Bagaimanakah Perkembangan Agama Islam di Pulau Sumatera?

Sejarah Islam

Bagaimanakah perkembangan agama Islam di pulau Sumatera?

Sumatera Utara memiiki letak geografis yang strategis. Hal ini membuat Sumatera Utara menjadi pelabuhan yang ramai, menjadi tempat persinggahan saudagar-saudagar muslim Arab dan menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu. Sebelum masuk agama Islam ke Sumatera Utara, masyarakat setempat telah menganut agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan kabar yang menyebutkan bahwasanya Sultan Malik As-Shaleh, Sultan Samudera Pasai pertama, menganut agama Hindu sebelum akhirnya diIslamkan oleh Syekh Ismael.

Sama halnya dengan Sumatera Utara, Sumatera Selatan juga memiliki letak geografis yang strategis. Sehingga pelabuhan di Sumatera Selatan merupakan pelabuhan yang ramai dan menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu. Oleh karena itu, otomatis banyak saudagar-saudagar muslim yang singgah ke pelabuhan ini.

Sebelum masuknya Islam, Sumatera Selatan telah berdiri kerajaan Sriwijaya yang bercorak Buddha. Kerajaan ini memiliki kekuatan maritim yang luar biasa. Karena kerajaannya bercorak Buddha, maka secara tidak langsung sebagian besar masyarakatnya menganut Agama Buddha.
Letak yang strategis menyebabkan interaksi dengan budaya asing, yang mau tidak mau harus dihadapi. Hal ini membuat secara tidak langsung banyak budaya asing yang masuk ke Sriwijaya dan mempengaruhi kehidupan penduduknya dan sistem pemerintahannya. Termasuk masuknya Islam.

Bangsa Indonesia yang sejak zaman nenek moyang terkenal akan sikap tidak menutup diri, dan sangat menghormati perbedaan keyakinan beragama, menimbulkan kemungkinan besar ajaran agama yang berbeda dapat hidup secara damai. Hal-hal ini yang membuat Islam dapat masuk dan menyebar dengan damai di Sumatera selatan khususnya dan Pulau Sumatera umumnya.

Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perniagaan yang terpenting di Nusantara pada abad ke- 7 M. Sehingga Sumatera Utara menjadi salah satu tempat berkumpul dan singgahnya para saudagar-saudagar Arab Islam. Dengan demikian dakwah Islamiyah berpeluang untuk bergerak dan berkembang dengan cepat di kawasan ini.

Hal ini berdasarkan catatan tua Cina yang menyebutkan adanya sebuah kerajaan di utara Sumatera namanya Ta Shi telah membuat hubungan diplomatic dengan kerajaan Cina. Ta Shi menurut istilah Cina adalah istilah yang diberikan kepada orang-orang Islam. Dan letaknya kerajaan Ta Shi itu lima hari berlayar dari Chop’o (bagian yang lebih lebar dari malaka) di seberang selat Malaka. Ini menunjukkan Ta Shi dalam catatan tua Cina itu ialah Ta Shi Sumatera Utara, bukan Ta Shi Arab. Karena, Ta Shi Arab tidak mungkin di capai dalam waktu lima hari.

Islam semakin berkembang di Sumatera Utara setelah semakin ramai pedagang – pedagang muslim yang datang ke Nusantara, karena Laut Merah telah menjadi Laut Islam sejak armada rome dihancurkan oleh armada muslim di Laut Iskandariyah. Disamping itu , terdapat satu factor besar yang menyebabkan para pedagang Islam Arab memilih Sumatera Utara pada akhir abad ke- 7 M. Yaitu karena terhalangnya pelayaran mereka melalui Selat Malaka karena disekat oleh tentara laut/Sriwijaya kerajaan Budha sebagai pembalasan atas serangan tentara Islam atas kerajaan Hindu di Sind. Maka terpaksalah mereka melalui Sumatera utara dengan pesisir barat Sumatera kemudian masuk selat Sunda melalui Singapura menuju Kantun,

Referensi :

Perkembangan Islam Di Sumatera Timur

Kesultanan Asahan merupaka sebuah kerajaan yang berdiri pada tahun [1630] di wilayah yang mencakup [Kota Tanjung Balai,] [Kabupaten Asahan], [Kabupaten Batubara,] [Kabupaten Labuhanbatu Utara,][Kabupaten Labuhanbatu], dan [Kabupaten Labuhanbatu Selatan]. Kesultanan ini ditundukkan Belanda pada tahun [1865]. Kesultanan Asahan melebur ke dalam negara [Republik Indonesia] pada tahun [1946.]

