Bagaimanakah Konsep Pertunjukan Tradisi Lisan?

image
Dalam tradisi lisan tidak akan lepas dengan kegiatan pertunjukan.

Bagaimanakah konsep pertunjukan dalam tradisi lisan?

Pertunjukan Tradisi Lisan

Turner (Murgiyanto, 2008:14–15) banyak menaruh perhatian terhadap tradisi lisan yang dikaitkan dengan pertunjukan. Dia menghubungkan pengalaman, pragmatis, praktis, dan pertunjukan. Menurutnya, tetap ada jarak yang tidak bisa dihindarkan antara realitas pengalaman dan ekspresi. Ketegangan (yang muncul) di antara ketiganya merupakan kunci masalah dalam antrologi pertunjukan. Gagasan ini kiranya juga menarik bagi penelitian antropologi sastra. Jika antropologi pertunjukan menitikberatkan masalah penampilan, antropologi sastra banyak menyoroti aspek budaya yang mengitarinya.

Calypso adalah bentuk seni Karibia yang meraih popularitas internasional pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, dimulai sebagai ungkapan protes sosial politik. Bahasanya diambil dari yang kelas bawah perkotaan Trinidad. Rohlehr (Benson, 1993) telah mencatat bahwa itu adalah “bahasa dari penipu kepercayaan kecil-kecilan yang menggunakan metode memutar kata-kata yang cukup cepat untuk menjerat korbannya”, atau dalam kasus calypsonian, untuk memikat pendengarnya. Sementara itu, calypso telah membuktikan bahwa di beberapa tempat dirinya telah berubah menjadi “seni rakyat” dan resmi disetujui untuk perdagangan pada turis.

Metode yang terpenting adalah untuk mempekerjakan rakyat dengan rasa gembira untuk mewujudkan rasa yang baik dari masyarakat umum. Para wisatawan ternyata dapat terinfeksi oleh semangat mengalahkan rakyat dan jarang membayarnya. Meskipun demikian, tidak peduli seberapa pintar lirik calypso, atau seberapa banyak mereka dikutip, calypsonian jarang menganggap diri mereka sebagai penulis puisi. Lirik mereka yang terkait erat dengan lagu-lagu sering tampil memukau.

Penyair, meskipun berasal dari akar budaya yang beragam bentuk musik, selalu berkembang. Musik mereka jadikan kendaraan kesadaran sosial di kalangan kelas bawah Indian Barat di dalam dan luar negeri yang terdapat kekerasan politik. Penyair memiliki khalayak internasional yang besar dan heterogen, tetapi masih dianggap sebagai suara yang sah dari perbedaan politik kelas bawah Indian Barat. Penyair adalah orang yang memiliki karya yang eksklusif dalam bahasa. Satu penjelasan tentang asal-usul dari nama penyair tersebut adalah dari kelas rendah dan menengah yang meremehkan “raja”, singkatan dari “orang jahat”. Beberapa seniman dan penyair merasa bahwa pesan mereka sebagai impor politik yang cukup melampaui tindakan tersampaikan.

Preseden ini menetapkan panggung munculnya puisi dijuluki penyair paradoksal. Paradoks adalah upaya untuk mereproduksi bahasa lokal ke dalam bentuk tertulis, Indian Barat. Penulis sengaja menjauh dari koherensi dari tradisi rakyat yang mereka anut untuk merayakannya. Kebangkitan usaha mereka muncul dalam bentuk solidaritas sosial sehingga menjadi faktor dalam subversi. Meskipun keaksaraan telah didorong di Dunia Ketiga sebagai sarana untuk “memberdayakan” massa, itu benar-benar hanya memiliki dampak revolusioner. Ketika teori revolusioner bersatu dengan gerakan sastra dan tradisi rakyat, efeknya bahkan lebih ambigu. Sastra yang dihasilkan seharusnya menjadi cermin dari pengalaman dan aspirasi massa, tetapi dengan objektif memuat pengalaman mereka serta tunduk pada kritik antropologi sastra.

Finnegan (Zaimar, 2008:321) menjelaskan bahwa sastra lisan adalah semua cerita yang sejak awalnya disampikan secara lisan, tidak ada naskah tertulis yang dapat dijadikan pegangan. Bentuknya dapat beraneka ragam, misalnya berupa puisi, prosa, dan drama. Karya sastra dapat disebut sastra lisan/tradisi lisan dengan melihat tiga aspek, yaitu komposisi, cara penyampaian, dan pertunjukannya. Ketiga aspek ini tampaknya yang menyedot perhatian antropologi sastra. Antropolog sastra akan menggali informasi secara kritis tentang aspek keragaman budaya yang memengaruhi berkembangnya sastra lisan.

Pertunjukan lisan menarik minat para antropolog sastra karena di dalamnya kaya sastra lisan. Pertunjukan dalang jemblung, misalnya, akan menunjukkan betapa besar kekuatan lisan menyampaikan pesan literer sekaligus kultural. Penyampaian secara lisan secara otomatis sering berubah-ubah sehingga setiap kali tampil mungkin muncul keragaman budaya. Sastra memang diciptakan ada yang secara khusus untuk pertunjukan. Ada pula karya sastra yang sengaja dipilih, dipertunjukkan dengan beragam kemasan baru. Oleh karena itu, tugas peneliti antropologi sastra adalah menangkap aneka budaya di balik pertunjukan sastra itu.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf