Tahun 2020 merupakan tahun di mana terjadi pandemi yang menggemparkan dunia. Seluruh masyarakat penjuru dunia diserang oleh musuh yang tidak bisa terlihat dengan mata telanjang, yaitu virus Covid-19. Cepat dan luasnya penyebaran Covid-19 ini menjadikan banyak orang panik dan stress, khususnya ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pemantauan), hingga orang yang terkonfirmasi positif Covid-19. Lockdown dan PSBB (pembatasan soisal berskala besar) membuat banyak orang semakin stres, terutama orang yang memiliki mata pencaharian di tempat umum seperti supir angkutan umum dan ojek.
Respon umum yang akan dialami masyarakat terhadap kecemasan yang berlebihan mengahadapi pandemi ini juga dapat mengakibatkan stigma yang buruk terhadap lingkungan tempat tinggal maupun keluarga yang termasuk dalam ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pemantauan), dan pasien Covid-19.(1)
Kondisi kesehatan mental yang kurang baik karena stres dan panik tentu akan memberikan dampak yang buruk terhadap kesehatan jasmani karena kesehatan mental dapat memengaruhi kerja sistem imun tubuh.
Pada tubuh orang yang stres terdapat penolakan yang signifikan dalam aktivitas Natural Killer cell ( NK cell ) yang berperan penting dalam membunuh virus dan tumor.2 Sehingga orang yang stres cenderung lebih rentan terhadap mikroba seperti bakteri dan virus. Padahal saat terjadinya pandemi seperti ini, semua orang harus menjaga tubuh agar tetap sehat dan bugar. Pada orang yang positif terinfeksi Covid-19, stres dan kecemasan dapat memperlambat pembentukan imunitas adaptif yang dibentuk oleh tubuh untuk membunuh Covid-19.(2) Sehingga apabila pasien Covid-19 terus merasa tertekan akan penyakit yang dideritanya, virus akan terus berkembang biak di dalam tubuh dan menjadi semakin kuat. Banyak orang yang telah ditetapkan sebagai PDP dan positif Covid-19 berfikir bahwa ini adalah hal terburuk yang pernah dialaminya hingga tidak sedikit pasien Covid-19 yang merasa hidupnya terancam dan mengalami depresi karena dirinya sendiri yang sangat mencemaskan kesehatannya, keadaan keluarganya, hingga khawatir terhadap respon masyarakat di sekitarnya.
Masyarakat banyak yang mengabaikan kesehatan mental dan berfikir bahwa menjaga daya tahan tubuh dengan mengonsumsi rempah-rempah adalah satu-satunya cara untuk menjaga tubuh tetap sehat dan bugar. Padahal ada hal yang lebih penting untuk dijaga, yaitu kesehatan mental. Selama ini, penanganan pasien positif Covid-19 hanya dengan terapi simtomatis atau terapi untuk menghilangkan gejala dari Covid-19, sehingga obat-obatan yang diberikan kepada pasien Covid-19 belum mampu membunuh virus yang ada di dalam tubuh. Kunci dari terapi Covid-19 adalah bukan pada obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien Covid-19, namun pada kekuatan self healing oleh sistem imun tubuh. Salah satu cara yang paling sederhana untuk meningkatkan kerja sistem imun tubuh adalah menjaga kesehatan mental. Rasa cemas, panik, dan stres dapat dihilangkan dengan menjaga diri kita tetap merasa bahagia di manapun dan kapanpun kita berada. Berdasarkan video yang dibagikan oleh BBC Indonesia yang berjudul Pasien Sembuh Corona Berbagi Cerita, salah satu pasien Covid-19 bercerita bahwa hal yang paling membuat pasien tersebut dapat sembuh dari Covid-19 adalah dengan tetap berbahagia dengan melakukan hal-hal yang disukai sambil mengisi waktu luang saat diisolasi di rumah sakit. Pasien Covid-19 yang telah sembuh tersebut juga mengatakan bahwa kunci dari sembuhnya dari Covid-19 adalah self healing dengan menjaga emosi dengan tetap berbahagia.
Selain sebagai upaya untuk menjaga kesehatan mental, bahagia juga dapat meningkatkan kerja sistem imun tubuh. Bahagia dapat menyebabkan sel-sel dalam tubuh yang berfungsi untuk membunuh virus dan mikroba menjadi lebih kuat.(2) Bahagia dapat diperoleh dengan cara yang mudah. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk memperoleh kebahagiaan. Hal kecil seperti bersyukur atas segala sesuatu yang Tuhan berikan kepada diri kita tentu dapat membuat kita bahagia. Setiap waktu, setiap hari, dan setiap detik banyak orang yang telah melupakan bagaimana Tuhan memberikan berbagai macam nikmat sekecil apapun itu kepada diri kita. Nikmat bahwa kita masih bisa bernafas dan melihat dunia ini seringkali kita abaikan. Padahal bersyukur adalah hal yang paling mudah dilakukan agar memperoleh kebahagiaan. Banyak orang berlomba-lomba untuk membeli suplemen untuk meningkatkan daya tahan tubuh, rempah-rempah, masker, sanitizer. Namun mereka mengabaikan ada hal yang lebih penting dibandingkan dengan semua itu, yaitu manajemen mental agar tetap bahagia di tengah hebohnya dunia.
Bahagia juga dapat diciptakan dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan bagi kita. Terkadang bertemu, bercakap-cakap dan bertukar informasi dengan teman dekat kita dapat meningkatkan mood kita. Era 4.0 ini sangatlah membantu kita dalam mengatasi stress di tengah wabah Covid-19 ini. Kita dapat berinteraksi dengan teman-teman melalui video call, chatting melalui media sosial, dan masih banyak hal menyenangkan yang dapat dilakukan di tengah pandemic ini. Apabila rasa khawatir dan panik kembali menghampiri diri kita, maka kita harus pintar-pintar dalam memanajemen emosi diri kita sendiri untuk tetap bahagia. Bagaimana caranya? Cara yang paling dasar dalam memanajemen emosi adalah dengan mengenal diri kita sendiri dengan baik. Apa hal yang dapat membuat diri kita sendiri bahagia? Apa hal yang kita sukai?. Setelah kita mengenal diri kita sendiri dengan baik, tentu kita dapat dengan mudah memanajemen emosi dengan baik. Banyak hal menyenangkan yang dapat dilakukan di rumah untuk menciptakan kebahagiaan.
Bukan hanya semata-mata takdir Tuhan yang mengharuskan kita bahagia, tapi kitalah yang harus membuat diri kita berbahagia . - “Immanuel Kant”.
Oleh karena itu, kenali diri sendiri untuk membuat diri kita bahagia dan penuh dengan semangat hidup. Karena kesehatan mental adalah kunci dari kuatnya sistem imun tubuh. Mulailah dari diri sendiri! Karena jika bukan kita, siapa lagi. Jika bukan sekarang, kapan lagi.
Daftar Pustaka
-
Inter-Agency Standing Committee (IASC). 2007. IASC Guidelines on Mental Health and Psychosocial Support in Emergency Settings. Geneva: IASC.
-
Kiecolt-Glaser, J. K., & Glaser, R. 1992. Psychoneuroimmunology: Can psychological interventions modulate immunity?. Journal of consulting and clinical psychology, 60(4), 569.