Bagaimanakah Teori Hippolyte Taine dalam Sosiologi Sastra?

image
Hippolyte Taine merupakan seorang penganut sosiologi sastra historis dan genetis.

Bagaimanakah teori Hippolyte Taine dalam sosiologi sastra?

Fakta Sosial

Banyak tawaran Taine yang menggoda para pemerhati sosiologi sastra. Fakta sosial adalah sebuah muatan sastra yang begitu hangat dalam gagasan Taine. Fakta sosial tidak akan lepas dari proses historis. Tegasnya, dia penganut sosiologi sastra historis dan genetis. Atas dasar kepekaan sosial, Taine (Suwondo, 2003:23) berpendapat bahwa sastra tidak sekedar luapan imajinasi, melainkan dokumen jaman. Sastra sering menyesuaikan dengan cita rasa pembacanya. Konsep sosiologis Taine yang cukup terkenal, berkaitan dengan tiga hal: ras, iklim, dan lingkungan sosial. Ketiganya berkaitan dengan sejarah dan genetika karya pada masa lalu yang secara ringkas mencakup aspek-aspek realita yang sangat kompleks. Hal itu merupakan kekhasan fakta sastra, yang banyak menarik para ahli sastra. Namun, bagi kritikus kadang-kadang metode-metodenya tidak dapat diterapkan pada kekhasasan fakta sastra tersebut. Di balik cara-cara yang diambilnya dari ilmu alam, untuk mencapai bahan yang ia pelajari, ia hanya memiliki cara-cara tradisional ilmu sejarah dan kritik sastra: analisis biografi dan komentar atas teks.

Itulah sebabnya, tawaran sosiologi sastra menjadi penting diperhatikan untuk menelusuri fakta sastra. Bagian inti doktrin Taine tetap berlaku untuk menelusuri fakta sosial sastra. Sejak Taine, baik ahli sejarah sastra maupun kritik sastra, walaupun terkadang melakukannya, tidak dapat lagi mengabaikan pengaruh pasti yang ditimbulkan unsur-unsur khas yang berasal dari luar, terutama yang bersifat sosial, atas kegiatan sastra. Oleh sebab itu, bukan suatu khayalan kalau sosiologi sastra semakin menunjukkan kecerahan untuk menerobos aspek di luar sastra.

Ada dua rumusan sosiologi sastra Taine yang sampai hari ini cukup mengemuka:

Pertama, sastra lahir dari kehidupan sosial. Begitulah doktrin penting bagi pengkaji sosiologi sastra. Karena itu layak bila sastra disebut sebagai lembaga sosial. Sastra menawarkan lembaga sosial yang menjadi wahana manusia hidup. Di dalamnya, tentu memuat unsur lembaga yang beragam. Saya juga menyetujui gagasan ini,sebab karya sastra lahir di atas fondasi kehidupan sosial. Hal ini sejalan dengan pola pikir Levin (1973:56-60), termasuk tokoh sosiologi sastra yang bersikeras menyatakan sastra sebagai lembaga sosial. Artikel dia tentang itu, konon telah dicetak ulang berkali-kali. Dalam kaitan ini, dia banyak menyitir tentang teori-teori sosial sastra dari Taine. Melalui pidato Taine, Levin sering menyetujuinya. Dari pendapat ini sekaligus menegaskan bahwa Levin dan Taine sama-sama menyetujui sastra sebagai potret kehidupan sosial.

Kedua, sastra adalah ekspresi dari masyarakat. Sastra tidak jauh berbeda dengan pidato sebagai ekspresi manusia. Tentu saja konteks propaganda sering muncul dalam sastra. Sebagai sebuah lembaga, sastra sering menawarkan berbagai hal tentang kehidupan.Dalam benuk pepatah Vicomte de Bonald menyimpulkan salah satu pelajaran pahit bahwa Revolusi Prancis telah mengajarkan tentang dunia. Revolusi telah mewarnai fakta sosial sastra. Pada awal abad kesembilan belas, ditandai dengankembalinya imigrasi, dan bertepatan dengan studi volume dua oleh Madame de Stael: De la Litterature coirsideree dans ses rapports avec les institutions sosiales. Hal ini bukan bukan yang pertama kali, bahwa hubungan mereka sebagian hanya sekilas.

Pada periode humanisme Renaissance, muncul pertengkaran antara sastra kuno dan modern. Periode itu telah menyimpulkan bahwa sastra masing-masing adalah ciptaan yang unik dari tiap-tiap periode, dan telah memiliki satu sudut pandang sejarah. Sastra adalah fakta historis, yang melukiskan dunia sosial. Pada periode romantis, berusaha untuk merusak prestise sekolah neo-klasik dan untuk menghidupkan kembali tradisi asli dari berbagai negara. Menurut Hippolyte Taine di garda depan gerakan intelektual, positivisme ilmiah juga penting untuk pendekatan sosiologis. Untuk faktor-faktor sejarah dan geografis, upaya sesekali kritikus sebelumnya untuk membahas sastra. Kebohongan yang disusun adalah hubungan antara kritik sastra dan ilmu sosial. Jadi untuk mengangkat sejumlah masalah baru dengan penyelesaian yang lama.

Dalam teori kritis Taine ada beberapa pandangan sosiologis yang patut dipertimbangkan. Pertama, studi sosiologi sastra didasarkan atas praktek realis. Menurut pengakuan-Nya kekuatan sosial di balik sastra bertepatan dengan resolusi untuk mewujudkan kekuatan-kekuatan dalam karya. Untuk mengakui Stendhal sebagai master, ia menyambut Flaubert sebagai rekan kerja dan hidup untuk menemukan Zala di antara murid-muridnya. Seorang seniman filsuf-baru-baru ini, Jean-Paul Sartre, menggambarkan empirisme Taine sebagai upaya gagal untuk membuat sebuah sistem realistis metafisika. Sebenarnya posisinya adalah bahwa kebanyakan realis, sangat keterlaluan untuk pembaca awal dan jinak untuk kritikus.

Kedua, menghindari konsekuensi faktor penentu yaitu sistem psikologi. Kalau hal itu tidak diindahkan, psikologi seringkali mengambil alih sosiologi. Sosiolog telah menunjukkan minat sedikit mengejutkan dalam lembaga. Dia telah dilihat sejarah sebagai sebuah parade individu yang berpengaruh. Untuk memahami prestasi mereka adalah masalah psikologis. Psikolog harus mengungkapkan nafsu berkuasa. Teorinya karakter berutang budi pada Balzac sebagai teori lingkungan sosial.

Pemikiran Taine tentang fakta sosial yang berpengaruh pada sastra, cukup penting dipertimbangkan dalam penelitian sosiologi sastra. Pengaruh fakta sosial behitu tersembunyi, sehingga perlu ditafsirkan secara tajam. Pengaruh tersebut dilancarkan secara simbolik. Oleh sebab itu, peneliti sosiologi sastra perlu menggali berbagai fakta di seputar karya sastra. Karya sastra akan menebarkan pesan yang unik, lain dari yang lain.