Bagaimanakah Konsep Tradisi Lidan dan Tradisi Tulis?


Tradisi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat tidak hanya dalam berbentuk tulis atau pun lisan saja, melainkan keduanya bisa berkembang di masyarakat.

Bagaimanakah konsep tradisi lisan dan tradisi tulis tersebut?

Antara Tradisi Lisan dan Tradisi Tulis

Menurut Goody (Angrosino, 1993:75), menulis bukan hanya ihwal kenyamanan batin, melainkan merupakan media komunikasi yang objektif dan upaya mempertahankan retorika dalam tanda-tanda. Dalam pandangan Goody, bahasa dalam masyarakat yang belum melek huruf dikembangkan dalam “hubungan intim dengan pengalaman masyarakat” dan belajar melalui tatap muka komunikasi. Dalam wacana lisan, kesadaran kata sebagai entitas yang terpisah terbatas. Namun, dalam bentuk tertulis, kata-kata “dapat menghidupkan suasana” sehingga proses ini juga disebut sebagai “dekontekstualisasi wacana”. Lebih luas lagi, menulis merupakan usaha mempertahankan tradisi budaya tempat individu berasal.

Tradisi demikian dapat direkam untuk referensi nanti. Seperti tindakan pelestarian budaya yang jelas memiliki keuntungan, tetapi juga berfungsi untuk memisahkan individu dari pernyataan langsung dari tradisi itu. Individu dapat menganalisis tradisi pada jarak memihak, bukan secara pribadi terlibat dalam transmisi. Karena cocok untuk analisis, tradisi tertulis cenderung menjadi lebih heterogen dan idiosinkretik melalui perjalanan waktu panjang. Berbeda dari tradisi lisan, sebaliknya, cenderung ke arah diformalkan, komunikasi, bahkan stereotipe merupakan bantuan untuk transmisi oleh memori.

Meskipun ada upaya formalisasi sastra lisan, bahasa lisan cukup rentan perubahan, terutama disebabkan oleh tindakan komunikasi interpersonal. Sebaliknya, bentuk tertulis mencapai standardisasi resmi. Sastra yang ditulis dapat menghasilkan karya “klasik” serta tulisan-tulisan baru yang bervariasi dari klasik ke modern dalam hal bentuk dan isi. Dalam masyarakat yang belum melek huruf, setiap orang dapat terlibat dalam misi tradisi lisan. Akan tetapi, dalam masyarakat terpelajar, orang dihadapkan dengan budaya permanen, versi rekaman dari masa lalu, dan keyakinannya.

Dengan kata lain, tujuan kehadiran fisik dari kata-kata tertulis mendorong skeptisisme tentang ide-ide yang diterima, karena pembaca tidak selalu memiliki kepentingan pribadi dalam penciptaan atau pemeliharaan kata. Akibatnya, budaya melek huruf datang ke nilai yang mampu menjelaskan alternatif yang lebih daripada kontinuitas yang terkandung dalam tradisi lisan.

Menurut Ratna (2005:276–277), tradisi tulis tidak berpengaruh terhadap keberadaan sastra lisan. Artinya, meskipun tradisi lisan telah ditranskripsikan ke dalam tulisan, tradisi tersebut tetap hidup menurut mekanismenya masing-masing. Oleh karena itu, masyarakat memilki pengaruh besar terhadap perkembangan tradisi lisan. Tradisi lisan adalah tradisi komunikasi langsung yang memungkinkan terjadinya interaksi antara pengirim dan penerima pesan. Esensi tradisi oral adalah proses komunikasi, bukan proses teknologinya.

Dalam meneliti tradisi lisan yang di dalamnya banyak memainkan sastra lisan, antropologi sastra perlu menyelami pengaruh budaya di seputar tradisi lisan itu. Budaya masyarakat sering mewarnai kehidupan sastra lisan. Terlebih lagi jika sastra lisan itu telah ditulis, disebarkan, besar kemungkinannya terjadi penambahan dan pengurangan di sana-sini.

Dengan menulis, itu menjadi mungkin, lebih ideal setidaknya, bahkan bahasanya “sempurna” sehingga mudah menyampaikan gagasan pribadi. Wacana yang dapat menyampaikan makna karena isyarat paralinguistik tersedia dalam tatap muka komunikasi seharusnya menjadi lebih formal dalam konteks interaktif. Terjemahan awal dari bahasa sehari-hari ke bentuk sastra yang ditulis berusaha untuk melestarikan semua tindak gramatikal, makna kontekstual dari pidato asli. Akan tetapi, karena terlihat membingungkan pada halaman cetak, wacana lisan bergerak menuju bentuk tertulis standar.

Menurut Scollon dan Scollon (Benson, 1993), dekontekstualisasi disertai oleh penciptaan struktur, informasi eksplisit gramatikal, dan leksikal yang ditandai dalam informasi baru. Menurut Ratna (2005:265), informasi baru yang ditulis tergantung bagaimana para narator melihat fakta. Fakta yang menjadi bahan fiksi atau narasi bersifat subjektif. Fakta tergantung pada seorang narator yang menghasilkan keberagaman aspek kultural.

Seorang narator juga seorang kreator sehingga mampu mengolah fakta menjadi karya. Sastrawan dan penyair adalah kreator handal. Fiksionalisasi dari peran penulis, penonton, dan autobiografi dari diri sendiri untuk memasukkan lebih sederhana. Kata-kata yang tertulis dapat membangkitkan suara dari rakyat, tetapi tidak dapat menangkap kembali rasa orang-orang yang menyampaikan makna satu sama lain dalam konteks. Penulis pasti tergoda ke arah suatu ekspresi pribadi yang dicapai melalui manipulasi terampil bentuk gramatikal. Ini estetika yang bermakna dan berharga sesuai dengan tujuan teks yang dihasilkan dari pertukaran langsung.

Dengan demikian, seorang peneliti antropologi sastra perlu memahami perubahan tradisi lisan ke tradisi tulis. Sastra lisan yang telah berusia panjang jelas membawa pesan budaya yang beraneka ragam, apalagi perubahan suasana dan keinginan seorang pelantun sastra lisan yang sering ikut melakukan penyesuaian diri, tentu menambah khazanah apa saja dalam karya barunya. Peneliti dapat menanyakan pula apa alasan penambahan dan pengurangan muatan budaya yang terpantul di dalamnya.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf