Bagaimanakah Variasi Bentuk Kebahasaan yang Menjadi Sengketa di Pengadilan?


Beberapa tahun terakhir kasus yang berkaitan dengan bahasa di pengadilan cenderung meningkat. Hal ini antara lain disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi. Dengan diciptakannya smartphone, misalnya, orang begitu mudah mempublikasikan apa yang dirasakan atau dipikirkan melalui media sosial di dunia maya. Kadang-kadang apa yang dipublikasikan membuat perasaan orang lain tidak enak atau dipandang merugikan pihak lain, baik secara individu maupun kelompok.Akibatnya, timbullah kasus penghinaan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penistaan agama, dan sejenisnya.

Bagaimanakah variasi bentuk kebahasaan yang menjadi sengketa di pengadilan?

Munculnya berbagai sengketa yang berkaitan dengan bahasa di pengadilan dapat pula disebabkan karena kemampuan literasi masyarakat belum seperti yang diharapkan. Masyarakat memang sudah dapat membaca dan menulis, tetapi sebagian dari mereka belum mampu mencerna informasi dengan baik, belum mampu menyaring informasidengan baik. Apa yang dibaca di dunia maya dianggap sebagai suatu kebenaran di dunia nyata, padahal kenyataannya tidak demikian. Sebagian dari mereka juga belum mampu memilah informasi yang pantas dan yang tidak pantas dipublikasikan di sosial media. Apa yang ada dalam perasaan atau apa yang terlintas dalam pikirannya ditulis begitu saja di media social. Akibatnya, muncullah sengketa dengan pihak lain berkaitan dengan apa yang ditulis tadi.

Meskipun maraknya sengketa kebahasaan di pengadilan dipicu oleh kemajuan teknologi informasi dan kondisi kemampuan literasi masyarakat, jenis sengketa kebahasaan di pengadilan sangat kompleks dan tidak selalu disebabkan secara langsung oleh kedua hal tersebut. Memang jenis sengketa seperti penghinaan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penistaan agama yang disebabkan oleh kedua hal tersebut mungkin lebih dominan daripada kasus-kasus lain, tetapi kasus sengketa kebahasaan di pengadilan tidak terbatas pada hal-hal seperti itu.

Kasus sengketa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa di pengadilan cukup kompleks.Bentuk kebahasaan yang disengketakan pun beragam, dari bentuk kebahasaan yang sederhana sampai bentuk yang rumit, dari pemakaian imbuhan sampai wacana yang panjang. Seperti dicatat oleh Olsson (2008) di Amerika Serikat pemakaian Mc- sebagai imbuhandalam sebuah nama (semacam afiks), pernah menjadi bahan sengketa di pengadilan. Ketika perusahaan Quality Inns Internasional mengumumkan akan membuka hotel ekonomi baru yang dinamai McSleep, pemakaian prefiks Mc- pada nama itu dipersengketakan oleh perusahaan makanan cepat saji McDonald’s. Prefiks Mc-tidak boleh dipakai pada nama produk oleh perusahaan lain karena telah menjadi bagian dari merek dagangnya.

Makna sebuah kata atau istilah juga bisa menjadi bahan sengketa yang harus diselesaikan di pengadilan. Contohnya adalah kasus yang dikenal dengan nama kasus “Jaffa Cakes” (Coultthard dkk.,2017:2). Dalam kasus ini disengketakan pengertian istilah cake dan biscuits karena hal itu berkaitan dengan masalah pajak.Cake termasuk dalam kategori makanan biasa, sedangkan biscuits termasuk makanan mewah sehingga pajaknya berbeda.

Jika bentuk kebahasaan seperti imbuhan dan kata saja dapat menjadi bahan sengketa, bentuk kebahasaan yang lebih besar seperti kalimat dan wacana tentu menjadi lebih potensial dipersengketakan di pengadilan. Contoh kalimat yang menjadi bahan sengketa di pengadilan adalah kalimat yang merupakan bagian dari pidato Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang diucapkan di depan warga Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu. Kalimat Ahok “Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak/Ibu, gak bisa pilih saya, ya-- dibohongin pakai surat Al-Maidah ayat 51 macam-macam gitu lho” (dikutip dari Edunews.id, 14/10/2016) telah menimbulkan kegaduhan luar biasa dalam masyarakat Indonesia dan telah mengganggu sendi-sendi persatuan nasional. Sidang mengenai kasus ini di pengadilan mendapat perhatian banyak pihak dan berjalan lama, menghadirkan banyak saksi termasuk saksi ahli bahasa. Pengadilan akhirnya memutuskan Ahok bersalah.

Contoh lain adalah kasus Florence Sihombing yang menulis di media sosial Path tentang kota Yogyakarta. Florence menulis, “Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Temanteman Jakarta – Bandung jangan mau tinggal di Jogja” (Liputan6.com, 31 Agustus 2014). Tulisan yang terdiri dari dua kalimat pendek ini dianggap menghina dan mencemarkan nama baik Yogyakarta. Pengadilan Negeri Yogyakarta memutuskan bahwa Florence Sihombing bersalah dan menghukumnya.

Adapun contoh kasus sengketa yang berkaitan dengan bahasa berupa wacana adalah kasus sengketa Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera. Tulisan Prita berisi keluhan dalam bentuk surat elektronik yang cukup panjang dianggap oleh pihak RS Omni telah mencemarkan nama baiknya. Perjalanan kasus ini juga cukup panjang, memakan waktu lima tahun dari 2008 – 2012. Bahkan, kasus ini sampai ke tingkat Mahkamah Agung yang akhirnya memutuskan Prita tidak bersalah (detikNews, 18 September 2012).

Kasus lain mengenai sengketa yang berkaitan dengan bahasa yang memerlukan kesaksian ahli bahasa masih banyak. Dalam kasus tertentu apakah ucapan dalam suatu rekaman merupakan ucapan asli seseorang atau bukan dapat pula menjadi bahan sengketa di pengadilan.Untuk kasus seperti ini pengadilan dapat meminta kesaksian ahli bahasa, khususnya ahli fonetik forensik.Bentuk bahasa yang disengketakan dalam kasus seperti ini adalah bunyi bahasa sehingga ahli fonetiklah yang dapat menganalisisnya.

Bentuk sengketa yang berkaitan dengan bahasa di pengadilan dapat pula berupa tulisan. Dalam kasus tertentu, pengadilan dapat meminta kesaksisan ahli linguistik untuk menentukan, misalnya, apakah benar sebuah surat wasiat yang disengketakan ditulis pada tahun 1950-an. Dalam hal ini ahli linguistik akan menganalisis surat wasiat tersebut dari aspek ejaannya, kosakata yang digunakan, struktur kalimat, dan sebagainya untuk menentukan kebenaran masa penulisan surat wasiat tersebut. Sengketa di pengadilan yang berkaitan dengan tulisan dapat pula berupa apakah benar bahwa sebuah tulisan ditulis orang tertentu.Karena tulisan orang bersifat khas, berbeda antara satu orang dengan orang yang lain, apalagi jika berupa tulisan tangan, ahli linguistik dapat memberi kesaksiannya terhadap masalah seperti ini.

Referensi

http://eproceedings.umpwr.ac.id/index.php/bahtera/article/download/45/39