Perjalanan [Sultan Aceh](Sultan Iskandar Muda) ke [Johor] dan [Malaka]) tahun dapat dikatakan sebagai awal dari sejarah negeri [Asahan.] Dalam perjalanan tersebut, rombongan raja beristirahat di sebuah kawasan di hulu sebuah sungai. Sultan kemudian menelurusi sungai itu hingga menemukan sebuah tanjung (pertemuan Sungai Asahan dengan Sungai Silau), kemudian bertemu dengan Raja Simargolang. Di tempat itu juga Sultan Iskandar Muda mendirikan sebuah pelataran sebagai “Balai” untuk tempat berkumpul dan bermusyawarah yang kemudian berkembang menjadi perkampungan. Perkembangan perkampungan ini cukup pesat karena sebagai pusat pertemuan perdagangan dari [Aceh] dan [Malaka,] dan sekarang dikenal dengan nama " Kota Tanjung Balai”. Sultan takjub dan heran melihat keindahan tempat ini, (sultan berkata:”daerah seindah ini tapi tidak ada penghuninya?”.

Saat istirahat, Sultan melihat banyak tumbuh rumput berdaun lebar di pinggir aliran sungai. Rumputnya memiliki bulu yg tebal dan tajam dan bisa mengasah rencong, pisau, pedang, tombak bahkan bisa membersihkan mariam dari karat akibat karosi air laut. Menurut sejarah, karena rumput yang unik itulah Sultan menamakan daerah itu dengan sebutan Asahan.

Dalam catatan sejarah kesultanan Asahan, Asahan pernah di perintah sebelas orang raja yang dimulai dari raja pertama Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah pada tahun 1620 sampai dengan Sulthan Syuaibun Abdul Jalil Rahmad Syah tahun 1933 M yang meninggal dunia tahun 1980 M di Tanjungbalai. Sampai pada tahun 1946, Asahan merupakan salah satu Kesultanan Melayu, tetap eksis dengan struktur kesultanan yang tidak jauh berbeda dari struktur negeri-negeri Melayu di semenanjung Malaka. Berdasarkan perintah Sultan, bahwa seluruh masyarakat yang tinggal atau merantau ke Asahan harus masuk Melayu (Islam).

Di sini terlihat bahwa diantara kesuksesan ulama dalam menyebarkan Islam disebabkan oleh hubungan dekat mereka dengan Sultan, baik melalui hubungan perkawinan, maupun sebagai penasehat kerajaan. Selain itu, Sultan sanagat berperan penting dalam transformasi kerajaan yang berdasarkan golongan tertentu menjadi kerajaan sentralistik yang berdasarkan ikatan darah. Ikatan tersebut sangat berpengaruh dalam proses Islamisasi berbagai suku yang datang ke Asahan. Sampai pada tahun 1946, Asahan merupakan salah satu Kesultanan Melayu, tetap eksis dengan struktur kesultanan yang tidak jauh berbeda dari struktur negeri-negeri Melayu di semenanjung Malaka. Namun pada akhir 1946, sistem kerajaan Asahan digulingkan oleh sebuah pergerakan sosial anti kaum bangsawan dalam sebuah Revolusi Sosial.10

Walaupun pemerintahan kesultanan Asahan berakhir ketika terjadi Revolusi Sosial 1946, namun sampai saat ini daerah Asahan tetap dikenal sebagai daerah Melayu dan mayoritas masyarakat beragama Islam.

Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Asahan

Penduduk asli Asahan merupakan suku Batak Toba yang menempati daerah sepanjang Sungai Asahan. Masyarakat Batak ini merupakan keturunan Batak Toba yang bermigrasi dari daerah asalnya (Danau Toba, dan lainnya), dan kemudian menetap tinggal di Asahan. Mereka tinggal di Asahan untuk mencari lahan pertanian baru akibat semakin sempitnya lahan di sekitar Danau Toba. Ada tiga marga Batak Toba di Asahan yang merupakan suku asli, yaitu Margolang, Nahombang dan Pane (Sitorus).

Menurut Tengku Yose Rizal (Ketua PB MABMI Sumut), orang Batak Toba yang ada di Asahan ini adalah penduduk dari bukit yang sengaja turun dengan perahu menyusuri pinggir sungai sampai ke Bandar Pulo. Mereka membawa hasil tanaman rempah - rempah untuk di tukar dengan kebutuhan lainnya di Bandar Pulo.11 Ada beberapa alasan mereka turun dari bukit:

  • Desakan ekonomi akibat makin sulitnya kehidupan di tanah asal suku Batak .

  • Menukar hasil tanaman rempah – rempah dengan garam, ikan, dan kebutuhan lainnya.

  • Daerah perbukitan banyak yang tandus, sulit untuk ditanami.

Akibat lama bermukim di Asahan (Bandar Pulo), penduduk Batak Toba merasa senang tinggal di pinggir sungai Asahan, selain tanahnya yang subur, mudah mendapat kebutuhan sehari-hari seperti ikan dan lainnya. Akhirnya mereka menetap di Bandar Pulo, kemudian mendirikan sebuah perkampungan dengan pimpinan seorang Raja Si Margolang. Sampai akhirnya ketika daerah ini dibawah kekuasaan sultan Aceh (Sultan Iskandar Muda), dan kemudian dipimpin oleh putranya yang menjadi Raja Asahan I yaitu Sultan Abdul Jalil Rahmadsyah. Penduduk Batak Toba kemudian ingin menetap dan memiliki tanah serta rumah sendiri di daerah ini. Maka mereka pun memohon kepada Sultan agar di beri sebidang tanah untuk bercocok tanam dan tempat tinggal. Sebagaimana dituturkan bapak Drs. H. arifin:

Batak Toba: Sultan, “Leon ma di hami tanoi sotik” (Wahai Sultan, berilah kami tanah sedikit).

Sultan : “Boi, ala masuk Melayu Maho”. (boleh, tapi masuk Melayu la kalian)12

Sejak saat itu penduduk Batak Toba yang telah lama menetap di kota Tanjungbalai, masuk Melayu (masuk Islam), berbudaya dan berbahasa Melayu serta hidup dengan nilai budaya Melayu. Selain itu, mereka juga menghilangkan identitas Batak nya (marga), dan hidup sebagai orang Melayu, sebagaimana penuturan bapak Arifin “ Saya memang orang batak ( Marpaung), tapi adat budaya yang saya pakai adalah adat budaya Melayu, maka saya orang melayu, kareana definisi Melayu bukan keturunan, tapi adat budaya yang dipakai.”

Namun ketika terjadi Revolusi Sosial pada tahun 1946 di Sumatera Timur, terjadi pergeseran dalam masyarakat, sebagian masyarakat yang berasal dari suku Batak, kembali memakai marga di belakang namanya, walaupun awalnya hanya satu huruf diakhir nama (S: Simargolang misalnya). Kemudian di awal tahun 1960-an masyarakat mulai memakai marga dibelakang namanya, misalnya Arsyad Sitorus. Hal ini akibat banyaknya keturunan Sultan yang di bunuh, menimbulkan rasa ketakutan masyarakat mengaku sebagai suku Melayu (berhubungan dengan keturunan sultan).

Namun, walaupun mereka telah memakai kembali identitas suku aslinya, tapi sebagian besar dari masyarakat tersebut tetap tidak berbahasa Batak maupun budaya Batak. Mereka tetap berbahasa Melayu serta memakai nilai-nilai budaya Melayu, seperti dalam resepsi perkawinan dan acara-acara lain. Hal ini berlangsung sampai saat ini.

Strategi Komunikasi Politik Sultan

Islam masuk dan berkembang di Asahan dibawa oleh Sultan aceh (Sultan Iskandar Muda) yang ketika dalam perjalanan menuju Johor dan Malaka, singgah sebentar untuk beristirahat di hulu sungai Asahan, yang akhirnya membawa budaya Melayu (Islam) di Asahan sampai saat ini. Pendirian beberapa kerajaan Melayu (Islam) di pulau Sumatera, adalah bukti begitu kuatnya pengaruh Islam di negeri ini. Pada masa pemerintahannya, Sultan mewajibkan kepada siapa pun yang ingin tinggal menetap di daerah kekuasaannya, harus masuk Melayu (berbudaya Melayu, berbahasa Melayu, dan beragama Islam).

Hal ini sejalan dengan teori Ibn Khaldun tentang perkembangan sebuah peradaban/masyarakat sebagai berikut: faktor perkembangan masyarakat disebabkan karena adanya perbedaan tata pemerintahan. Penguasa memiliki peran besar dalam membentuk perkembangan masyarakat, sampai kepada masalah agama mereka lebih cenderung mengikut kepada penguasa/raja. “Manusia mengikuti agama raja”.

Berdasarkan teori komunikasi politik yang digunakan dalam penelitian ini, terlihat jelas bahwa komunikasi yang terjadi diantara seorang pemimpin dan rakyatnya. Hal ini terlihat jelas dalm proses komunikasi yang terjadi antara sultan Aceh dan raja Margolang, sangat ampuh mengubah situasi di daerah Asahan. Dari proses ini terjadi rasa saling menghormati bukan disebabkan status sosial melainkan didasarkan pada anggapan bahwa setiap manusia berhak, pantas, dan wajar untuk dihargai, serta dihormati. Seorang penguasa / pemimpin (Sultan) dapat mempengaruhi masyarakat nya dengan komunikasi politik yang baik.

