Bagaimanakah Konsep Sastra Etnografi?

image
Salah satu pendekatan dalam penelitian bahasa adalah etnografi, salah satunya adalah sastra etnografi.

Bagaimanakah konsep dari sastra etnografi?

Teks Etnografi Sastra dan Sastra Etnografi

Sastra dan budaya sering jalin-menjalin dalam bentuk teks. Teks sastra biasanya memuat keragaman budaya. Hal ini juga diakui oleh Ratna (2005:14–16), bahwa biarpun berasal dari disiplin yang berbeda, sastra dan budaya memiliki objek yang sama. Keduanya mengambil objek manusia sebagai makhluk kultural. Bedanya, karya sastra sering melakukan eksplorasi tak langsung, menggunakan bahasa metaforis konotatif, sedangkan budaya cenderung menggunakan bahasa denotatif. Pengakuan ini sebenarnya masih perlu dikaji ulang sebab kalau menengok refleksi teks etnografi, batas eksplorasi langsung dan tak langsung semakin kabur.

Karya sastra sering membangun dunia baru melalui permainan kata-kata. Kata tersebut diberi roh dan energi untuk menghidupkan teks. Itulah sebabnya peneliti antropologi sastra harus mencermati celah-celah roh dan energi sastra itu sebagai pantulan budaya. Antropologi sastra tidak dapat lepas dari masalah sosio kultural kehidupan manusia. Penelitian-penelitian terdahulu seperti kehidupan orang Tengger oleh Ayu Sutarto, kehidupan orang Trunyan oleh James Danandjaja, wayang krucil di Blora oleh Setya Yuwana Sudikan, kentrung oleh Suripan Sadi Hutomo, kebatinan Jawa di Yogyakarta oleh Suwardi Endraswara, dan sebagainya merupakan wujud wawasan antropologi sastra. Hanya saja, waktu itu masih ragu, apakah mereka mengupas tradisi dan sastra atas dasar aspek folklor, filologi, mitos, dan atau antropologi. Apapun wujudnya, sesungguhnya mereka telah memunculkan antropologi sastra biarpun belum sempurna.

Persoalan antropologi sastra adalah terkait bagaimana gaya kepenulisannya. Ketika informasi itu ditulis secara estetis, memenuhi unsur sastra, berarti itu wilayah antropologi sastra. Bahkan, kalau mau memahami, analisis Roland Barthes (Selden, 1991:56-57) tentang kehebatan novel Sarras (Z)ine (Balsac) dan penelitian lain yang berbau mitos sebenarnya merupakan penelitian antropologi sastra.

Begitu juga penelitian Sapardi Djoko Damono terhadap novel-novel Jawa, juga merupakan prototipe analisis antropologi sastra. Jadi, antropologi sastra sampai saat ini memang masih dalam pencarian bentuk. Ilmu ini masih sangat baru di Indonesia. Biarpun ada beberapa perguruan tinggi yang sudah memasukkannya sebagai mata kuliah, kiranya antropologi sastra masih perlu penataan. Contoh-contoh penelitian memang telah ada, tetapi masih sebatas artikel-artikel pendek.

Pada tahun 1980 memang mulai ada kecenderungan para ahli sastra mengembangkan perspektif kritis pada tradisi menulis antropologi sastra. Dalam sebuah artikel yang merupakan batu ujian dari genre, James Clifford (Ridington, 1993:48) diidentifikasi memiliki otoritas etnografi pada abad kedua puluh. Clifford berpendapat,

“Seorang etnografer dari awal sampai akhir terjerat dalam menulis.”

Menulis etnografi tidak jauh berbeda dengan menulis sastra. Gaya etnografer dan sastrawan memang mempunyai kesamaan. Keduanya sama-sama sering bermain dengan imajinasi, mengandalkan simbol sebagai ekspresi yang aman.

Dengan menerjemahkan pengalaman ke dalam bentuk tekstual, Clifford (Benson, 1993) menulis tulisan etnografis dengan strategi spesifik. Dia menyarankan, “Ekonomi agak berbeda dengan teori etnografi pengetahuan. Sebelum Malinowski, Radcliffe-Brown dan Mead sukses mendirikan norma sarjana universitas terlatih untuk pengujian dan berasal dari teori tangan pertama penelitian.” Sementara itu, pelatihan universitas mungkin telah membentuk lapangan sebagai “ekonomi pengetahuan” sendiri yang didefinisikan secara institusional pada saat menulis etnografi.

Suatu saat, universitas berbasis sistem pengetahuan yang beresonansi simpatik dengan kepentingan kontemporer otoritas etnografi bersama dapat ditemukan dalam etnografi kolaboratif yang luar biasa yang disebut The Tribe Omaha, diterbitkan pada tahun 1911 oleh Biro Etnologi Amerika. Penulisnya Alice Ridington, berjudul “Pohon yang Berdiri Terbakar”.

Kemampuan teks untuk membuat lebih masuk akal pada akhir-akhir ini, menurut Clifford (Ridington, 1993:49) “tergantung kurang lebih pada niat yang dikehendaki dari seorang penulis yang berasal dari kreativitas pembaca”. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa makna teks tergantung pada dua hal, yaitu niat dan kepeduliaan penulis dan kemampuan pembaca menerka dan merekonstruksi makna. Titik temu hasrat pembaca dan penulis manakala disinergikan akan mendapatkan makna utuh. Biarpun konsep keutuhan makna itu sulit, paling tidak akan mendekati kadar teks itu. Baik niat penulis maupun keinginan pembaca yang berkobar layak dipelajari dari sisi antropologi sastra. Sisi antropologi sastra akan membongkar makna lewat jalur tindakan budaya terhadap teks sastra.

Barthes (Ridington, 1993:49) menyatakan bahwa teks sastra adalah “sebuah jaringan kutipan yang melukiskan sejumlah pusat budaya”. Hal ini menunjukkan bahwa lewat teks, seorang antropolog sastra dapat menangkap budayanya. Teks membawa pesan budaya masing-masing etnis. Dengan mempelajari teks sastra, dengan sendirinya seseorang dapat belajar budaya masing-masing etnis. Setiap etnis atau lokal memiliki ekspresi budaya lewat sastra. Pramoedya Ananta Toer yang pernah mendekam di penjara dan dibuang ke Pulau Buru tentu memiliki pengalaman etnisitas yang dapat dilukiskan lewat sastra.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa pemahaman teks sastra membutuhkan kecermatan. Antara yang menulis dan membaca teks sama-sama memiliki kedudukan penting dalam pemahaman. Yang penting adalah adanya upaya di antara mereka agar teks dan pemahaman tetap masuk akal. Selain itu, peneliti antropologi sastra juga dituntut agar mampu menjadi seorang intelijen teks. Artinya, mampu mengantisipasi makna yang mungkin muncul di balik teks sastra itu.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf