Bagaimanakah Pandangan Antropologi Sastra terhadap Pengalaman Imajinatif dan Permainan Politik?

image
Asumsi antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan yang sebagian besar diperoleh dari pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun kolektif.

Bagaimanakah pandangan antropologi sastra terhadap pengalaman imajinatif dan permainan politik?

Sastra dan antropologi diperoleh melalui interaksi kejadian sehari-hari, bahkan perjuangan di lapangan ketika mengumpulkan data. Sebelum menulis, sastrawan pun memerlukan data yang dikemas secara imajinatif. Sastrawan yang kaya data akan memiliki karya jauh lebih berbobot dan menarik banyak pihak. Begitu pula antropolog yang kaya data, etnografinya semakin tepercaya.

Menurut hemat saya, ini adalah proses yang sangat produktif yang saya alami secara subjektif, adakalanya emosional. Emosi banyak berperan dalam ekspresi kehidupan manusia. Orang kreatif tentu tidak lepas dari permainan emosi yang terkendali. Orang kreatif biasanya mampu membentuk penelitian ke arah proses produksi dan pengalaman pribadi dalam karya sastra dan etnografi. Sekarang begitu jelas bahwa menulis sastra dan etnografi adalah tindakan politik.

Mereka yang mengklaim bahwa karya sastra tidak politis atau bahwa antropologi interpretatif humanistik, tidak berurusan dengan isu-isu politik, jelas keliru karena setiap tindakan representasi apa pun secara inheren bermuatan politik (Bruner, 1993:6). Muatan politik itu merupakan sebuah refleksi budaya dalam sastra. Budaya dan politik adalah dua hal yang saling mengisi, bahkan tindakan sastrawan yang memihak pada segmen kehidupan pun sudah politis.

Ketika pengalaman pribadi masuk dalam karya sastra, itu sebenarnya sudah bernuansa politik. Sastra kadang-kadang memprovokasi etnis tertentu. Sastra bermuatan hal-hal yang menaklukkan orang lain. Penelitian Ahimsa Putra (2001:261-265) terhadap novel Bawuk, Sri Sumarah, dan Para Priyayi karya Umar Kayam menjadi bukti bagaimana seorang novelis hendak mengungkap nalar Jawa berhadapan dengan PKI. Tendensi politik Umar Kayam tentu saja amat halus dan tersembunyi. Umar Kayam secara diam-diam menyoroti PKI. Begitu pula Wiji Tukul yang dalam karya-karya selalu menyoroti Orde Baru. Bahayanya adalah saat menempatkan diri pribadi ke dalam teks, sastrawan kadang-kadang mendominasi sehingga karya menjadi narsis dan egois. Narsisisme dan egoisme sah-sah saja dalam wawasan antropologi sastra sebab sastrawan memang figur yang pandai berolah budaya.

Memang tidak ada yang menganjurkan bahwa etnografi dan sastra harus memanjakan diri. Tantangannya adalah untuk mengembalikan etnografer dan sastrawan andal masuk ke dalam teks, tetapi tidak sampai batas sehingga jauh dari realitas. Tujuannya adalah keseimbangan yang mengurangi kesenjangan antara subjek dan objek agar peneliti antropologi sastra tidak terkecoh. Peneliti antropologi sastra perlu berbekal pengalaman budaya ketika menyajikan etnografi karena informan sering bersikap kreatif dan aktif. Etnografer dan peneliti antropologi sastra dapat terlibat dalam dialog dengan informan, misalnya ada dialog yang intim di lapangan antara orang-orang itu. Para informan dapat dilihat sebagai pemberi informasi canggih, berpengetahuan, makhluk kosmopolitan, bahkan sebagai rekan penulis, bukan hanya sebagai orang biasa yang pengetahuannya primitif.

Selanjutnya, penulis dapat berbicara melalui narator secara langsung sebagai karakter dalam pekerjaan atau melalui beberapa karakter, atau satu karakter dapat berbicara dalam banyak suara. Penulis dapat datang dan kemudian pergi keluar dari pekerjaan, dapat berubah dalam diskursus itu, atau apa pun bentuknya. Dalam teks yang berasal dari lapangan, kita bisa melibatkan informan sebagai orang-orang yang menulis tentang bagaimana sebuah informasi diperoleh pada saat yang sama. Tidak ada alasan lagi bahwa antropolog dan informan harus menghuni dunia yang terpisah dari ilmu pengetahuan dan agama.