Komunikasi yang dilakukan sultan membentuk masyarakat yang harmonis, selain faktor keterbukaan, otoritas, kemampuan bernegosiasi, menghargai kebebasan dan rahasia antar anggota masyarakat. Dengan adanya komunikasi yang efektif dapat mengarahkan masyarakat dalam mampu mengambil keputusan, mendukung perkembangan daerah, serta kemandirian dan lain - lain.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa komunikasi merupakan faktor yang penting bagi perkembangan sebuah kelompok budaya dalam masyarakat, karena ketiadaan komunikasi dalam suatu kelompok akan berakibat fatal seperti timbulnya perilaku menyimpang. Komunikasi yang efektif perlu dibangun dan dikembangkan dalam masyarakat. Beberapa faktor yang menentukan sebuah komunikasi itu efektif, yaitu :

  1. Konsistensi

Informasi yang disampaikan secara konsisten akan dapat dipercaya dan relatif lebih jelas dibandingkan dengan informasi yang selalu berubah. Ketidak konsistensian orang lain bingung dalam menafsirkan informasi tersebut. Hal ini sebagaimana konsistennya sultan dengan ucapan yang disampaikan di depan masyarakat Asahan.

  1. Ketegasan (Assertiveness)

Ketegasan tidak berarti otoriter ketegasan membantu meyakinkan orang lain atau kelompok yang lain bahwa komunikator benar – benar meyakini nilai atau sikapnya. Bila perilaku seorang pemimpin ingin ditiru oleh masyarakat, maka ketegasan akan memberi jaminan bahwa mengharapkan orang lain berperilaku yang sesuai dengan harapan.

  1. Percaya (Thurs)

Faktor percaya (Thurs) adalah yang palig penting karena percaya menentukan efektifitas komunikasi, meningkatkan komunikasi interpersonal karena membuka saluran komunikasi, memperjelas pengiriman dan penerimaan informasi serta memperluas peluang komunikan untuk mencapai maksudnya, hingga kepercayaan pada orang lain akan menghambat perkembangan hubungan interpersonal yang baik.

Sikap Sultan yang konsisten dengan ucapan dan perintahnya, seperti: wajib masuk Melayu (Islam) bagi masyarakat yang berada dibawah kekuasaannya. Ketegasan akan hal ini dibuktikan dengan kesanggupannya mendirikan sebuah pemerintahan yang memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyakatnya. Hal terakhir adalah kepercayaan yang ditanamkan Sultan dalam hati rakyat akan terhadap dirinya (Sultan). Sehingga segala perintah akan dipatuhi oleh masyarakat.

Komunikasi antara Sultan dan masyarakat Asahan ini juga mengalami hambatan dan gangguan, karena masyarakat asli yang ada Asahan menggunakan bahasa Batak Toba dan Karo, sedangkan Sultan berbahasa Melayu/Aceh. Sehingga bisa terjadi kesalahpahaman antara komunikan dengan komunikator, namun hal ini bisa diatasi dengan bahasa non verbal (simbol dan isyarat).

Komunikasi non verbal sangat menentukan dalam keefektifan penyampaian pesan. Komunikasi tidak hanya lewat tatap muka saja. Proses komunikasi bisa menjadi lebih efektif dengan peran media. Sejak dulu media untuk berkomunikasi sudah digunakan oleh manusia, contohnya Balai. Balai yang dibangun Sultan merupakan salah satu bentuk media komunikasi tradisional yang digunakan masyarakat perkampungan untuk tempat berkumpul dan menyebarkan informasi ke seluruh penduduk kampung dalam hal apapun.

Demikianlah strategi komunikasi politik Sultan dalam menyebarkan Islam dan budaya Melayu pada masyarakat Asahan, dan sampai saat ini Islam merupakan agama mayoritas di Asahan. Berdasarkan penelitian dilapangan terdapat berapa faktor penyebab Islam tetap berkembang pesat sampai saat ini di Asahan, yaitu:

  1. Faktor agama, Ajaran Islam yang ditanamkan Sultan pada masyarakat. membuat mereka enggan kembali ke agama asal mereka.

  2. Faktor perkawinan, sebagian besar dari keturunan Batak Toba yanag ada di Asahan menikah dengan keturunan Sultan ( bangsa Melayu).

  3. Faktor Lingkungan, bukan hanya keturunan Batak Toba, etnis lain (Karo, Jawa, Minang ) yang menetap di Asahan juga hidup dengan adat istiadat dan budaya Melayu, sehingga lingkungan sekitar hanya mengenal budaya Melayu, dalam semua segi kehidupan mulai kelahiran, perkawinan, dan lain-lain.

  4. Pemerintah memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam proses penyebaran di Asahan. Sampai saat ini pemerintah tetap mempertahankan budaya Melayu dan Islam sebagai agama di Asahan.

Demikianlah besarnya pengaruh Budaya Melayu pada masyarakat Asahan sampai saat ini. Sehingga tidak salah jika salah seorang pakar mengatakan bahwa ketika kita bicara Melayu berarti bicara Islam.