Benarkah bersalaman dengan ( wanita ) bukan muhrim adalah haram?

Berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ‘Urwah bin Az Zubair berkata bahwa ‘Aisyah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata,

“Jika wanita mukminah berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka diuji dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia (bai’at), bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….” (QS. Al Mumtahanah: 12). ‘Aisyah pun berkata, “Siapa saja wanita mukminah yang mengikrarkan hal ini, maka ia berarti telah diuji. ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata ketika para wanita mukminah mengikrarkan yang demikian, “Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian”. Namun -demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun. Beliau hanya membaiat para wanita dengan ucapan beliau. ‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka. Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim ).

Hadits yang lain dari Ma’qil bin Yasar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ditusuknya kepala seseorang dengan jarum dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni).


“Berjabat tangan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu hukumnya haram”, itulah ucapan yang sering kita dengar di kalangan ummat Islam dan juga di kalangan aktifis dakwah.

Hukum bersalaman antara laki-laki dengan perempuan memang sudah menjadi pembahasan para ulama sejak dulu. Umumnya para ulama terdahulu (salaf al-shalih) memang banyak yang berpendapat bahwa berjabat tangan dengan lawan jenis yang buka mahram itu haram.

Akan tetapi di era modern dan kontemporer seperti sekarang ini sebuah kajian kritis dan dialogis dari sisi syariah kembali di perbincangkan dan dimusyawarahkan untuk menemukan fiqh muqaranah (perbandingan) untuk meneliti sejauh mana dalil pengharamannya.

Sebelumnya para ulama sudah menetapkan bahwa pada dasarnya bersalaman dengan lawan jenis hukumnya adalah mubah (boleh), hal ini didasarkan kepada kaidah fiqih yg berbunyi:

hukum asal sesuatu (mu’amalah) itu mubah, sampai ada dalil yang menyelisihi/ melarangnya.

Bagaimana hukumnya jika bersalaman dengan orang yang sudah dan masa baligh (masih terkena beban syari’at)?

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut, namun umumnya para ulama sekarang yang mengharamkan bersalaman dengan wanita berdalil kepada hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Maqil bin Yasar yang menyatakan lebih baik ditusuk dengan paku dari pada menyentuh wanita.

Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”(HR. Thabrani dan Baihaqi)

Namun, para imam-imam ahli hadits (muhadits) menyatakan hadits ini dha’if (lemah), kecuali orang-orang seperti al-Mundziri, al-Haitsami, dan al-Bani yang hanya menyatakan, "Perawi-perawinya adalah shahih”.

Tentu pendapat seperti itu saja tidak cukup untuk menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha’) atau terdapat 'illat (cacat) yang samar. (lihat yusuf Qardhawi dalam kitab Fatawa Mu’ashirah jilid.II).

Karena itu, tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebaliknya. Bahkan seandainya pun kita menerima hadits tersebut shahih, maka itupun juga tidak dapat dijadikan sebagai landasan atas pengharaman bersalaman dengan lawan jenis, karena kalimat “menyentuh wanita yang tidak halal” tidak dimaksudkan bersentuhan kulit seperti apa yang dipahami oleh ulama dan pendakwah sekarang ini.

Kata al-mass – yamassa: menyentuh, sering digunakan dalam nash-nash Al-qur’an maupun hadits sebagai menyentuh dalam makna kiasan dari hubungan biologis (jima’) dan bukan menyentuh dalam arti sesungguhnya.

Seperti firman Allah dalam Surat Al-Ma’idah ayat 6 yaitu “Au Laamastum an-Nisat” (atau kamu menyentuh wanita), Ibnu Abbas menafsirkan, "Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur’an yang diartikan sebagai menyentuh dipakai sebagai kiasan untuk jima’ (hubungan seksual).

Lebih jelas lagi firman Allah yang diucapkan Maryam dalam Surat Ali-Imran: 47

“Bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun …”,

Dan juga firman Allah dalam Surat Al-Baqarah: 237

“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka…".

Jadi maksud kata-kata al-mass atau al-lams digunakan bukan bermakna semata-mata bersentuhan biasa, tetapi yang dimaksud ialah BI (hubungan biologis/seksual).

Lebih lanjut dari itu, dalam mengharamkan bersalaman dengan non-mahram para ulama terdahulu menggunakan hadits yg diriwayatkan Ummul Mukminin Aisyah r.a. bahwa nabi SAW tidak menjabat tangan wanita ketika hendak melakukan bai’at.

Hadits selengkapnya:

‘Urwah bin Az Zubair berkata bahwa ‘Aisyah –istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Jika wanita mukminah berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka diuji dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….” (QS. Al Mumtahanah: 12).

‘Aisyah pun berkata,

“Siapa saja wanita mukminah yang mengikrarkan hal ini, maka ia berarti telah diuji.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata ketika para wanita mukminah mengikrarkan yang demikian, “Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian”.Namun -demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun. Beliau hanya membaiat para wanita dengan ucapan beliau. ‘

Aisyah berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka. Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim no. 1866).

Al-hafizh ibnu hajar berkata dalam Fathul Bari berkata bahwa ucapan Aisyah r.a “Namun demi Allah” sebagai bentuk sumpah untuk menguatkan berita, dan juga seakan-akan hendak menyangkal berita yang sebelumnya disampaikan oleh Ummu Athiyah Al-Anshariyah r.a dalam hadits Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih sebagai berikut:

Dari Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah bai’at, Ummu Athiyah r.a berkata: “Bahwa Rasulullah saw mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, ‘Ya Allah, saksikanlah (bai’at) ini.”( H.R Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih).

Dari kedua hadits diatas memang tampak perbedaan sikap yang dilakukan oleh Rasulullah. Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah menujukkan bahwa Rasulullah saw tidak pernah bersentuhan kulit dengan wanita, sementara hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyah menunjukkan bahwa Rasulullah pernah menjabat tangan wanita selama bai’at.

Lebih lanjut lagi hadits yang diriwayatkan dari asy-Sya’bi bahwa Nabi Salallahu ‘alaihi wa sallam ketika membai’at wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya diatas tangan beliau seraya berkata “aku tidak berjabat dengan wanita”(H.R Abu Dawud dalam al-Marasil).

Sebagai jalan tengah, Ibnu Hajar berkata: bahwa boleh jadi berulang-ulang, yaitu peristiwa bai’at itu terjadi lebih dari satu kali di waktu yang berbeda, dimana pada satu waktu beliau melakukan bai’at dengan tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan lapis kain maupun tidak, beliau membai’atnya dengan ucapan saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Aisyah.

Pada kesempatan lain Rasulullah melakukan bai’at dengan menjabat tangan menggunakan lapis kain, dan inilah yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi.

Dan di waktu yang lain Rasulullah juga melakukan bai’at dalam bentuk yang ditunjukkan seperti Ummu Athyiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.

Oleh sebab itu sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharaman hukum bersalaman atau bersentuhan dengan lawan jenis dan tidak bisa pula disepakati, karna ada Hadits yang menujukkan bahwa Rasulullah pernah berjabat tangan dengan wanita Non-Mahram seperti wanita dari kalangan Anshar termasuk pula Ummu Athiyah si perawi Hadits tersebut.

Lagipula ada satu Muqarar (ketetapan) yang menyatakan bahwa apabila Nabi saw meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan secara pasti akan keharamannya.

Adakalanya beliau meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya makruh karena hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti halnya beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah, atau seperti halnya beliau tidak suka musik tetapi membiarkan orang lain bernyanyi.

Memang banyak kita jumpai riwayat yang sahih dari Rasulullah saw yang menunjukkan bahwa bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Seperti beberapa hadits berikut ini.

Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata: “Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya pada “Kitab al-Adab”).

Dalam riwayat lainnya juga ada hadits senada:

Dari Anas bin Malik ia berkata: “Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya pergi ke mana ia suka.” (HR. Ahmad).

Kedua hadits diatas menunjukkan bahwa memegang tangan ataupun menyentuh wanita maupun laki-laki yang bukan mahramnya diperbolehkan dan tidaklah dilarang selama tidak disertai Syahwat, seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

Bahkan yang jauh lebih mengena lagi ialah hadits yang diriwayatkan dalam shahihah dan kitab sunan.

Dari Anas “bahwa Nabi saw. masuk ke rumah Ummu Haram binti Milhan dan beliau diberi makan. Ummu Haram adalah istri Ubadah bin Shamit, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau (dari kutu) lalu Rasulullah SAW tertidur …” (HR Bukhari dalam Kitabul jihad Was-Sair bab Ad-du’au biljihadi Wasysyahadatu lirrijali wannisa’ no. 2580 dan Kitabul Isithsan no. 5810).

Meskipun Hadits ini Shahih, namun hadits ini mendapat komentar dari Ibnu Abdil Barr yang membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai hubungan mahram dengan Rasulullah dari jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najja.

Akan tetapi, Al-Hafizh ad-Dimyati menyanggah pendapat Ibnu Abdil Barr yang beranggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau (ad-Dimyati) berkata: “Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi saw. terhadap Sa’ad bin Abi Waqash, “Ini pamanku” karena Sa’ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa’ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan.”

Dari sanggahan tersebut jelaslah bahwa Ummu Haram tidak memiliki hubungan Mahram dengan Rasulullah, baik secara nasab maupun susuan. Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, "Hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya. Maka bersentuhan/ bersalaman dengan lawan jenis juga diperbolehkan selama aman dari fitnah.

Dikutip dari tulisan Randi MU, dimana sebagian besar isi artikel dikutip dari pernyataan Ulama Kontemporer Dr Syeikh Yusuf Qardhawi…

BERJABAT TANGAN DENGAN LAWAN JENIS

Nurul Huda
Peneliti Pusat Studi Qur’an dan Hadis (PSQH),Yogyakarta, Indonesia


Hadis-hadis Tentang Bersalaman

Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari Rasulullah Saw, niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi Saw itu adalah tasyri’ dan untuk diteladani:

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah Saw…, itu suri teladan yang baik bagimu…”(al-Ahzab: 21).

Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya pada “Kitab al-Adab” dari Anas bin Malik r.a., ia berkata :

“Sesunggguhnya seorang budak wanita di antara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah Saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka”.

Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata :

َ> “Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah Saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya pergi ke mana ia suka.”

Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.

Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan dalam Fath al-Ba>ri: “yang dimaksud dengan memegang tangan di sini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan. Hal ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu’, karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-ima>’ (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu sya>’at (ke mana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja.

Dan ungkapan dengan “mengambil/memegang tangannya” itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya. Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu’nya Rasulullah Saw. dan betapa bersihnya beliau dari sikap sombong.

Apa yang dikemukakan oleh Ibn Hajar itu secara garis besar dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang tangan dari makna lahiriyah kepada kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima, karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir.

Sedangkan dalam hal ini tidak dijumpai faktor yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan “maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau pergi ke mana saja ia suka” menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini.

Sebelum memasuki pembahasan tentang hal ini, ada dua buah gambaran dari lapangan yang dipercaya oleh Yusuf Qardhawi bahwa hukum kedua gambaran itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha terdahulu, yaitu:

  • Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan talazzuz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih- lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan tersedia sarananya.
    Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya yang pada asalnya mubah itu bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah, khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.

  • Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
    Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.

Hal ini sudah ditunjuki oleh Alquran dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, di mana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada orang lain:

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak- anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.

“…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali pada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (An-Nur: 31).5

Dasar Ulama yang mengharamkan

Sebagian Ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma’qil bin Yassar dari Nabi Saw…, beliau bersabda:

“Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi itu
lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya”

####Kritik Sanad

Untuk melihat kesahihan sebuah hadis, kaidah ilmu hadis menyatakan bahwa yang pertama kali perlu diteliti adalah sanad-nya. Bila sanad-nya dinyatakan sahih, barulah matan-nya bisa diperhatikan. Bila tidak, maka matan-nya dipandang tidak sahih lagi. Untuk menguji kesahihan sanad hadis di atas, berikut ini akan ditelusuri identitas para perawinya.

Jalan sanad yang diambil adalah jalur: Ma’qil bin Yasr, Yazid bin ‘Abdillah bin Syakhir, Syuddad bin Sa’id ar- Rasibiyu, Nadhru bin Syumail, Ishaq bin Rahawaih dan Musa bin Harun.

  1. Ma’qil bin Yasar
    Nama lengkapnya adalah Ma’qil bin Yasar bin Abdullah bin Ma’bir. Nama kuniyahnya yaitu Abu ‘Ali, Abu Yasar, Abu Abdullah. Beliau wafat pada tahun 61 H di Bashrah, sedangkan tahun lahirnya tidak diketahui. Beliau dikenal dengan nama Ma’qil bin Yasr al-Mazani. Diantara guru-gurunya adalah Nabi Muhammad Saw, Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Nu’man bin Basyir, dll. Adapun murid-muridnya yaitu : Nafi’ Maula Ibn Umar, Yazid bin ‘Abdillah, Nafi’ bin Harist, ‘Amru bin Maimun dll. Abi Hatim bin Hibban mengatakan Beliau adalah termasuk salah satu Sahabat yang 10. Kemudian Khatib al-Baghdadi juga berkata beliau adalah sahabat yang riwayatnya dari Nabi Muhammad Saw. 6

  2. Yazid bin ‘Abdillah
    Nama lengkapnya adalah Yazid bin ‘Abdillah bin Syakhir bin ‘Auf bin waqid bin Harish bin Ka’ab bin Rabi’ah bin ‘Amir bin Sa’sha’ah. Beliau wafat pada 108 H sedangkan tahun lahirnya tidak diketahui. Beliau masyhur dengan nama Yazid bin ‘Abdillah al-‘Amiri. Diantara guru-gurunya antara lain yaitu : Ahmar bin Salim, Ma’qil bin Yasr al-Mazani, Umar bin Khattab, ‘Imran bin Husain dll. Dan murid-muridnya : al- Aswad bin Syaiban, Sa’id bin Abi ‘Uryah, Syuddad bin Sa’id ar-Rasibiyu, Said bin Musalmah dll. Abu Hatim, Ahmad bin Syu’aib, Ahmad bin ‘Abdillah, dan Ibn Hajar Ashqalani menilai beliau adalah seorang yang tsiqah.7 Abu Zar’ah berkata : la> baksa bih.

  3. Syuddad bin Sa’id ar- Rasibiyu
    Nama lengkapnya adalah Syuddad bin Sa’id bin Malik. Beliau terkenal dengan nama Syuddad bin Sa’id ar-Rasibiyu. Nama kuniyahnya adalah Abu Thalhah. Diantara guru-gurunya adalah Abu Thalhah al-Anshari, ‘Ubaidillah bin Abi Bakr, Yazid bin ‘Abdullah al’Amiri dll. Diantara murid-muridnya yaitu : Nadhru bin Syumail, Harist bin ‘Amir, Walid bin Abdurrahman, Zayid bin Hibban dll. Abu Bakar al-Bazaara, Abu Hafash Umar dan Ahmad Syu’aib an-Nasai mengatakan beliau adalah seorang yang tsiqah. Ahmad bin Hanbal juga menilai beliau adalah syeikh tsiqah.

  4. Nadhru bin Syumail
    Nama lengkapnya Nadhru bin Syumail bin Kharsyah bin Yazid bin ‘Amru bin Hajar bin Khaza’i. Nama kuniyahnya yaitu Abu Hasan. Beliau terkenal dengan nama An- Nadhru bin Syumail al-Mazani. Lahir pada Tahun 123 H. Wafatnya tahun 203 H. Guru- gurunya yaitu Sulaiman bin Mughirah, Syuddad bin Sa’id ar-Rasibiyu, Suwar bin Dawud, Abdul Malik bin Qadamah dll. Dan diantara murid-muridnya adalah Ahmad bin Mansur, Ishaq bin Mansur, Ishaq bin Ruhawaih, Ibrahim bin Munzir, Ibrahim bin Isa dll. Ahmad bin Syu’aib, Yahya bin Mu’in dan Ibn Abi Hatim ar-Razi menilai bahwa beliau seorang yang tsiqah. Abbas bin Mus’ab al-Maruzi mengatakan beliau adalah seorang Imam di Arab dan Imam Hadis.

  5. Ishaq bin Rahawaih
    Nama lengkapnya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Mukhlid bin Ibrahim bin Mathar. Beliau dikenal dengan nama Ishaq bin Rahawaih Al-Maruzi. Nama kuniyahnya yaitu Abu Ya’kub. Beliau lahir pada tahun 161 H, dan wafatnya tahun 238 H. Guru-gurunya adalah Abu Bakr bin Abi Nashir, Ahmad bin Ayyub, Ahmad bin Ishaq, Nadhru bin Syumail, Nadhru bin Muhammad dll. Murid-muridnya yaitu : Ahmad bin Yusuf, Ishaq bin Mansur, Hasan bin Muhammmad, Musa bin Harunb, dll. Ahmad An-Nasai menilai beliau adalah seorang yang tsiqah.

  6. Musa bin Harun
    Nama lengkapnya adalah Musa bin Harun bin Abdullah bin Marwan. Beliau dikenal dengan nama Musa bin Harun al-Baghdadi. Nama kuniyahnya adalah Abu ‘Imran. Beliau lahir pada tahun 214 H, dan wafatnya tahun 294 H. Guru-gurunya yaitu Ishaq bin Rahawaih, Ishaq bin Ibrahim, Ibrahim bin Sa’i, dll. Murid-muridnya yaitu: Ahmad bin Abdullah, Ahmad bin Muhammad Zuhri, Ahmad bin Muthallib dll.

Dari kajian sanad yang saya teliti di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadis di atas memenuhi syarat kesahihan sanad. Semua syarat kesahihan sanad telah dapat terpenuhi. Syarat-syarat kesahihan sanad ialah ketersambungan sanad, para perawinya tsiqah, dhabit, dan ‘adil. Semua rawi yang terlibat dalam periwayatan terbukti memiliki relasi sebagai guru-murid. Kredibilitas maupun intelektualitas mereka juga tidak perlu dilakukan lagi. Tidak ada seorang perawi pun yang berstatus dha’if dan tidak ada ‘illat pada para rawi tersebut.

Kritik Matan

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadis di atas sebagai dalil:

  1. Bahwa Imam-imam ahli hadis tidak menyatakan secara jelas akan kesahihan hadis tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan al-Haistami yang menyatakan , “Perawi-perawinya sahih.” Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan kesahihan hadis tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqita’) atau terdapat ‘illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadis ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusunan kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.

  2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat diterapkan kecuali dengan dalil qath’i yang tidak ada kesamaan padanya, seperti Alquran serta hadis-hadis mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadis-hadis ahad yang sahih. Maka bagaimana lagi dengan hadis yang diragukan kesahihannya.

  3. Andaikata kita terima bahwa hadis itu sahih dan dapat digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka terdapat suatu petunjuk. Kalimat “menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya” itu tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa-yamassu-mass: menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar’iyah seperti Alquran dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian. Yaitu:

  • Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (ijma’) sebagaimana diriwayatkan Ibn Abbas dalam menafsirkan firman Allah: “La>mastum an-Nisa>’” (Kamu menyentuh wanita). Ibn Abbas berkata. “Lafal al-lams, al-mula>masah, dan al-mass dalam Alquran dipakai sebagai kiasan untuk jima’ (hubungan seksual). Secara umum, ayat-ayat Alquran yang menggunakan kata al-mass menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman Allah yang diucapkan Maryam: “…Betapa mungkin aku akan mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun…” (Ali Imran: 47)10
    Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka…”(Al- Baqarah: 237)
    Dalam hadis diceritakan bahwa Nabi Saw mendekati istri-istrinya tanpa menyentuhnya…

  • Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan di bawah kategori jima’, seperti mencium, memeluk, merangkul, dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima’ (hubungan seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam menafsirkan makna kata mula>masah.
    Al-Hakim mengatakan dalam “Kitab ath-Thaharah” dalam al-Mustadrak ‘ala al- Sahihaini sebagai berikut: Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan hadis-hadis yang berserakan dalam dua musnad yang sahih yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan) di bawah jima’:

    • Di antaranya hadis Abu Hurairah:
      “Tangan, zinanya ialah menyentuh…”
    • Hadis Ibn Abbas:
      “Barangkali engkau menyentuhnya…?”
    • Hadis Ibn Mas’ud:
      “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)…”
      Al-Hakim berkata.”Dan masih ada beberapa hadis sahih pada mereka (Bukhari
      dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya…”
      Kemudian al-Hakim menyebutkan di antaranya:
    • Dari Aisyah, Ia berkata:
      “Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah Saw… mengelilingi kami semua yakni istri-istrinya lalu beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya di bawah jima’. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ.”
    • Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Au la>mastum an-nisa>’” (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan di bawah jima’, dan untuk ini wajib wudhu.”
    • Dan dari Umar, ia berkata, “Sesungguhnya mencium itu termasuk al-lams, oleh
      sebab itu berwudhulah karenanya.”

Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab Maliki dan Mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman Allah, “au la>mastum an-nisa>’” (atau kamu menyentuh wanita).

Karena itu, Syeikh Islam Ibnu Taimiyah dalam fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan pendapat orang yang menafsirkan lafal ”mula>masah atau al-lams dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.

Di antara yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti berikut: “Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang berpendapat begitu”.

Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah “atau jika kamu menyentuh wanita…” itu dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya seperti yang dikatakan Ibn Umar dan lainnya maka sudah dimengerti bahwa ketika hal itu disebutkan dalam Alquran dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i’tikaf:

”…Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang i’tikaf dalam masjid…” (al-Baqarah: 187)

Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i’tikaf dengan tidak bersyahwat itu tidak diharamkan, berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat.

Demikian pula firman Allah:

“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka…” (al-Baqarah: 237).

Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan:

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka…” (al-Baqarah: 236).

Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib ‘iddah dan tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan ulama.

Barangsiapa menganggap bahwa lafal au la>mastum an-nisa>’ mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan menyimpang dari bahasa Alquran, bahkan menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat, sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath’u (yang asal artinya “menginjak”) yang diikuti dengan kata-kata laki-laki dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialah al-wath’u dengan kemaluan (yakni bersetubuh), bukan menginjak dengan kaki.”

Di tempat lain Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au la>mastum an-nisa>’. Ibn Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima’, dan mereka berkata, “Allah itu Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang ia kehendaki.”
Beliau berkata,”Ini yang lebih tepat di antara kedua berpendapat tersebut.”

Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams atau al-lams ketika dipergunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan dengan semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud ialah mungkin jima’ (hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.

Hasby Ash-Shiddiqy dalam penafsirannya terhadap Surat An-Nur: 30 dan Al- Ahzab: 59, terkait masalah hukum jabat tangan antara laki-laki dan perempuan.

Mengenai hal ini, Hasbi menarik dalil 2 ayat yaitu:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. An-Nur :30

“Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Al-Ahdzab: 59,

Pada pertengahan tahun 1376/1956 Majelis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa hukum jabat tangan antara laki-laki dan perempuan adalah haram. Yang dijadikan dalil fatwa ini adalah qiyas dari 2 ayat di atas.

