Mau menjangkau orang yang butuh pertolongan seputar masalah kesehatan mental melalui tulisan di media sosial adalah suatu hal yang baru untuk saya. Saya bukanlah orang yang aktif di media sosial. Buat saya untuk bisa mengungkapkan diri sendiri ke media sosial adalah sesuatu yang asing.
Perjalanan saya untuk memulai aktif melakukan edukasi publik terkait kesehatan mental diawali oleh ajakan berulang dari teman saya Anastasia Satriyo M.Psi,Psi, seorang psikolog anak yang aktif melakukan edukasi publik seputar kesehatan mental baik di media sosial maupun di televisi. Saya ingat betul akan kata-katanya,
“Kak Lili, kalau ada aspirasi di bidang kesehatan mental komunitas, Kakak harus mau berani masuk ke Instagram. Kita anak muda percaya sekali apa kata Instagram dan kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam dalam sehari untuk melihat Instagram."
Anas sangat baik mengajari saya dari awal bagaimana cara membuat Bio, menerangkan apa gunanya hashtag, bedanya Instagram post dan Instagram story, apa itu Instagram Live. Di saat yang sama, saya merasa bahwa saya adalah generasi lama yang tidak terbiasa dengan pola interaksi sosial melalui media sosial.
Namun aspirasi saya sangat besar untuk menjangkau orang yang butuh pendampingan seputar masalah kesehatan mental. Ini menjadi motivasi utama saya untuk tetap mau belajar menggunakan instagram. Tetap mau mencoba melakukan siaran Instagram Live walaupun saya merasa sangat asing dengan hal ini. Motivasi saya untuk bisa menolong orang yang membutuhkan bantuan seputar kesehatan mentalnya membuat saya tetap mau belajar walaupun saya terseok-seok mempelajari bagaimana caranya saya bisa membalas pesan di Instagram, bagaimana saya bisa membuat tulisan di Instagram. Ada banyak sekali hal yang saya tidak pahami di Instagram yang membuat saya merasa seperti alien di dunia media sosial ini.
Saya mau dengan rendah hati belajar dari beberapa teman seperti psikolog @ anassatriyo, psikiater @jiemiardian, dan dokter kandungan @yassinbintang. Saya juga sangat salut dengan semangat mereka yang besar untuk melakukan edukasi publik dan berbagi pengetahuan dengan cara yang sederhana, bahasa yang mudah dimengerti dan menarik diikuti melalui media sosial. Saya juga merasakan niat tulus mereka untuk juga mau menjadi tutor saya untuk belajar berbagi di media sosial ini.
Saya sadar betul bahwa masalah kesehatan mental sangat penting buat tiap orang. Di saat yang sama mencari pertolongan untuk masalah kesehatan mental tidaklah mudah. Ada banyak stigma yang muncul saat seseorang mau datang ke profesional kesehatan mental seperti psikolog ataupun psikiater. Ada kata-kata tertentu yang mengandung stigma dan sangat menyakitkan seperti “gila”, “stres”, “kurang iman” yang sering dilontarkan kepada orang yang mau mencari pertolongan seputar kesehatan mentalnya.
Berbeda dengan penyakit fisik, penyakit mental cenderung disembunyikan. Dengan mudah kita bisa mendengar keluarga, kerabat, tetangga mengatakan dengan bangga bahwa dia berobat ke seorang dokter penyakit jantung untuk masalah kesehatan jantungnya. Namun berapa banyak dari kita yang pernah mendengarkan hal yang sama seputar orang yang dengan bangganya mengatakan bahwa dia berobat ke seorang psikiater atau psikolog seputar depresi yang dialaminya? Berapa banyak dari kita yang pernah menjenguk teman dan keluarga kita yang sedang sakit di Rumah Sakit misalnya saat mereka terkena demam berdarah atau saat mereka melahirkan? Saya rasa hampir semua dari kita pernah menjenguk ke rumah sakit. Namun jika saya tanya berapa banyak dari kita yang pernah menjenguk teman atau keluarga yang tengah dirawat di Rumah Sakit terkait dengan kondisi kesehatan mentalnya? Saya rasa hampir sebagian besar dari kita akan menjawab tidak pernah.
Padahal jumlah orang yang mengalami masalah kesehatan mental sangatlah banyak. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO, setidaknya ada lebih dari 800 ribu kematian disebabkan oleh bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini setara dengan 1 kematian pada setiap 40 detik. Bunuh diri adalah penyebab utama kedua kematian di kalangan orang muda yang berusia antara 15 dan 29 tahun, Walaupun depresi bisa tangani secara efektif, di negara berkembang, 76-85% orang yang mengalami depresi tidak mendapatkan pertolongan untuk kondisi depresi yang mereka alami. Ada berbagai hambatan untuk orang bisa mencari pertolongan untuk masalah kesehatan mentalnya antara lain kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan jiwa professional, adanya stigma terkait dengan masalah kesehatan mental, dan ketidaktahuan mengenai gangguan jiwa itu sendiri.
Saya mengutip pendapat dari James Edward Ryan dalam bukunya Wait, What?: And Life’s Other Essential Questions: “ Getting started doesn’t guarantee success, but it does guarantee that you will not live with regret about failing to try."
Saat saya mau mulai mencoba belajar menjangkau orang yang butuh pertolongan seputar masalah kesehatan mental melalui tulisan di media sosial, saya sadar bahwa belum tentu usaha saya ini efektif dan berhasil. Namun saya sadar benar bahwa setidaknya saya tidak gagal mencoba. Mau mencoba menulis di media sosial adalah bentuk kepedulian saya untuk menjangkau orang-orang di luar sana yang membutuhkan pertolongan kesehatan mental. Bahwa mereka tidak sendirian, bahwa masalah mereka bisa dibantu untuk diatasi, bahwa ada orang di luar sana yang bersedia untuk memberikan pertolongan.