Bagaimanakah sistem Partai Kartel dalam Sistem Kepartaian Kontemporer saat ini?
Klasifikasi sistem kepartaian pada awalnya disusun berdasarkan jumlah partai yang ada, tetapi dalam dua dekade terakhir ini beberapa skema klasifikasi baru telah dikembangkan. Dengan semakin diterimanya pemikiran untuk memasuk-kan atribut tambahan dalam memahami sistem kepartaian, klasifikasi yang belakangan diajukan tidak hanya menyangkut soal jumlah, tetapi juga soal kompetisi dan kerja sama antarpartai. Menurut Oscar Niedermayer, kriteria yang digunakan dalam literatur sistem kepartaian kontemporer dapat dikategorikan berdasarkan dua dimensi, yaitu dimensi pemilu dan dimensi kepemerintahan.
Dimensi pemilu meliputi dua unsur utama, yaitu jumlah dan ukuran relatif partai (fragmentasi dan asimetri) serta pola orientasi politik dan perilaku mereka (posisi ideologi, polarisasi, dan strategi untuk kompetisi pemilu). Dimensi kepemerintahan berfokus pada unsur-unsur sistemik, seperti kekakuan dalam proses pembentukan pemerintah atau perubahan dalam pola koalisi. Tipologi yang diajukan Giovanni Sartori tentang sistem partai kompetitif dan Alan Siaroff berkonsentrasi pada kriteria pemilihan. Sementara itu, tipologi lainnya, seperti disusun Peter Mair, terutama mempertimbangkan kriteria hubungan partai dengan pemerintah (Croissant and Volkel 2012: 237).
Dalam aspek internal organisasi partai, Richard Katz dan Peter Mair menawar-kan satu model terbaru, yaitu model kartel. Katz dan Mair berpendapat bahwa partai kartel adalah model lain dari serangkaian model partai yang sudah ada sebelumnya, yaitu model partai elite (elite party), partai massa (mass party), dan catch-all party (MacIvor 1996: 317–318). Model partai kartel, menurut Katz dan Mair, tumbuh mengikuti modernisasi dan birokratisasi masyarakat. Perluasan pasar politik, pada satu sisi, dan munculnya agenda sosial baru berpusat pada isu-isu politik baru, pada sisi lain, melemahkan afiliasi pemilih terhadap partai tradisional (Yishai 2001: 669).
Bagi Katz dan Mair, merosotnya keanggotaan partai dan semakin cairnya pemilih sejak berakhirnya era Perang Dingin bukan senjakala bagi partai politik. Akan tetapi, pada satu sisi, hal tersebut sebenarnya menunjukkan gejala bahwa sumber daya ekonomi dan politik partai semakin tidak bergantung pada masyarakat, tetapi lebih bergantung pada negara—yang mereka kontrol melalui jabatan-jabatan yang mereka duduki. Pada sisi lain, hal tersebut juga menunjukkan bahwa penurunan afiliasi pemilih terhadap partai merupakan akibat dari perluasan akses warga negara untuk memperjuangkan kepentingan-nya.
Warga tidak lagi hanya menyampaikan aspirasinya melalui partai politik, tetapi juga melalui institusi lain, terutama dengan berkembangnya gerakan sosial baru (new social movement). Model partai kartel yang semakin menguat sejak tahun 1970-an menyerupai model catch-all partydalam banyak hal, antara lain kampanye yang meng-gunakan jasa para profesional dan mengandalkan dana dalam jumlah besar (padat modal), keanggotaan yang menyusut, dan pendekatan broker untuk memperoleh suara. Akan tetapi, partai-partai kartel dibedakan dari tiga model partai sebelumnya dalam hal “interpenetrasi partai dan negara” dan “pola kolusi antarpartai” (Katz and Mair 2002: 17).
Tidak seperti catch-all party, partai kartel hampir secara eksklusif bergantung pada negara untuk pendanaan mereka dan sumber daya politik lainnya. Karena itu, tidak mengherankan, fokus strategi partai lebih ditujukan kepada negara dibanding masyarakat luas. Partai yang sibuk dengan dirinya, dan dengan negara, kemudian melebarkan jarak terhadap masyarakat atau pemilihnya (Katz and Mair 1996: 526).
Apa yang menyebabkan ketergantungan partai terhadap negara?
Salah satu sebabnya adalah menguatnya sikap apatis dari publik terhadap partai politik. Karena keanggotaan partai yang menyusut dan jumlah sumbangan yang diperoleh dari masyarakat semakin stagnan, partai harus mencari sumber-sumber pendanaan baru. Sumber-sumber pendanaan baru ini harus mampu menyediakan dana dalam jumlah besar karena biaya kampanye pemilu yang terus meningkat tajam, sebagai konsekuensi penggunaan teknik kampanye yang semakin canggih dan mahal yang melibatkan tenaga profesional yang disewa partai.
Tema sentral analisis Katz dan Mair adalah hubungan antara partai politik dan negara. Partai-partai elite tumbuh dari negara, menarik dukungan publik dan sumber daya atas nama konsolidasi negara, sedangkan partai-partai massa muncul di luar negara dan mencoba untuk membuatnya akuntabel (dan sekaligus merepresentasikan) kepentingan ekonomi tertentu. Catch-all party masuk di tengah kesenjangan antara negara dan masyarakat, menjadi perantara (broker) tuntutan berbagai kelompok sosial, dan menggunakan negara untuk menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk memantapkan tercapai-nya akomodasi kepentingan partai. Sementara itu, partai-partai kartel justru kehilangan pijakan mereka di masyarakat sipil dan ada hampir seluruhnya di dalam, dan untuk, negara. Mereka secara kolektif mengontrol sumber daya, yang mereka manipulasi untuk menjamin kelangsungan hidup mereka (MacIvor 1996: 320).
Model partai kartel ini sebenarnya “melampaui” klasifikasi model partai politik yang hanya mengasumsikan hanya ada satu arena persaingan, yaitu arena elektoral. Padahal, partai politik kenyataannya berinteraksi di beberapa arena, dengan struktur keuntungan yang berbeda di setiap arena. Oleh karena itu, persaingan yang kompetitif harus memperlihatkan adanya tautan elektoral, yaitu ideologi dan program partai di dalam kampanye harus mewarnai perilaku koalisi partai di arena pemerintahan dan legislatif serta hasil-hasil pemilu berdampak pada perilaku partai di arena persaingan yang lain. Kuskridho Ambardi (2009: 26) menggunakan tiga arena untuk menguji tingkat persaingan antarpartai, yaitu arena elektoral, pemerintahan, dan legislatif. Kegagalan untuk mewujudkan tautan elektoral menandai sistem kepartaian yang tidak kompetitif atau sistem kepartaian yang terkartelisasi.
Kuskridho Ambardi (2009: 28–29) meringkas lima ciri dari sistem kepartaian ini.
- ideologi tidak menjadi faktor penting yang menentukan perilaku partai.
- dalam pembentukan koalisi, tidak ada rambu-rambu yang me-mandu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh karena semua serba boleh (promi cious).
- kecenderungan untuk merangkul semua partai ke dalam koalisi (koalisi turah) membuat keberadaan oposisi sulit diidentifikasi.
- perilaku partai tidak ditentukan oleh hasil menang-kalah dalam pemilu (inkonsekuensial).
- terlepas dari perbedaan identitas normatif yang “dijual” dalam kampanye pemilu, partai-partai cenderung bertindak sebagai satu kelompok.
Sumber :
Wawan Ichwanuddin.( 2012). Pengawasan dpr dan Politik kartel era reformasi:Studi kasus interpelasi danangket Tahun 1999. Masyarakat Indonesia, Vol. 38, No. 2, Desember 2 012 Default Page