Dari dua ayat di atas ditarik qiyas, jika melihat saja tidak boleh, apalagi bersentuhan kulit. Qiyas ini diperkuat pula dengan mengemukakan hadis-hadis riwayat Muslim yang menyebutkan bahwa Jarir bin Abdullah mengatakan Nabi melarang melihat seorang perempuan dua kali berturut-turut dalam satu waktu. Fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah ini sesungguhnya hanyalah memperkuat fatwa Ahmad Hasan dari PERSIS yang dikeluarkannya pada tahun 1351/ 1932 dan diulangi kembali pada tahun 1360/1941.

Hasbi menolak pendapat ini karena fatwa itu didasarkan atas qiyas. Menurut Hasbi, mengharamkan sesuatu harus berdasarkan dalil nash yang qath’i. oleh karena fatwa ini tidak didukung oleh dalil yang kuat. Menurutnya mengqiyaskan jabat tangan dengan pandang-memandang adalah tidak tepat. Sebab, qiyas hanya boleh dipakai dalam keadaan darurat.

Larangan yang ada dalam surat An-Nur:30 adalah larangan melihat bagian tubuh wanita atau laki-laki yang haram dilihat, yaitu bagian aurat. Muka, telapak tangan, dan telapak kaki perempuan, demikian juga bagian luar tubuh laki-laki selain antara pusat dan lutut laki-laki, bukanlah aurat. Jika tertutup, tidaklah haram, kecuali dengan melihatnya dapat menimbulkan kejahatan.

Menurut Hasbi, makna “memejamkan mata” atau “menundukkan pandangan” ialah untuk menjauhkan dari hal-hal fitnah. Jelasnya laki-laki atau perempuan tetap menjaga sopan santun. Laki-laki jangan memandang wanita dengan mata “genit”, demikian pula sebaliknya.13

Adapun asbabun nuzul al-Ahzab: 59 yang beliau kemukakan adalah karena pada permulaan Islam kaum wanita baik yang merdeka maupun yang budak, keluar di malam hari untuk buang hajat di kebun-kebun tanpa identitas yang berbeda. Pada waktu itu, masih berkeliaran laki-laki jahat yang suka mengganggu wanita. Jika dituntut, mereka menuntut bahwa mereka tidak tahu bahwa wanita itu berstatus merdeka, dikira seorang budak. Itulah yang menjadi sebab turunnya ayat ini.

Dengan demikian, Hasbi berkesimpulan bahwa jilbab adalah satu identitas terkait dengan keperluan pada masa itu. akan tetapi beliau tetap menetapkan batasan tentang bagaimana pakaian yang baik yaitu yang tidak menimbulkan fitnah dan kejahatan. Hadis –hadis yang melarang zina anggota tubuh adalah bagi orang yang salah mempergunakannya, seperti zina mata adalah melihat, maka jangan melihat, zina tangan adalah memegang, maka jangan bersalaman. Menurutnya jika memang ingin mencegah kerusakan, maka hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengubah hukum secara total.

Lebih lanjut Hasbi mengatakan bahwa ‘urf (kebiasaan) di Indonesia mengenai jabat tangan antara laki-laki dan wanita adalah hal yang tidak menimbulkan dampak yang negatif. Dengan demikian, sah-sah saja bila laki-laki berjabat tangan dengan wanita.

Setelah diperhatikan riwayat-riwayat tersebut, bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun maupun pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.

Kesimpulan

Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apalagi keduanya) maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi.

Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.

Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi. Hendaknya berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti dengan kerabat atau semenda (bisan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab di antara mereka.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

  • Ahmad bin Ali, Ibn Hajar. Muhammad Fuad Abdul Baqi (ed), Fathul Baari, juz 13. Riyadh: t.t.
  • Al-Ashqalani, Ibnu Hajar. CD ROM dikutip dari kitab Tahzib al-Tahzib.
  • Ash-Shidieqy, Hasbi. Tafsir Al-Quranul Madjied An-nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
  • Qardhawi, Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press, , 1996.
  • Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.