Bagaimanakah Konsep Teori Representasi dan Refleksivitas Budaya dalam Sastra?

image
Representasi adalah gambaran apa saja yang ada dalam sastra. Sedangkan reflektivitas adalah itra diri dan kelompok perlu diungkap secara reflektif, reflektif menghasilkan fenomena budaya.

Bagaimanakah konsep kedua teori tersebut dalam penelitian sastra?

Representasi adalah gambaran apa saja yang ada dalam sastra. Gambaran dapat disebut citra. Sastra akan mencitrakan kehidupan manusia. Citra diri dan kelompok perlu diungkap secara reflektif, reflektif menghasilkan fenomena budaya yang disebut refleksivitas. Representasi merujuk pada daya pantul di balik fenomena, sedangkan refleksivitas merujuk pada bagaimana antropolog sastra memancing, memberi umpan, dan memaknai sebuah representasi.

Teori penelitian antropologi sastra cukup luas. Yang jelas, setiap peneliti dapat memanfaatkan teori-teori sastra berbasis budaya. Peneliti antropologi sastra adalah orang yang membawa teropong untuk melihat apa yang ada dalam sastra dan apa yang ada di balik realitas teks. Teks sastra biasanya menyembunyikan makna. Derajat persembunyian makna itulah yang apabila terungkap akan merepresentasikan makna. Jadi, representasi adalah pemaknaan atas dasar fenomena teks. Representasi adalah pencerminan yang dapat menangkap segala hal tentang aspek budaya dalam sastra.

Cavallaro (2004:69–71) menyatakan bahwa representasi sejajar dengan citra. Penelitian antropologi sastra dapat mengungkap pencitraan budaya dalam sastra. Persoalan citra tokoh perempuan, buruh, budaya priayi, citra petani, dan lain-lain dapat menjadi fokus penelitian. Representasi muncul dalam berbagai tindakan simbolis.

Representasi itu jika tertangkap akan mewakili realitas. Representasi merupakan gambaran atau citra (image). Yang diungkap dalam representasi antara lain:

  • Penampilan dramatis tokoh lewat dialog-dialog, deskripsi sastrawan;
  • Fakta-fakta setting tradisi, tempat ibadah;
  • Fenomena alam, sosial, interaksi multikultural, dan sebagainya.

Dengan demikian, peneliti antropologi sastra perlu memilih sastra yang baik, yaitu karya yang merepresentasikan aneka budaya secara lengkap. Yang dimaksud budaya bukan sekadar tradisi, bukan sekadar seni, melainkan seluruh proses dan karya serta tindakan manusia.

Representasi budaya dalam sastra ada yang bersifat individual dan kelompok. Yang bersifat kelompok, Morris (2003:335) menyebutnya sebagai representasi kolektif. Sastra biasanya bukan sekadar representasi tindakan personal, melainkan juga melukiskan keinginan kolektif. Tema kegotongroyongan, gugur gunung, tradisi, dan lain-lain biasanya akar kolektivitasnya amat kuat.

Oleh karena itu, antropologi sastra berusaha menafsirkan kolektivitas dalam sastra. Kolektivitas merupakan bentuk kebersamaan budaya untuk kepentingan bersama. Tema-tema lokalitas dan etnisitas adalah gambaran representasi kolektivitas. Sebut saja novel berjudul Dokter Wulandari karya Yunani yang merupakan gambaran kolektivitas Jawa yang masih mendukung konsep bobot, bibit, bebet dalam perkawinan.

Yang perlu dipertimbangkan ialah pemilihan bahan penelitian semestinya tidak mengandalkan sikap sentimental dan tidak terdorong oleh kemauan politik, tetapi sebagai urat nadi sendiri sehingga mampu memilih karya sastra yang dibutuhkan.

Ada semacam proses yang terjadi dalam suatu analisis antropologi sastra, yaitu akan terasa nikmat manakala secara alami membuat aliran darah dan masyarakat mengakui keberadaan zat yang diekspresikan dan menjadi semacam proses oksidasi yang dapat menambahkan kekuatan manusia dalam proses sosial (Turner, 1993:28-29). Interaksi sosial antropolog di lapangan fungsinya memberikan refleksivitas.

Begitu juga analisis antropologi sastra, seharusnya berproses reflektif terhadap teks. Dengan demikian, antara representasi dan refleksivitas tidak dapat dipisahkan secara jelas. Seorang peneliti antropologi sastra akan memanfaatkan refleksivitas untuk mengungkap representasi data teks dan konteks budaya dalam sastra.

Ciri refleksivitas penafsiran antara lain:

  • Ada komunikasi antara peneliti dengan teks secara intensif, penuh perjuangan;
  • Peneliti merasa haus dan sedang ingin menemukan sesuatu yang berharga melalui karya sastra;
  • Peneliti mampu menyerap informasi berharga tentang aspek budaya dalam sastra; dan
  • Peneliti tidak mengambil jarak sehingga tidak meremehkan hal-hal kecil yang semestinya bermakna besar.

Hal ini tecermin dalam aturan penting bahwa antropolog dan ahli sastra harus berinteraksi dengan kemasyarakatan dan kebudayaan. Peneliti seolah-olah bernapas dengan itu, bahwa hubungan tersebut tidak harus menjadi dingin sejauh yang sepadan dengan kemampuan peneliti lapangan. Jika peneliti sudah menjalin hubungan dengan teks secara hangat dan antusias, tentu akan semakin banyak makna yang diraih.

Secara panjang lebar, Turner (1993:28–30) menjelaskan bagaimana refleksivitas dapat diungkap melalui karya sastra dan etnografi. Menurut dia, sebagai balasan, seorang peneliti antropologi sastra harus mampu menerima stimulus dari sebuah teks dan informan untuk refleksivitas sendiri.

Misalnya, dalam pembahasan berikut, Ernest Frankson adalah konsultannya di lapangan. Dia adalah orang Eskimo yang diyakini mampu menempatkan apa yang ingin digali dari refleksivitas data. Kisah yang dia tampilkan berupa fiksi, tanpa judul. Kisah ini di jagat antropologi disebut etnografi estetis, sedangkan dalam sastra dinamakan prosa fiksi. Kisahnya memuat tokoh Ernie sedang duduk di sofa usangnya menonton TV.

Kisah demikian adalah budaya yang berjalan di Eskimo, penuh keunikan. Eskimo telah menunjukkan segala macam cara orang berjalan, cepat, lambat, mudah, dengan kereta luncur, dan menikmati hidup dengan aneka ragam budaya. Kebudayaan dalam etnografi dan sastra senantiasa muncul dalam pola sikap dan perilaku. Bagaimana seseorang mempelajari bahasanya akan membentuk perilaku budaya yang beraneka ragam.

Sastra itu sendiri sampai detik ini memang belum terdefinisikan secara pasti. Oleh karena menurut Hazard Adams (Soeratno, 2011:60) “We all know what we mean by literature even if we cannot define it.”, menurut dugaan saya, sastra yang tidak pernah tuntas terdefinisikan juga senada dengan etnografi.

Bagian ilmu humanistik itu memang tidak mudah diberi batasan secara pasti. Oleh karena itu, para peneliti antropologi sastra tidak perlu gelisah akan kekurangan bahan. Bahan penelitian tidak terbatas pada sastra fiksi, melainkan juga sastra drama dan puisi. Banyak kisah-kisah yang mungkin belum digolongkan sastra, masih serpihan etnografi, boleh saja dikaji jika memenuhi unsur keindahan sastra.

Kisah itu sebuah fiksi kehidupan. Fiksi adalah bagian dari sastra. Mempelajari kisah sama halnya menghayati karya sastra. Menurut Eagleton (2006:1–2) sastra adalah tulisan imajinatif dalam artian fiksi. Fiksi merupakan karya yang secara harfiah tidak harus benar. Percampuran fiksi dan fakta, kini sudah sulit diduga. Oleh sebab itu, sebuah kisah yang ditulis seorang etnografer di atas tidak lain juga sebuah fiksi.

Maksudnya, kisah itu layak dibaca sebagai karya sastra. Itulah tugas antropologi sastra yang menyelami lebih jauh, bahwa banyak karya sastra yang semakin faktual menyajikan budaya kehidupan manusia. Begitu pula seorang pengisah, seringkali juga sudah bermain dengan fiksional.

Dari kisah di atas, ternyata kita disuguhi beberapa hal, antara lain:

  • Bagaimana seharusnya orang belajar bahasa,
  • Bagaimana langkah orang belajar menari, dan
  • Bagaimana orang berinteraksi.

Kisah itu sebenarnya sederhana, berisi hal-hal sederhana. Yang penting sebenarnya di situ tampak sebuah refleksivitas peneliti ikut di dalamnya.

Peneliti antropologi sastra ikut terlibat dalam permainan teks. Mungkin sekali teks demikian masih boleh dikembangkan oleh peneliti. Di situ terjadi representasi kehidupan orang belajar budaya, terutama penguasaan bahasa. Ternyata kata-kata yang memuat kultur seperti kekerabatan jauh memudahkan orang belajar bahasa asing. Petikan kisah di atas, menurut wawasan antropologi sastra, menjadi sebuah representasi unik kehidupan orang Eskimo. Hampir seluruh budaya itu selalu diperoleh dengan cara belajar.

Pembelajaran budaya itulah makna yang teridentifikasi dalam teks. Pembelajaran bahasa dan budaya adalah representasi dari keinginan manusia. Keberagaman perlu diungkap agar representasi dan refleksivitas semakin tampak.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf