Bagaimanakah Ringkasan Cerita "Salah Asuhan" Karya Abdul Muis?


Abdul Muis dalam romannya Salah Asuhan (1928) menggambarkan pertemuan Barat dan Timur di Indonesia yang lebih jelas, mendalam, dan lebih baik susunan ceritanya daripada roma sebelumnya.

Ia mengemukakan bermacam-macam masalah: seperti suasana kebarat-baratan, menentang adat, kawin paksa, kawin campuran.

Jika dibandingkan dengan menulis-penulis sebelumnya, maka pengarang roman ini akan segera menonjol ke tengah, sebagai pengarang roman yang terbaik yang telah menghilangkan semua cara yang menjemukan, yang biasa terjadi dalam hasil kesusastraan sebelumnya, yang selalu diawali dengan suatu gambaran dari nenek moyang pelaku yang turun temurun sampai anak cucunya.

Abdul Muis terkenal dalam bidang persurat-kabaran. Oleh karena itu, penggunaan bahasanya terasa lebih hidup dan segar.

Pengarang berhasil menggambarkan tipe pelaku-pelakunya yang hidup sekitar tahun 20-an di Indonesia. Semua pelakunya diberi motif, baik pembicaraannya maupun wataknya secara jelas.

Tentang tema karangannya sudah lebih luas daripada roman yang pertama yaitu Azab dan Sengsara, yang mengambil pokok cerita kawin paksa, juga lebih luas daripada roman yang kedua yaitu Sitti Nurbaya yang mempunyai tema pertentangan antara kaum tua dan kaum muda.

Dalam Salah Asuhan kombinasi kedua tema tersebut dikemukakan juga, ditambah dengan tema yang terpenting yaitu kawin campuran antara orang timur dengan orang barat, antara orang Indonesia dengan orang Belanda yang berketurunan Prancis (Retnaningsih, 1963 : 52 - 53).

Bagaimanakah ringkasan cerita “Salah Asuhan” karya Abdul Muis?

Pelakunya:

  • Hanafi dan Corrie Du Bussiée (orang timur dan orang barat)

  • Du Bussiée: ayah Corrie

  • Ibu Hanafi

  • Rapiah: isteri Hanafi, pemberian ibunya

  • Sjafei: anak Hanafi dengan Rapiah

  • Sutan Batuah: ayah Rapiah

  • Piet: teman sekerja Hanafi

Cerita ini berawal terjadi di daerah Solok

Pada awal cerita ini, pengarang menggambarkan tentang pergaulan dua orang anak muda, yaitu Hanafi dan Corrie Du Bussiée. Merekalah pelaku utama dalam cerita ini.

Hanafi seorang pemuda Minangkabau yang telah merasa bebas lepas dari kekangan adat-istiadat negerinya; oleh karena sejak kecil sampai menjadi dewasa, ia dididik secara hidup orang Barat. Pada mulanya, orang tua Hanafi bermaksud supaya anaknya itu menjadi orang yang terkemuka dalam masyarakatnya, tetapi meleset, karena ternyata akhirnya menjadi sangat kebarat-baratan.

Corrie seorang gadis Barat yang cantik, yang sadar bahwa antara dirinya dan Hanafi ada terbentang perbedaan-perbedaan, dia orang Barat, sedangkan Hanafi orang Timur. Dia merasa lebih tinggi derajatnya, sedangkan Hanafi lebih rendah di depan mata bangsanya. Akan tetapi, ia sadar juga bahwa antara dirinya dan diri Hanafi itu ada tali batin yang menghubungkan jantung antara keduanya. Dengan demikian, terjadilah pergolakan dalam pikirannya antara perbedaan-perbedaan yang dibuat oleh manusia, yang berwujud kesombongan bangsa dengan perasaan yang diciptakan oleh Tuhan ialah percintaan. Pada akhirnya, otaknya dapat ditaklukkan oleh jantungnya, pikirannya dihancurkan oleh perasaannya.

Du Bussée, ayah Corrie berkebangsaan Prancis yang sudah pensiun dari jabatan arsitek. Istrinya adalah seorang perempuan Bumiputra di Solok, yang dikawininya di gereja. Corrie baru berumur enam tahun waktu ditinggalkan oleh ibunya. Ketika itu Du Bussée masih menjadi arsitek.

Selanjutnya, setelah tamat di sekolah rendah di Solok, bimbang pulalah hati ayahnya antara mengirimkan dia ke Padang ke Sekolah Mulo atau ke Betawi ke HBS (Hoogere Burger School, suatu sekolah menengah atas di zaman penjajahan) karena tidak sampai hati berpisah dengan anaknya.

Setelah Corrie berumur enam belas tahun barulah ia berpisah dengan ayahnya di pelabuhan Teluk Bayur, untuk melanjutkan pelajaran ke Betawi.

Corrie ketika berumur sembilan belas tahun, sudah berasa menjadi nona besar. Kecantikan parasnya sudah menyebabkan ia dikelilingi oleh sejumlah laki-laki, tua dan muda, yang berkenalan dengan dia.

Suatu ketika, Corrie bertanya, “Pa apakah halangan perkawinan orang Barat dan orang Timur?”

> Kawin campuran itu sesungguhnya banyak benar rintangannya, yang ditimbulkan oleh manusia juga, Corrie! Karena masing-masing manusia ada dihinggapi oleh suatu penyakit, yang boleh dinamakan penyakit kesombongan bangsa”.

Cerita selanjutnya, setelah tamat dari HBS Hanafi bekerja menjadi Komisaris pada kantor Asisten Residen Solok.

Lukisan kebarat-baratan seorang anak dan lukisan adat kebiasaan lama seorang ibu, bersama-sama tinggal dalam sebuah rumah; Hanafi menginginkan supaya rumahnya itu diatur seperti aturan barat, sedangkam ibunya tidak dapat menyesuaikan dirinya.

Yang sangat menyedihkan ibunya, selain dari sangat kebarat-baratan kelakuan anaknya itu, juga Hanafi kerap kali mencemoohkan dan mengejek adat lembaga yang sangat dimuliakan oleh orang tuanya.

Puncak-puncaknya ejekan dan cemoohan yang dilemparkan Hanafi terhadap ibunya ialah ketika dikatakan bahwa Hanafi akan dikemput oleh mamaknya, Sutan Batuah yang beranak tunggal pula, yaitu Rapiah.

Dalam pembicaraan perkawinannya dengan Rapiah, ibu Hanafi meminta pertolongan kepada seorang dukun, supaya Hanafi menurut kehendak orang tua.

Setelah seribu kali membantah dan menolak segala permintaan ibunya itu, akhirnya Hanafi menerima tawaran perkawinan itu, dengan alasan keharusan membayar utang uang dan utang budi kepada mamaknya; menebus badannya yang telah tergadai. Sama sekali bukanlah perkawinan berdasarkan cinta.

Rapiah tidak diperlakukan bagaimana seorang istri, tetapi seolah-olah seorang babu yang diberikan ibunya dengan paksa. Dari perkawinan yang demikian itu lahirlah Sjafei.

Baru saja Hanafi berhenti mendurhakai ibunya itu, tiba-tiba tangannya digigit anjing gila yang datang mendekati kursi kebun yang sedang diduduki Hanafi; ketika anjing itu sedang dikejar orang.

Gigitan anjing gila ini harus diobati di Jakarta. Oleh karena itu, berangkatlah Hanafi ke Jakarta untuk berobat.

Cerita selanjutnya, Corrie setelah memutuskan perhubungannya dengan Hanafi (karena Corrie memandang hina orang Melayu dalam suratnya), ayahnya meninggal. Akibatnya ia merasa terasing di dunia ini, dan timbullah pikirannya bahwa dia memerlukan pelindung. Ia tinggal di asrama di Jakarta. Selama ia belum berumur 21 tahun, ia masih dalam asuhan Weeskamer.

Tepat sekali ketika ia sudah bebas dari ikatan Weeskamer; Carrie bertemu kembali dengan Hanafi. Segala kejadian yang telah lampau dilupakannya dan kembali pada suasana persahabatan dan persaudaraan.

Pertemuan kembali itu, bukan saja mengembalikan persaudaraan dan persahabatan, tetapi lebih dari itu; mereka merencanakan untuk kawin.

Setelah Hanafi pindah pekerjaannya dari Solok ke Jakarta dan haknya telah dipersamakan dengan bangsa Belanda (staatblad Europeaan), kemudian mereka kawin. Kepada Rapiah, ia mengirimkan surat talak.

Baik ibu Hanafi maupun Rapiah merasa luka hatinya setelah menerima surat Hanafi itu; karena itu berarti Rapiah kehilangan suami, sedang ibunya kehilangan anak yang hanya satu itu.

Setelah ibu Hanafi dan Rapiah menetapkan tak akan berpisah-pisah lagi, mertua dan menantu itu berjanji akan sehidup semati dan penanggungan, maka pindahlam mereka dari Solok ke Kota Anau.

Perhatian mereka dicurahkan kepada pendidikan Sjafei, anak Hanafi, yang tak berdosa dalam perbuatan ayahnya yang serupa itu.

Cerita selanjutnya, sesudah dua tahun berlangsung perkawinannya, hidupnya terpencil dari pergaulan, karena teman-temannya menyisihkan diri dari mereka.

Dalam keadaan hidup demikian, sering sekali urat saraf Hanafi dan Corrie terganggu dan kesalahan sedikit saja, menjadi pertengkaran besar-besaran. Hanafi menuduh Corrie berhubungan dengan laki-laki lain, sedangkan Corrie tidak merasa senang akan tuduhan yang tak beralasan itu, kemudian ia meninggalkan Hanafi. Akibatnya terjadilah perceraian, masing-masing hidup sendiri-sendiri.

Untuk menghindari pertemuan kembali dengan HAnafi Corrie diberi pekerjaan sebagai pengurus rumah tumpangan bagi anak-anak di Semarang oleh seorang nyonya pension. Berangkatlah Corrie ke Semarang.

Cerita selanjutnya, meskipun perlakuan Hanafi demikian buruknya terhadap Rapiah, tetapi rapiah tetap setia dan selalu mengharapkan Hanafi kembali kepadanya. Hal ini membesarkan hati ibu Hanafi.

Cerita Selanjutnya.

Sepeninggal Corrie, Hanafi dengan susah payah baru mendapat tumpangan di rumah famili seorang Belanda, yaitu Piet teman sekerja Hanafi.

Piet telah menerima Hanafi di rumahnya dengan setulus-tulusnya, akan tetapi nyonyanya tidak demikian halnya. Ia memandang Hanafi sebagai seorang yang sesat: ia hanya terpandang kepada uang tumpangan sebanyak seratus rupiah saja.

Menurut pendapat Piet, Hanafi sungguh orang yang terpelajar, tetapi di dalam rasa dengan rasa, ia buta tuli. Oleh orang bumiputra tidak diterimanya, karena ia membuang bangsanya, sedangkan oleh orang Belanda pun perbuatannya itu masih dianggap sangat rendah.

Barulah ia sadar bahwa kekurangan ibunya itu, hanyalah ia tidak bersekolah; sedangkan nasihat-nasihatnya banyak sekali kebenarannya. Ialah yang tidak mendengar dan tidak pernah menerima segala nasihatnya itu.

Sadarlah sekarang Hanafi bahwa Rafiah itu adalah intan yang belum digosok, tetapi sayang ia tidak pandai menggosoknya; hingga barang yang berharga itu dibuang-buangnya disangka tak berharga.Di samping itu, ia sadar pula bahwa Corrie sesungguhnya berlian yang sudah digosok, tak ternilai harganya, tetapi si suami celaka juga yang tak pandai memakainya dan lenyaplah harta itu dari kandungannya.

Dalam menyesali dirinya demikian itu, teringatlah kepada Corrie.

Cerita selanjutnya. Hanafi mengambil keputusan untuk berangkat ke Semarang mendapatkan Corrie. Setibanya di Semarang ternyata Corrie sedang terserang penyakit kolera. Tak lama setelah pertemanannya dengan Hanafi, meninggallah Corrie.

Empat belas hari lamanya Hanafi tinggal dipelihara di rumah sakit Paderi di Semarang. Dalam waktu yang sekian lama, tiga hari lamanya ia tidak sadarkan diri , yaitu dari waktu jatuh pingsan melepas istrinya itu. Sejak itu, parangainya talk ubahnya seperti perangai orang gila.

Setelah keluar dari rumah sakit itu teruslah ia ke kuburan Belanda untuk melihat kuburan istrinya. Hanafi menunggui kuburan istrinya semalam, sebelum pulang ke Jakarta. Waktu paginya, ia pulang ke Jakarta.

Selanjutnya, setelah minta izin kepada induk semangnya di Jakarta, dan setelah Hanafi menjual barang-barangnya, pulanglah ia ke Padang. Di tempat inilah terjadi pertemuan yang tidak disangka-sangka antara Hanafi, ibunya Rapiah dan Sjafei, ketika mereka sedang melihat-lihat pasar malam.

Ketika itu Rapiah tak menghiraukan lagi Hanafi, bahkan direntakkannya Sjafei yang sedang didukung oleh Hanafi. Dengan cepat, larilah Rapiah menjauhi Hanafi.

Hal ini menunjukkan kepada Hanafi bahwa Rapiah sekarang bukan lagi minta dikasihani, melainkan minta diindahkan.

Rapiah dengan Corrie, sama-sama mulia hati, sama-sama tinggi derajat. Hanya seorang bunga dari Barat, yang seorang lagi bunga dari Timur. Masing-masing mengandung sifat sendiri. Sejak Hanafi mengetahui bahwa pintu rumah keluarganya sudah tertutup bagi dirinya, demikian juga nyinyik mamaknya sudah tidak mau lagi menerima Hanafi yang sudah menjadi orang Belanda, pikiran Hanafi makin tidak menentu, dan makin bingung. Hanya ibunya yang selalu mendampinginya.

Pada akhirnya ia sadar bahwa keadaannya yang demikian itu memberatkan ibunya. Ia putus asa. Oleh sebab itu, Hanafi mengakhiri hidupnya dengan minum banyak pil sublimat.

Penutup Cerita

Sjafei telah bersekolah di Jakarta. Jika sudah tamat, ia akan melanjutkan sekolahnya ke negeri Belanda.

Ibu Hanafi memerlukan benar menyembelih ayam, tiap-tiap kedatangan anak-anak sekolah dari Betawi. Pemuda-pemuda itu senang sekali datang berkunjung ke rumah orang yang peramah dan arif-bijaksana itu; dan banyaklah di antara mereka yang mendapat pelbagai nasihat dari ibu Hanafi, yang berhubungan dengan pakaian hidup. Banyaklah keluar pemandangan tentang kehidupan orang Timur yang sekali-kali janganlah menjadi sepuhan dari Barat.

Sjafei memperhatikan nasihat-nasihat itu dan senantiasa ia berjanji, sepulangnya dari negeri Belanda kelak akan kembali ke kampung meluku (membajak) sawah ibunya.

Setiap hari Jumát ibu Hanafi dengan Rapiah berziarah ke kubur Hanafi, membawa air dan bunga. Hanafi dikuburkan di Solok.

Catatan

  • Persoalan terpenting yang diketengahkan Abdul Muis dalam roman ini ialah perkawinan campuran antara orang Barat dengan orang Timur.

  • Pengarang berkesimpulan bahwa perkawinan campuran lebih banyak melaratnya daripada manfaatnya pada waktu itu.

Referensi

http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/8/unm-digilib-unm-andifatima-356-1-sejarah-a.pdf