Teks etnografi dan sastra jelas seperti dalam kehidupan, tidak perlu konsisten atau berbicara dengan satu suara. Teks itu dengan sendirinya berlapis-lapis, banyak hal yang hendak disuarakan. Hari ini mungkin menjadi penggugah, mengekspresikan perasaan bagi kita dan mereka untuk menangkap drama kehidupan sosial. Maka dari itu, etnografi dapat berisi narasi atau sarana cerita yang dibangun. Etnografi pun boleh dikatakan sebagai fiksi dalam arti yang palsu atau tidak nyata.

Etnografi kontemporer cenderung disebut sebagai etnografi realis. Hal itu membuat penulis lebih mudah untuk menerima kembali jawaban secara politik. Teks etnografi dan sastra selalu berurusan dengan politik. Dominasi kekuasaan yang memelintir makna adalah hal biasa. Dalam modus tradisional, etnografer harus menekan segmen dan menyamarkan bagian dari diri sendiri, sedangkan sekarang, etnografer dapat merebut kembali bagian yang sedang diimajinasikan, baik dalam bidang sastra maupun ilmiah, atau dapat menggunakan salah satu dalam pelayanan yang lain. Diri yang sebelumnya tersegmentasi dapat datang bersama- sama sebagai pengalaman pribadi dan profesional sehingga menjadi selaras. Tidak perlu memisahkan memoar dari etnografi, tidak perlu untuk memalsukan, menindas, dan mendistorsi bagian dari diri etnografis, menjadi mesin perekam mekanik. Kita bisa membuang penyamaran dan pemalsuan, dan dalam hal demikian, diri kembali bersatu dan bebas untuk menjadi diri sendiri.

Etnografi dapat mengejar lebih lanjut pertanyaan tentang subjek etnografi dalam kaitannya dengan objek asli dengan memeriksa tiga monograf etnografi, yaitu pendongeng, orang suci, dan informan kunci. Masing-masing dari ketiganya tampak melakukan ekspresi etnografi sebagai sebuah cerita tentang budaya lain, tentang agama Hindu Teachi, tempat kerja di Jepang, dan identitas Badui. Meskipun demikian, yang paling penting dalam tulisan ini adalah bagaimana dirinya berkaitan dengan objek penelitiannya dalam setiap kasus.

Dalam etnografi, Narayan, Kondo, dan Lavie (Bruner, 1993:7–8) menyatakan bahwa mereka tidak berbicara sebagai orang luar yang objektif, berdiri di atas keributan, juga tidak mengadopsi suara profesor otoriter dari ilmuwan terkemuka. Hal ini menunjukkan bahwa etnografi bukanlah ilmu dan teori yang objek aslinya berposisi sebagai data. Makna di sini tidak berada di atas teks atau hanya dalam teks. Teks secara meyakinkan adalah teks, tetapi tidak mendominasi teks.

Dalam karya-karya ini,

  1. Etnografer menjadi bagian dari teks yang dia produksi
  2. Berinteraksi dengan orang-orang belajar pada saat yang sama bahwa peran
  3. Etnografer itu sendiri dihasilkan oleh praktik-praktik diskursif antropologi posmodern.

Akan tetapi, orang-orang belajar muncul dengan jelas sebagai persor dengan nama dan identitas dan kepribadian. Etnografer ini bergabung dengan mata pelajaran mereka karena mereka predicaments per musiman, dan mereka mengaburkan perbedaan antara subjek dan objek. Kirin Narayan penelitian Swamiji, Hindu dalam kaitannya dengan orang suci. Naraya memiliki ayah dan ibu Gujarati Jerman-Amerika, dia adalah setengah Amerika. Dia dibesarkan di India, tetapi telah tinggal di Amerika Serikat sejak dia berumur enam belas tahun. Sebagai lulusan Berkeley Nopember dia datang ke India sebagai pengamat asing, tapi dia telah mengenalnya di Swamiji, karena dia adalah anak dari sepuluh bersaudara. Jadi dia juga kembali ke India sebagai putri dari keluarga lokal. Dia dengan titik merah di dahinya melaporkan bahwa dia tidak terlihat paling benar. Dia terlalu adil dan terlalu tinggi idealismenya.

Dari kasus etnografi demikian, dapat dinyatakan bahwa pengalaman informan memang penting. Pengalaman imajinatif di lapangan akan dipadu dengan suara informan. Yang terungkap dalam etnografi dan sastra kadang-kadang jauh dari realitas di lapangan. Maka dari itu, tugas antropologi sastra adalah membedah apa saja yang tersembunyi di balik lapis-lapis tersembunyi itu. Kreativitas sastrawan dan etnografer seakan-akan akan menentukan seberapa jauh realitas dan fiksionalitas karya itu.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf