Bagaimanakah Ringkasan Cerita "Di Bawah Lindungan Ka'bah" Karya Hamka?

image
Pada tahun 1927, ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Pengalaman naik haji memberi ilham bagi Hamka untuk lahirnya romannya yang pertama, yang bernama Di Bawah Lindungan Ka’bah.

Bagaimanakah ringkasan cerita Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka?

DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH

Pelakunya:

  • Hamid (yatim, kematian ayah)

  • Zainab ( anak Haji Djafar, seorang saudagar)

  • Saleh (sahabat)

  • Rosma (istri Saleh)

Hamid adalah seorang anak yang telah kematian ayah sejak kecil tinggal bersama dengan ibunya di Padang. Haji Djafar, tetangganya, adalah seorang saudagar yang baik hati, menyekolahkan Hamid bersama-sama dengan anaknya yang perempuan bernama Zainab. Keduanya secara bersama-sama disekolahkan sampai sekolah menengah. Kemudian Zainab dipingit oleh orang tuanya; dan Hamid melanjutkan sekolah pada sekolah agama di Padang Panjang.

Perubahan suasana terjadi setelah ayah Zainab meninggal dunia. Hamid yang sebelumnya leluasa datang ke rumah Zainab, kini tidak bisa lagi berbuat demikian. Namun, benih-benih cinta sudah mulai tumbuh antara Hamid dan Zainab.

Perkembangan selanjutnya, ibu Hamid pun meninggal dunia, maka tinggallah Hamid sebatang kara di dunia ini, ibu meninggal ayah pun lebih dahulu meninggal. Keadaan ini mengakibatkan perhubungan Hamid dengan Zainab bertambah sukar, namun api cinta antara keduanya makin membara.

Ibu Hamid sebelum meninggal, ia menasihati anaknya supaya api cintanya dipadamkan saja sebelum menimbulkan masalah. Ia mengingatkan anaknya supaya tahu akan hina dirinya sebagai anak pungut.

Hamid jika berhadapan dengan Zainab selalu memperlihatkan tingkah-lakunya sebagai seorang kakak kepada adik. Ketika Zainab menolak untuk dikawinkan dengan saudara sepupunya, ibunya meminta kepada Hamid untuk membujuk Zainab. Hal itu dilakukan Hamid dengan jujur, biarpun hatinya sendiri amat berat melakukannya. Hamid tidak berhasil atas bujukannya.

Dalam melukiskan perasaan, Hamka adalah seorang yang pandai. Cobalah siasat bagaimana halusnya ia dapat menggambarkan percakapan antara Hamid dan Zainab, tatkala Hamid disuruh ibu Zainab melunakkan hati anaknya itu:

“Bagaimana Zainab perkataanku!”

“Belum abang, saya belum hendak kawin,”

“Atas nama ibu, atas nama almarhum ayahmu”…

“Belum abang!”

“Aku sendiri yang meminta, adik!”

“Sampai hati abang memaksa aku?”

“Abang bukan memaksa engkau, adik ingatlah ibumu.”

Selanjutnya, Hamid meninggalkan Padang pergi ke Medan dan dari sana terus melalui Singapura, Bangkok, Basrah dan Nedjed sampai ke Mekkah.

Semasih berada di Medan, Hamid mengirim sepucuk surat kepada Zainab tanpa alamat pengirim. Di dalam surat itu ia secara samar-samar mengungkapkan isi hatinya, namun ia mendesak juga supaya Zainab rela kawin dengan saudara sepupunya.

Maksud Hamid ke Mekkah, berada di bawah lindungan Ka’bah kiranya luka hatinya yang dibawanya dari Padang dapat sembuh kembali. Luka yang hampir sembuh itu kambuh kembali setelah temannya yang bernama Saleh datang ke Mekkah dan menceritakan bahwa Zainab juga mencintainya. Tiada berapa lama berselang, datang berita dari istri Saleh bahwa Zainab telah meniggal karena menanggung rindu.

Setelah mendengar berita itu, Hamid sakit keras, juga karena menanggung rindu; dan ketika berada di bawah lindungan Ka’bah, ia menghembuskan nafas yang penghabisan.

Prof. Dr. Teeuw berpendapat bahwa roman Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah pelik karena beberapa hal, terutama karena keringkasannya sehingga seolah-olah hanya menyebutkan yang perlu-perlu saja. Dalam 45 halaman dibentangkan suatu cerita yang agak sukar susunannya. Kita berkenalan di situ dengan banyak sekali orang; dan bermacam-macam hal yang terjadi di situ. Sifat yang ringkas itu tidak pernah menjadikan ceritanya kurang jelas.

Hamka sungguh-sungguh pandai memilih yang penting-penting, tepat pada tempatnya diselipkannya surat-surat sehingga tidak perlu lagi dia membuatkan berbagai-bagai penjelasan, sedangkan isi surat-surat itu kadang-kadang mengharukan. Cerita itu memang tidak bebas dari perbuatan merayu-rayu, tetapi justru karena keringkasannya, tidak pula cerita itu menimbulkan rasa bosan atau boyak (1959 : 190).

H. B. Jassin (dalam Hamzah 1984 : 33) berpendapat bahwa di dalam karangan Hamka, Di Bawah Lindungan Ka’bah, banyak diselipkan pikiran-pikiran yang tinggi, ajaran-ajaran ke-Islaman dan sindiran-sindiran atas adat masyarakat, yang menurut Hamka tidak baik sama sekali atau berlawanan sekali dengan ajaran Islam.

Menurut Hamzah (1984 : 33), tema roman Hamka Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah hubungan cinta antara dua orang manusia yang berlainan jenis menghadapi kegagalan karena adanya perbedaan dalam masyarakat yang disebabkan oleh harta, pangkat, dan turunan.

Hamka banyak sekali mempergunakan gaya yang merayu-rayu dan sentimental; gaya ratapan yang sedih-sedih; dan permohonan yang ditunjukkan kepada Tuhan. Gaya yang demikian itu adalah hasil timbaan dari pengalaman hidupnya sendiri, juga merupakan pengaruh dari Musthafa Luthfi al-Munfaluthi.

Perhatikanlah gaya bahasa Hamka dalam wujud doa di bawah ini.

“Ya Rabbi, Tuhanku Yang Maha Pengasih dan Penyayang: Bahwasanya, di bawah lindungan Ka’bah, rumah Engkau yang suci dan terpilih ini, saya menadahkan tangan memohon karunia. Kepada siapakah saya akan pergi memohon, kalau bukan kepada Engkau, Ya Tuhanku! Tidak ada seutas talipun tempat saya bergantung, lain daripada tali Engkau; tidak ada satu pintu yang akan saya ketuk, selain daripada pintu Engkau. Berilah kelapangan jalan buat saya, hendak pulang ke hadirat Engkau; saya hendak menuruti orang-orang dahulu dari saya , orang-orang yang bertali hidupnya dengan saya. Ya Rabbi, engkaulah Yang Mahakuasa, kepada Engkaulah kami."

Referensi

http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/8/unm-digilib-unm-andifatima-356-1-sejarah-a.pdf