Bagaimanakah Kolaborasi Sastra dan Budaya dalam Pertunjukan Seni?

Sering ditemui ketika ada pertunjukan seni, orang-orang mengatakan bahwa itu hasil dari sebuah karya sastra, bukan budaya. Pertunjukan seni baru dikatakan sebuah pertunjukan budaya jika dalam penampilannya membawa budaya khusus dari suatu daerah, seperti tarian tradisional dan lain sebagainya.

Sebenarnya apakah sastra dan budaya bisa menjadi satu kesatuan dan berkolaborasi dalam sebuah pertunjukan seni?

Pertunjukan sastra biasanya dilakukan dengan cara kolaborasi. Kolaborasi adalah upaya percampuran teks dengan seni. Kolaborasi adalah tradisi pentas yang belakangan dianggap dapat menarik minat penonton. Dengan cara ini, sastra akan semakin terkenal. Sastra memang produk estetis dan sekaligus bernuansa artistik. Oleh sebab itu, perlu menggali aspek-aspek seni dan budaya yang memengaruhi karya sastra semakin menarik.

Kolaborasi sastra membutuhkan pengalaman budaya yang disebut partisipasi budaya. Dengan partisipasi budaya maka akan semakin mendalami roh sastra. Pengalaman budaya adalah pengalaman langsung menjadi pelaku, mulai dari persiapan sampai akhir. Partisipasi merupakan bentuk konteks budaya. Konteks budaya dibangun untuk lebih menghayati fenomena kolaborasi.

Maka dari itu, dengan tegas Turner menyatakan bahwa untuk mempelajari sebuah pertunjukan sebagai suatu “proses” dan bagaimana “wujudnya”, perlu menyelami ruang, waktu, konteks sosial, dan budaya pendukungnya. Konteks sosial dan budaya yang terdapat dalam sastra amat luas cakupannya. Apalagi kalau sastra tersebut sudah digarap ke dalam sebuah kolaborasi pertunjukan sastra, konteks sosial dan budaya yang mengitari semakin kompleks.

Sastra kolaboratif adalah refleksi pengalaman budaya yang beraneka ragam. Pengalaman merupakan endapan memori yang amat halus. Pengalaman tersebut ada yang bersifat imajinatif. Seluruh pengalaman yang tertata estetis, perlu diungkap aspek sosio kulturalnya. Pengalaman langsung seorang etnografer yang sekaligus menjadi sastrawan sering menghasilkan karya-karya unik. Sesungguhnya, seorang pengarang itu juga merupakan etnografer lokal. Pengarang juga termasuk orang yang memiliki naluri untuk mengembangkan budaya lokal. Hal ini dapat dicermati melalui karya yang berjudul “The Redneck” (Grindal dan Shephard, 1993).

“The Redneck” adalah cermin budaya proletar dari Amerika Selatan yang menyajikan kemungkinan menarik untuk sebuah kolaborasi antara antropologi dan pertunjukan seni drama. Kolaborasi adalah jalur pertunjukan sastra yang menarik karena melalui penggarapan berbagai aspek seni. Sastra yang dikolaborasikan dengan musik akan memunculkan seni baru yang disebut musikalisasi sastra. Pada tataran ini, penelitian antropologi sastra akan memasuki wilayah estetis dan artistik yang rumit.

Tataran itu termasuk dalam lingkup pembahasan salah satu ragam kolaborasi sastra. Hal ini dapat disaksikan melalui perbandingan antara Grindal, seorang etnografer dan penulis cerita pendek “Gadis Redneck”, dan William Shephard, seorang dramawan dan direktur yang bekerja di panggung teater utama di Washington State University pada bulan November 1986. Sastra kolaborasi memang sebuah seni campuran antara berbagai ragam budaya. Sastra adalah seni bahasa. Jika dikemas dengan seni lain, termasuk kemasan budaya, tentu karya itu semakin berbobot.

Untuk menggambarkan kolaborasi ini, dapat dihayati melalui penjelasan Grindal dan Shephard (1993) ketika awal pertemuan Grindal dengan “gadis redneck” dalam perjalanan bus di utara Florida pada tahun 1982 sampai cerpenis menyelesaikan sebuah cerita pendek Maret 1985. Percakapan antara pengarang dengan penata laku kolaborasi itu pun menarik bagi antropologi sastra.

Lewat percakapan, tentu ada tawar-menawar budaya yang hendak disampaikan. Sastra adalah memasuki wawasan dialog budaya yang hendak dibangun lewat kolaborasi. Kolaborasi adalah seni kreasi yang mengungkap dan mempertontonkan sastra kepada publik. Terlebih lagi ketika yang diciptakan dalam kolaborasi itu sebuah pengalaman langsung, tentu ada getaran kultural yang membekas.

Reaksi terhadap cerita dan tulisan Grindal tentang rancangan Shephard menciptakan kolaborasi dan akhirnya mengarah pada cerpen “Gadis Redneck”. Yang utama adalah penilaian kolektif terhadap kinerja seni kolaborasi yang berdampak pada penonton yang memandangnya. Untuk mengetahui esensi kolaborasi sastra dan budaya dapat mewawancarai penonton, penulis skenario, dan pengarang cerpen.

Wawancara akan menggali keterkaitan teks dan seni kolaborasi dengan budaya yang hendak ditanamkan masing-masing kreator. Yang dimaksud kreator adalah penata laku, penulis cerpen, penata iringan, dan lain-lain yang terlibat. Seni pertunjukan sastra kolaboratif adalah karya seperti gudeg yang penuh ramuan estetis. Masing-masing aspek seni dan sastra telah hanyut dalam sebuah ramuan kultural.

Pengecekan kolaborasi sastra dan budaya dapat pula melakukan metadialog kepada pekerja seni kolaborasi. Metadialog adalah tafsir pemahaman teks kolaborasi yang dilakukan dengan mengecek kreator secara intensif. Metadialog untuk mengungkap hal ihwal di balik (meta)teks sastra disiapkan untuk kolaborasi itu. Aspek budaya dan keanekaragaman tradisi apa saja yang hendak dikembangkan perlu ditanyatakan secara intensif. Lewat metadialog dapat terungkap refleksi fakta. Dalam posisi ini, Grindal dan Shephard telah melihat pertunjukan dan mendiskusikannya dengan beberapa orang.

Yang didiskusikan tidak hanya kinerja, tetapi juga pertunjukan rekaman video terpisah dari kinerja yang berlangsung di tahun 1987. Jadi, penciptaan sebuah kolaborasi humanistik dari bahan etnografi dan sastra menjadi pertunjukan yang dramatis merupakan warisan kultur tersendiri. Namun, ini bukan pertunjukan teoretis.

Lewat penelitian kasus, pertunjukan sastra adalah potret budaya unik, khas, dan inovatif. Lowell Lewis yang menyatakan bahwa untuk memahami pertunjukan sastra, kita perlu ikut terlibat. Dia ikut “menari”, tidak sekadar latihan intelektual. Kita ikut merasakan “menabuh iringan”, bahkan ikut merasakan sebagai penonton. Begitulah strategi “participant observation” yang merupakan aspek penting. Jika perlu, kita ikut menyelami ketika para pembaca berlatih.

Keikutsertaan kita terlibat dalam kancah pertunjukan. Keterlibatan kita boleh dalam hal apa saja, yang penting ada pengalaman estetis. Kita bukan semata-mata menjadi outsider, melainkan ikut sebagai insider yang kadang-kadang ikut memberi warna pertunjukan. Partisipasi merupakan unsur yang sangat bermakna dalam sebuah pertunjukan. Keberhasilan kolaborasi tergantung masing-masing pendukung dan peneliti juga ikut andil dalam ranah itu.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf