Bagaimanakah Kondisi Sastra pada Zaman Balai Pustaka?

image
Balai Pustaka yang didirikan dalam tahun 1908 mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan kesusastraan Indonesia. Di sinilah lahirnya Angkatan 20-an dengan terbitnya roman Siti Nurbaya yang dianggap sebagai roman pertama yang memenuhi syarat kesusastraan yang baik dan merupakan roman modern klasik kita yang pertama. Di sini pula terbitnya roman-roman besar yang lain seperti Hulubalang Raja, Salah Asuhan, Lajar Terkembang, Atheis, Tambera, Mereka Jang Dilumpuhkan, dan lain-lain.

Bagaimanakah kondisi sastra pada zaman Balai Pustaka?

Fachruddin Ambo Enre (1963 : 20) mengatakan bahwa Balai Pustaka memang memegang peranan tetapi menilik hasil-hasilnya badan itu tidaklah dapat dikatakan mewakili seluruh kegiatan sastra pada masa 20-an. Artinya, yang terutama terletak dalam bidang prosa atau roman. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Balai Pustaka memang berjasa dalam hal ini. Usahanya yang pertama di samping mengumpulkan hasil-hasil sastra daerah, ialah menerjemahkan roman Barat melalui bahasa Belanda.

Ada di antaranya yang langsung diterbitkan berupa buku, seperti Gembala Domba (De Schaapheder, karangan Oltmans), Tiga Panglima Perang (De Drie Musketiers, karangan Alexandre Dumes), ada pula yang melalui bentuk fenilleton dalam Pandji Pustaka, seperti misalnya Belut Kena Randjau oleh Baronesse Orezy, Musuh dalam Selimut oleh Agatha Christie.

Zuber Usman (1959 : 28 - 29) mengatakan bahwa Dr. D. A. Ringkes, Kepala Balai Pustaka yang mula-mula dalam suatu peringatan, yaitu ketika Ratu Welhelmina cukup 25 tahun di atas tahta, pernah menerangkan sebagai berikut:

‘Dalam masa 25 tahun yang baru lalu ini, politik pengajaran pemerintah amat berubah. Dahulu, yang dipentingkan hanya akan mengadakan pegawai yang agak pandai untuk jabatan negeri. Sekarang pengajaran rendah itu terutama untuk memajukan kecerdasan rakyat. Tetapi pengajaran itu belum cukup, tambahan lagi haruslah dicegah janganlah hendaknya kepandaian membaca dan kepandaian berpikir yang dibangkitkan itu mendatangkan hal yang kurang baik dan janganlah daya upaya itu dipergunakan untuk hal-hal yang kurang patut, sehingga merusak ketertiban dan keamanan negeri’.

Hasil pengajaran itu dapat juga mendatangkan bahaya, kalau orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang bermakud hendak mengacau. Oleh sebab itu, bersama-sama dengan pengajaran membaca itu serta untuk melanjutkan atau menyambung pengajaran itu, maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan segala yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.

Hal tersebut di atas itulah menjadi alasan sehingga dalam tahun 1908 didirikan oleh Pemerintah kolonial: Commissie voor de Inland sche School en Volkslectuur, anggotanya terdiri atas 6 orang dan diketuai oleh Dr. G. A. J. Hazeu. Tugas mereka ialah akan memberi pertimbangan kepada Kepala Pengajaran (Directuur Onderwijs) dalam hal memilih karangan-karangan yang baik untuk dipakai di sekolah-sekolah dan untuk dijadikan bacaan rakyat.

Komisi tersebut di atas itulah yang kemudian menjadi Balai Pustaka dalam tahun 1917, yang bertujuan:

  1. Mengadakan saingan atau hendak mencegah buku-buku yang telah mulai banyak di keluarkan orang, terutama dari pihak Tionghoa yang berisi roman-roman Barat yang bersifat rendah
  2. Boleh jadi buku-buku itu bermaksud hendak memasukkan paham penjajahan ke dalam jiwa bangsa Indonesia.

Pada zaman RIS (Republik Indonesia Serikat), Balai Pustaka Pernah dipimpin oleh K. St. Pamuntjak, ia berpendapat bahwa Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Umum, bukan salah satu bahasa daerah di Indonesia ini, melainkan bahasa penghubung antara berbagai daerah sehingga coraknya tentu saja tidak mungkin sama dengan bahasa Melayu Daerah. Bahasa Melayu Umum ini tentu sudah mendapat banyak pengaruh dari bahasa-bahasa daerah, terutama kosakatanya.