tahun. Menurut hakim, ia layak diberi keringanan karena ia seorang ibu dan juga seorang perempuan yang seharusnya diperhatikan. Entahlah, barangkali hakimnya memang humanis. Tapi aku jadi bertanya-tanya apakah keringanan hukuman bagi terpidana perempuan memang merupakan bagian dari perlindungan terhadap perempuan?

5 Likes

Menurut saya, hukum seharusnya tidak memandang gender. Ketika seseorang melakukan suatu kejahatan, maka hukuman akan berlaku sama entah dia laki-laki atau perempuan Namun, saya sepakat bahwa treatment yang diberlakukan kepada tahanan laki-laki dan perempuan seharusnya berbeda. Bukan berarti hukumannya menjadi berbeda. Adapun jika tahanan perempuan tersebut merupakan seorang ibu dan memiliki seorang anak, sebaiknya pemerintah menyerahkan hak asuh anaknya (selama ibunya masih dihukum) kepada keluarganya. Namun ketika mereka tidak ada sanak keluarga, maka tanggung jawab anak tersebut diserahkan kepada pemerintah, yang mana pemerintah harus tetap merawat dan membesarkan anak tersebut selama ibunya masih dalam masa hukuman.

1 Like

Menurut saya hal tersebut tidak seharusnya dilakukan, perempuan maupun laki-laki yang melakukan tindak kejahatan termasuk korupsi harus dihukum sesuai aturan hukum yang berlaku.

Hukuman pada umumnyakan hanya tinggal di lembaga pemasyarakatan dan itu seharusnya tidak menjadi sesuatu yang memberatkan sekalipun untuk perempuan. Lain halnya jika hukuman yang diberikan berupa kerja paksa ala zaman penjajahan, tentu saja perempuan harus mendapat keringan hukuman karena kekuatan fisiknya yang tak sebebrapa.

Adapun anak terdakwa adalah tanggung jawab yang seharusnya dipikirkan jauh sebelum ia melakukan tindak pidana. Menurut saya anak tersebut bisa menjadi tanggungjawab keluarga terdakwa selama ia menjalani hukuman.

1 Like

Menurut saya keringanan hukuman untuk koruptor perempuan bukanlah hal yang wajar, karena seharusnya hukum tidak memandang gender. Sejujurnya saya masih kurang ilmu seputar hukum, namun ini tadi saya sudah sedikit tercerahkan setelah membaca-baca informasi seputar hukum terutamanya korupsi. Ada beberapa informasi yang cukup menarik menurut saya :

Pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mana pemberatannya sampai pada pidana mati.

Saya rasa hukuman ini lebih pantas daripada hanya di penjara saja. Karena KORUPSI itu bukan kesalahan kecil, ia akan berdampak dan merugikan elemen yang bersangkut paut didalamnya. Orang yang memutuskan untuk korupsi pasti dalam keadaan sadar dan paham bahwa ini bukan hak miliknya, berarti kan bisa dilihat bahwa ia harus benar-benar dihukum setimpal. Orang yang korupsi pasti melakukan hal keji tersebut dengan sengaja.

Terkadang saya heran kenapa masih ada orang yang korupsi ? Padahal jika dilihat mereka sudah bersumpah di publik bahkan dibawah Al-Quran tapi mengapa masih berani korupsi ? Jika alasan kalau dirasa hidupnya kekurangan sehingga ia melakukan korupsi saya rasa TIDAK WAJAR.

Masih banyak loh diluar sana masyarakat yang hidupnya keterbatasan tapi mereka tetap bisa memenuhi kebutuhan hidupnya minimal untuk makan. Saya rasa harus ada hukum yang benar-benar membuat koruptor ini jera, jangan anggap korupsi sebagai kesalahan kecil.

Kemudian perihal keringanan hukuman untuk koruptor perempuan dari saya pribadi kurang pas dan tidak setuju. Karena seperti yang sudah saya sampaikan diatas bahwa saya rasa hukum tidak memandang gender. Jika salah dan itu merugikan orang lain terutama kalangan bawah seharusnya bisa diusut sesuai dengan kesalahannya.

Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 menyatakan, ’ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar .’

Jika melihat dari hukuman pasal tersebut ada dua hukuman yaitu penjara dan denda saja. Saya rasa sih untuk denda nominalnya lebih dari nilai yang dikorupsi. Bagaimana menurut teman-teman lainnya?

1 Like

Bukankah sekarang banyak wanita yang merasa emansipasi wanita itu harus dianggap? Bagaimana dengan feminisme wanita? Saya rasa, ketika pengakuan-pengakuan ini digerakkan oleh wanita, harusnya apa pun kebaikan maupun keburukan sudah tidak memandang “perlindungan wanita”. Bukankah mereka inginnya sama dengan pria. Apakah perlu untuk menggaungkan “perlindungan pria”? Tampaknya banyak yang tidak akan menggubris pertanyaan tersebut.

Tidak ada pandangan yang perlu dinegosiasikan jika itu dihubungkan dengan jenis kelamin. Sangat lucu sekali jika keburukan itu harus meninjau jenis kelamin sedangkan keburukan itu bisa hinggap di jiwa siapa pun. Apakah wanita itu semuanya baik? Apakah wanita itu pemilik kebaikan itu? Aneh sekali jika hukum seperti kasus di atas itu masih mempertimbangkan jenis kelamin. Tidak filosofis dan tidak bijaksana.

Itu bukanlah keringanan untuk perlindungan terhadap perempuan. Perlindungan adalah apabila memang ada ketidakbenaran yang salah sasaran. Kalau memang wanita itu tidak melakukan keburukan sedangkan ia mendapat suatu keburukan dari subjek lain, maka itu perlu mendapatkan perlindungan. Jika memang salah, tidak ada kaidah perlindungan kalau hukum memang sudah berkata. Sekali lagi, patutnya kita bijak membaca keadaan.

Dalam hukum pidana, terdapat 3 alasan seorang terpidana dapat dikurangi hukumannya, yaitu:

  1. Belum cukup umur;
  2. Dalam hal percobaan; dan
  3. Dalam hal pembantuan tindak pidana.

Artinya, tidak ada satu pun aturan yang menyebutkan bahwa hukuman dapat diringankan bagi perempuan sebagai wujud dari “perlindungan”.

Namun, hakim bukanlah corong undang-undang. Dengan kata lain, hakim dalam membuat putusan tidak hanya sebatas pada apa yang telah dibakukan secara formal semata. Hakim memiliki kebebasan untuk memutus perkara berdasarkan fakta-fakta konkret yang terjadi di pengadilan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya yang bersifat adil dan bijaksana, tanpa memandang siapa yang akan diberi putusan, atau gender apa pun ia.

Jadi, kalau dikatakan peringanan putusan dengan landasan bahwa terdakwanya adalah perempuan, saya pikir itu tidak tepat.