Bagaimanakah Konsep dari Kebudayaan?

image
Saat ini banyak orang berbicara tentang kebudayaan maupun budaya. Seringnya orang-orang menyebutkan konsep-konsep kebudayaan, seperti budaya ekonomi, budaya bisnis dan lain sebagainya. kita bngga dengan banyaknya orang berbicara tentang kebudayaan namun juga kuatir karena semakin banyak orang yang tidak memahami kebudayaan dalam arti sesungguhnya.

Bagaimanakah konsep dari kebudayaan?

Etimologi Kata “Culture”

Istilah modern “kebudayaan” diambil dari kata yang digunakan oleh Cicero yang terdapat pada tulisannya “Tusculan Disputations”. Cicero merupakan orator pada masa Romawi Kuno. Pada tulisannya Cicero menuangkan pikiran-pikirannya tentang “budidaya jiwa”. Istilah “budidaya” bersumber pada ilmu pertanian yang dijadikan filosofi pengembangan jiwa manusia, yang secara teleologis, merupakan cita-cita tertinggi dalam setiap upaya pengembangan manusia.

Samuel Pufendort mengambil makna “budidaya” tersebut untuk pengembangan manusia moderen. Namun setelah Samuel banyak penulis yang mulai mengerti arti dari “kebudayaan” adalah semua cara manusia untuk mengatasi kerusakan moral mereka, dan hanya dengan kecerdasan manusialah yang dapat merubah manusia menjadi manusia seutuhnya.

Para ilmuwan sosial Prancis mengenal istilah “budaya” sejak abad ke-15 yang diambil dari bahasa Latin “Cultura” yang memiliki arti budidaya. Pada abad ke-17 di Eropa modern terbentuknya konsep yang menjelaskan perbaikan individu melalui pendidikan. Pada abad ke-18 para pemikir Jerman memperoleh arti modern dalam tulisan-tulisannya, seperti yang dilansir Rousseau tentang “liberalisme modern dan pencerahan” yang didalamnya menampilkan kontras antara “kebudayaan” dengan “peradaban”.

Ada dua makna yang muncul pada periode tersebut, yaitu kebudayaan sebagai folkspirit dari sebuah identitas yang unik dan kebudayaan sebagai budidaya manusia yang mengandung spirit untuk mengalihkan manusia dari suasana ketidakpatuhan ke arah kesempurnaan.pada akhirnya “budaya” harus membuat manusia mengespresikan dirinya sebagai manusia yang unik atau manusia yang asli (Richard, 2002).

Istilah kebudayaan menjadi perdebatan sejak abada ke-18 sampai dengan abad ke-19 karena kata kebudayaan lebih sering merujuk pada penyempurnaan masyarakat, hal ini terjadi karen banyaknya diskusi yang menghubungkan kebudayaan dengan cita-cita nasional suatu bangsa. Edward Tylor adalah ilmuwan yang “berdebat” tentang istilah kebudayaan, Tylor merujuk “kebudayaan” pada kapasitas universal manusia. Dari Tylor pada abad ke-20 tepatnya pada tahun 1924 istilah “culture” muncul kembali sebagai konsep utama antropologi untuk menjelaskan berbagai fenomena manusia.

Definisi Kebudayaan

Menurut Edward Burnett Tylor, seorang profesor antropolog asal Inggris yang menjelaskan definisi tentang “kebudayaan sebagai kumpulan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan setiap kemampuan lain atau kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.

Menurut Raymond Williams dalam karyanya “Moving from High Culture to Ordinary Culture” menerangkan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang biasa. Menurut Metthew Arnold (dalam Hertley, 2002) kebudayaan adalah kontak individu atau sekelompok orang yang mempunyai pikiran dan perkataan yang baik tentang dunia. Arnold beranggapan kebudayaan adalah studi tentang kesempurnaan. Menurut Jawaharlal Nehru, seorang perdana mentri pertama di India menjelaskan kebuadayaan sebagai hasil dan dasar pelatihan, pembentukan, dan pengembangan potensi fisik dan mental. Menurut Sri Rajgopalacharya, seorang Gurbernur Jendral Inggris pertama di India menjelaskan kebudayaan sebgai ekspresi kolektif dari apa yang dipikirkan, percakapan atau perbuatan belajar dari para anggota masyarakata atau bangsa yang dianggap berbakat atau kreatif.

Clifford Geerts mendefinisikan kebudayaan dari pandangan Tylor sebagai berikut:

  1. Keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat, atau setiap kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat sendiri mengajukan konsep tentang kebudayaan.
  2. Beberapa pola makna yang dikemas dalam simbol-simbol yang secara historis ditularkan.
  3. Sistem pendapat yang diwariskan melalui ekspresi simbolik sebagai cara orang mengomunikasikan, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang dan sikap terhadap hidup.
    Geerts meringkas definisi kebudayaan dari berbagai definisi-definisi tersebut sebagai berikut:
  4. Sesuai topik : kebudayaan terdiri dari semua yang ada pada daftar topik atau kategori seperti organisasi sosial, agama, atau ekonomi.
  5. Historis : kebudayaan adalahan bawaan sosial atau tradisi yang melewati generasi yang lalu ke generasi masa depan.
  6. Perilaku : kebudayaan sesuatu yang dibagikan, perilaku manusia yang dipelajari atau cara pandang manusia tentang kehidupan.
  7. Normatif : kebudayaan dalah ide-ide, nilai-nilai atau aturan tentang kehidupan.
  8. Fungsional : kebudayaan adalah cara manusia memecahkan masalah lalu diadaptasikan kedalam lingkungan di mereka hidup bersama-sama.
  9. Mental : kebudayaan adalah kompleks ide-ide atau kebiasaan belajar yang membuat kita dapat membedakan antara orang dari binatang.
  10. Struktural : kebudayaan merupakan keteraturan pola gagasan simbol atau keteraturan perilaku yang saling terkait satu sama lain.
  11. Simbolis : kebudayaan merupakan pendasaran makna ditetapkan bersama oleh masyarakat.

Wujud Kebudayaan

1. Kebudayaan Material

  • Kebudayaan terdiri dari benda-benda konkret yang nyata seperti bangunan, bendungan, mobil dan lain sebagainya sebagai benda nyata buatan manusia.
  • Kebudayaan mengacu pada benda-benda fisik, sumber daya, dan ruangan yang digunakan orang untuk mendefinisikan budaya mereka.
  • Kebudayaan meterial merupakan bukti fisik tentang keberadaan, identitas, karakteristik, dari suatu kelompok atau komunitas suatu masyarakat tertentu.
  • Kebudayaan material sering dihubungkan dengan konsep “peninggalan” dari suatu bangsa yang mempelajari suatu bentuk kebudayaan material yang tampil sebgai bukti kebudayaan masa lalu dari komunitas tertentu.
  • Istilah kebudayaan material sering digunakan arkeolong untuk menjelaskan artefak atau benda-benda nyata lain yang ditinggalkan oleh budaya masa lalu.

Kebudayaan Non-Material

  • Kebudayaan non-material terdiri dari benda-benda abstrak yang tidak berwujud, misalnya adat istiadat, radisi, kebiasaan dan lain sebagainya
  • Kebudayaan non-material mengacu pada ide-ide nonfisik yang dimiliki oleh sekelompok orang, misalnya tentang keyakinan, nilai-nilai, norma dan lain sebagainya. Contohnya agama yang dikenal sebagai ide dan keyakinan tentang Tuhan, ibadah, moral, dan etika.

Unsur-unsur Kebudayaan

Para antropolog, ketika mempelajari kebudayaan, hingga sekarang masih terus berdebat tentang apa yang disebut sebagai unsur-unsur, elemen dan dimensi dari kebudayaan. Koentjaraningrat (1974, 1993, 2009), antropolog terkemuka Indonesia dan bapak antropologi Indonesia, mengemukakan bahwa setiap kebudayaan mempunyai unsur-unsur universal sebagai berikut.

  1. Sistem religi yang meliputi:
  • Sistem kepercayaan
  • Sistem nilai dan pandangan hidup
  • Komunikasi keagamaan
  • Upacara keagamaan
  1. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi:
  • Kekerabatan
  • Asosiasi dan perkumpulan
  • Sistem kenegaraan
  • Sistem kesatuan hidup
  • Perkumpulan
  1. Sistem pengetahuan yang meliputi pengetahuan tentang:
  • Flora dan fauna
  • Waktu, ruang, dan bilangan
  • Tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia
  1. Bahasa yaitu alat untuk berkomunikasi yang berbentuk:
  • Lisan
  • Tulisan
  1. Kesenian yang meliputi:
  • Seni patung/pahat
  • Relief
  • Lukis dan gambar
  • Rias
  • Vokal
  • Musik
  • Bangunan
  • Kesusastraan
  • Drama
  1. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi yang meliputi:
  • Berburu dan mengumpulkan makanan
  • Bercocok tanam
  • Peternakan
  • Perikanan
  • Perdagangan
  1. Sistem peralatan hidup atau teknologi yang meliputi:
  • Produksi, distribusi, transportasi
  • Peralatan komunikasi
  • Peralatan konsumsi dalam bentuk wadah
  • Pakaian dan perhiasan
  • Tempat berlindung dan perumahan
  • Senjata

Tylor (1871) memanfaatkan studi ini antara lain sebagai landasan untuk menyusun konsep tentang kebudayaan, yang dirumuskannya secara singkat sebagai berikut.

Culture or Civilization is that complex which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and many other capabilities and habits acquired by man as a member of society.

(Kebudayaan atau Peradaban adalah satuan kompleks yang meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, akhlak, hukum, adat, dan banyak kemampuan kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat).

Konsep awal kebudayaan yang bersumber dari studi tentang masyarakat-masyarakat primitif tersebut mengandung sisi praktis, sebagai sumber kekuatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi rangkaian gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan moderen. Menyusun suatu hubungan antara apa yang manusia-manusia purbakala tak-berbudaya pikirkan dan lakukan, dan apa yang manusia-manusia moderen berbudaya pikirkan dan lakukan, bukanlah masalah ilmu pengetahuan teoretik yang tak-dapat-diterapkan, karena persoalan ini mengangkat masalah, seberapa jauh pandangan dan tingkah-laku moderen berdasarkan atas landasan kuat ilmu pengetahuan moderen yang paling masuk akal (Tylor, 1871).

Lebih dari setengah abad kemudian, Ralph Linton (Philadelphia, Pennsylvania, 27 Februari 1893 – New Haven, Connecticut, 24 Desember 1953), Profesor Antropologi pada Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat, menawarkan rumusan tentang kebudayaan yang menekankan pada faktor integrasi yang dicapai melalui tingkah laku belajar. Kebudayaan bisa dicapai dengan belajar dan sebagai hasil belajar yang dibiasakan antar anggota suatu masyarakat. Menurut Linton,

“A culture is the configuration of learned behavior and results of behavior whose component elements are shared and transmitted by the members of a particular society” (Linton, 1945).

(Kebudayaan merupakan konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang unsur-unsurnya digunakan bersama-sama dan ditularkan oleh para warga masyarakat).

Pemahaman terhadap kebudayaan meliputi pengertian “sempit” dan “luas.” Dalam pengertian “sempit,” kebudayaan dipahami sebagai “kesenian,” sehingga seniman dianggap sebagai budayawan, pementasan kesenian sering disebut sebagai acara budaya, misi kesenian yang melawat ke luar negeri sering dikatakan sebagai misi kebudayaan. Pandangan dan praktek demikian tentu mempersempit pengertian kebudayaan, terutama ditinjau dari unsur-unsur atau isi kebudayaan sebagai strategi perluasan kebudayaan. Pengertian demikian tidak sepenuhnya keliru karena kesenian pun merupakan unsur kebudayaan yang penting. Sosiologi Inggris terkemuka, Anthony Giddens (1991) mengenai kebudayaan dalam hubungannya dengan masyarakat menerangkan sebagai berikut.
Ketika kita menggunakan istilah tersebut dalam percakapan biasa sehari-hari, kita sering berpikir tentang "kebudayaan‟ sama dengan "karya-karya akal yang lebih tinggi’ – seni, sastra, musik dan lukisan… konsepnya meliputi kegiatan-kegiatan tersebut, tapi juga jauh lebih banyak dari itu. Kebudayaan berkenaan dengan keseluruhan cara hidup anggota-anggota masyarakat. Kebudayaan meliputi bagaimana mereka berpakaian, adat kebiasaan perkawinan mereka dan kehidupan keluarga, pola-pola kerja mereka, upacara-upacara keagamaan dan pencarian kesenangan. Kebudayaan meliputi juga barang-barang yang mereka ciptakan dan yang bermakna bagi mereka – busur dan anak panah, bajak, pabrik dan mesin, komputer, buku, tempat kediaman.

Istilah “kebudayaan ” atau “budaya” adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi. Akan tetapi, tentu saja Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan istilah ini. Sosiologi juga menggunakan dan mengkaji masalah kebudayaan karena kebudayaan tak lepas dari hubungan antara sesama manusia dalam masyarakat. Mengabaikan kajian kebudayaan tentu akan membuat Sosiologi sebagai ilmu tentang masyarakat menjadi hambar dan kehilangan nuansa dinamisnya.

Namun, harus diakui bahwa Antropologi-lah yang sering menggunakan istilah ini, dan secara luas mengkaji secara mendalam dan detail dinamika kebudayaan manusia, terutama sejarah kebudayaan dan kebudayaan masyarakat-masyarakat kuno dan terpencil. Sementara itu, sosiologi mempelajari kebudayaan dari sudut pandang dinamika hubungan antara manusia dan kelompok, serta interaksi kelompok dengan kelompok lain melalui budayanya. Sosiologi juga memberikan banyak kajian tentang bagaimana interaksi sosial dalam masyarakat melahirkan suatu pola kebudayaan, bagaimana lembaga-lembaga masyarakat memiliki kebudayaan-kebudayan tertentu, dan bagaimana ketika antar-kelompok sosial yang berbeda secara budaya itu berinteraksi.

Konsep kebudayaan memang sangat sering digunakan oleh Antropologi dan telah tersebar ke masyarakat luas bahwa Antropologi bekerja atau meneliti apa yang sering disebut dengan kebudayaan. Seorang antropolog yang mencoba mengumpulkan definisi yang pernah dibuat mengatakan ada sekitar 160 definisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi.

Akan tetapi, dari sekian banyak defi nisi tersebut, ada suatu persetujuan bersama di antara para ahli Antropologi arti istilah tersebut.

Salah satu definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan definisi kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bukunya yang berjudul The Cultural Background of Personality, ia mengatakan:

“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang mana pun dan tidak mengenai sebagian dari cara hidup itu, yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup seperti itu masyarakat kalau kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri, maka tidak ada sangkut pautnya dengan main piano atau membaca karya sastra terkenal. Untuk seorang ahli ilmu sosial, kegiatan seperti main piano itu merupakan elemen-elemen belaka dalam keseluruhan kebudayaan kita. Keseluruhan ini mencakup kegiatan-kegiatan duniawi seperti mencuci piring atau menyetir mobil dan untuk tujuan mempelajari kebudayaan, hal ini sama derajatnya dengan “hal-hal yang lebih halus dalam kehidupan”. Karena itu, bagi seorang ahli ilmu sosial tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimana pun sederhananya kebudayaan itu dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam suatu kebudayaan.”

Sifat-sifat kebudayaan yang dapat kita lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

1. Kebudayaan Diperoleh dari Belajar

Kebudayaan manusia tidak diturunkan secara biologis atau genetis, tetapi melalui sosialisasi dan internalisasi yang diperoleh akibat bergaul dan berinteraksi dengan manusia lain dalam suatu kelompok. Artinya, perilaku manusia lebih banyak digerakan oleh kebudayaan dibandingkan perilaku makhluk lain yang tingkah lakunya digerakkan oleh naluri (insting).

Kepuasan seksual adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sebagaimana semua makhluk memiliki kebutuhan ini. Hewan akan melampiaskan kebutuhan ini begitu kebutuhan seksnya sudah matang, dilakukan begitu saja ketika menemukan pasangan. Sedangkan, dalam makhluk yang berbudaya, seperti manusia, untuk memenuhi kebutuhan seks, harus dilakukan pendekatan-pendekatan, tidak bisa dilakukan di sembarang tempat, juga kebanyakan harus dilakukan menurut kebudayaan dan adat, misalnya hanya boleh dilakukan setelah menikah.

2. Kebudayaan Milik Bersama

Dikatakan kebudayaan milik bersama karena hal itu adalah milik bersama para anggotanya. Semua anggota harus mematuhinya dan mengikutinya karena diikat oleh konvensi, nilai-nilai, dan norma atau bahkan aturan. Suatu kelompok mempunyai kebudayaan jika para warganya memiliki secara bersama sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang sama yang didapat melalui proses belajar.

Sebagaimana contoh di atas, pernikahan disebut sebagai bagian dari budaya manusia karena dia dijalani oleh umat manusia. Memang ada orang yang melakukan hubungan seks tanpa pernikahan, tetapi umumnya masih dianggap menyimpang. Mengapa demikian? Seks pra-marital (sebelum nikah) atau ekstra-marital (di luar nikah) masih dianggap “haram”, apalagi dalam budaya yang masih tradisional dan menjunjung agama secara kuat.

3. Kebudayaan Sebagai Pola

Pola-pola seperti pola tingkah laku dan lain sebagainya terjadi karena dalam kebudayaan ada nilai atau batasan-batasan yang mengatur cara hidup dan tingkah laku masyarakat. Pola yang ideal adalah apa yang secara nilai diakui bersama oleh para anggotanya. Pola-pola inilah yang sering disebut dengan norma-norma.

Tidak diikutinya pola-pola ini berarti dikatakan bahwa budaya sedang dilanggar atau tidak dipatuhi. Siapa yang mengganggu pola ini biasanya akan dianggap menyimpang. Akan tetapi, bukan berarti budaya membatasi anggotanya secara kaku. Bentuk hukuman akan tergantung pada tingkat pola bagaimana dan jenis kebudayaan apa yang dilanggar. Namun yang jelas, terganggunya pola yang ada berarti akan terjadi gangguan dalam interaksi sosial.

Misalnya, ketika kita berbelanja di pasar tradisional di sebuah wilayah Indonesia, tetapi kita gunakan bahasa Jepang, jelas ini tak akan membuat proses transaksi berjalan karena bahasa yang kita gunakan tidak akan dipahami.

4. Kebudayaan Bersifat Dinamis dan Adaptif

Kebudayaan bersifat dapat berubah, baik secara pelan maupun cepat, tergantung pada perubahan material yang dihadapi dan menjadi penyangga hubungan di antara sesama manusia. Misalnya, contoh di atas tadi: budaya pernikahan (melakukan hubungan seks sebelum menikah) ternyata kian hari kian banyak yang tidak mengikutinya.

Ini karena seks adalah kebutuhan pokok, sedangkan nilai-nilai yang mengatur bahwa seks harus dilakukan setelah menikah (dalam agama) mulai tergerus oleh majunya pengetahuan dan teknologi. Jadi, dalam hal ini teknologi dan fasilitas yang membuat orang meningkatkan pengetahuan dan cara berpikir merupakan basis material.

Seks bebas merupakan fenomena yang kian menggejala di tengah-tengah zaman ketika teknologi informasi dan komunikasi kian tak terbendung. Jadi, itulah yang dimaksud kebudayaan bersifat adaptif, yaitu bahwa kebudayaan akan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, terutama perkembangan pada wilayah material (IPTEK).

Adaptasi terhadap wilayah material memang merupakan watak kebudayaan paling utama. Cara pandang masyarakat yang paling besar diubah secara besar-besaran oleh munculnya pengetahuan dan teknologi ini. Mengapa budaya Barat mengekspansi budaya Timur, dan budaya Timur harus menyesuaikan diri dengan Barat, tentunya karena budaya Barat datang dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.