Bagaimanakah Hubungan Sastra, Tradisi, dan Seni?


Sastra, tradisi, dan seni sudah melekat bagi orang-orang yang sudah berkecimpung dalam ketiga istilah tersebut.

Bagaimanakah hubungan sastra, tradisi, dan seni?

Sastra, Tradisi, dan Seni

Sastra dan tradisi adalah dua hal yang saling mengisi. Sastra lokal seperti Batak dan Jawa tentu kaya tradisi. Sastra merupakan dokumen estetis tradisi. Dengan demikian, karya-karya sastra dapat menawarkan pengamat luar untuk mempelajari semua klaim epistemologis budaya, adat istiadat, dan sastra.

Rodgers (1993) akan memeriksa beberapa kutipan dari buku Siregar Baumi tentang mitos dan atau cerita rakyat serta budaya. Dia akan memberikan perhatian khusus dengan cara mendokumentasikan dan melestarikan seluruh budayanya. Yang sangat penting adalah upaya Siregar Baumi ini dalam menulis kebudayaannya telah menuntunnya untuk membayangkan tradisi Angkola. Dia menggunakan konsep budaya dalam arti antik dari etnis. Ini adalah budaya seperti yang digambarkan sebagai suatu entitas bahasa, sastra, seni, musik, hukum, dan agama.

Kata Strinati (2003:11), seni rakyat itu lahir dari bawah, dari kelas bawah. Ini merupakan ekspresi spontan dari rakyat kebanyakan, dibentuk mereka sendiri, tanpa melibatkan budaya tinggi. Seni rakyat yang terangkum dalam sastra merupakan citra budaya. Antropologi sastra berupaya menemukan citra budaya itu sebagai refleksi identitas seni rakyat. Seni rakyat banyak mempergunakan karya sastra sebagai ekspresi. Citra budaya sebagai fenomena sistematis terdiri atas implikasi perbandingan menarik.

Seperti halnya banyak budaya etnis Indonesia, Angkola tetap memiliki banyak genre pidato ritual seperti pidato politik tradisional. Masyarakat pedesaan dan kota migran telah memasuki era keaksaraan cetak pada saat mereka membuat media massa. Mereka menggunakan bahasa Indonesia di radio, televisi, dan kaset yang diproduksi secara massal.

Angkola Batak tidak dapat dipahami untuk penutur Indonesia karena banyak menggunakan dialek Batak. Kaset yang diperjualbelikan itu digunakan untuk menghibur, disiarkan di radio dalam bentuk drama (Rodgers, 1986). Bahkan, pada kegiatan itu juga digunakan lagu-lagu populer yang sebagian didasarkan pada lagu-lagu desa, sebagian pada musik gereja, dan sebagian pada bentuk musik internasional seperti rock and roll Amerika.

Dengan demikian, koleksi cerita rakyat Batak dari tahun 1930-an menyajikan tari-tarian dan nyanyian mistis lisan sebagai sastra lisan. Sebagian dari proses yang sama itu dicetak agar mudah dipahami antaretnis serta memuat wacana politik. Dalam contoh lain, tarian ritual Angkola dan pidato memuat cerita rakyat etnis berwarna-warni.

Selain itu, masing-masing komunikasi utama Angkola masih dipraktikkan di desa dan upacara pasar kota. Karya mereka pada prinsip, genre, media massanya agak berbeda dari masyarakatnya. Sebagai bentuk-bentuk komunikasi interaksi, mereka juga bekerja untuk saling memengaruhi satu sama lain yang mencitrakan kehidupan manusia. Jadi, misalnya, visi nyanyian bukanlah citra sepenuhnya mistis masyarakat manusia.

Pandangan narator dari tari-tarian adalah cara nenek moyang yang digunakan untuk melihat dunia sebelum mereka menemukan pencerahan. Singkatnya, Angkola menghayati dunia mistis melalui media cetak sebagai bukti masyarakat pembaca berbudaya. Mitos juga memuat tradisi yang berguna untuk mengukir konsepsi masyarakat etnis minoritas dalam ruang politik bangsa Indonesia. Naskah Batak klasik menawarkan pada pembaca tentang peraturan yang baik. Hal itu tercantum dalam panduan adat dalam bentuk pendek yang diterbitkan surat kabar Angkola dalam dua puluhan dan tiga puluhan.

Setelah invasi Jepang tahun 1942 dan jatuhnya pemerintahan koloni Belanda, rumah-rumah yang mulia di Angkola juga rusak. Adat dan publikasi terkena imbasnya. Sampai sekarang pria seperti Siregar Baumi menemukan dirinya karena dunia penerbitan kompetitif adat Batak banyak penggemarnya. Kebanyakan laki-laki di usia empat puluhan, lima puluhan, dan enam puluhan menjadi pejabat, wartawan surat kabar, dan bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Thoug sangat melek, penulis sebagian besar tidak menyadari sejarah panjang iklan, buku publikasi di Sumatra Utara. Tidak ada yang dia tahu dari koleksi luas sebelum perang adat Angkola yang termuat dalam buku Perpustakaan Nasional di Jakarta dan di Belanda. Secara umum, penulis tetap memperhatikan budaya kuno, bukan sarjana ilmiah. Sebagian besar penulis yang dicapai cenderung berasal dari keluarga bangsawan. Siregar Baumi ia berasal dari keturunan mulia dari Desa Marancar.

Generasi pertama Angkola Mandailing dan penulis (orang-orang seperti Willem Iskandar, Radja Goenoeng, dan Sutan Martua Raja) merupakan penulis primer untuk anak-anak. Antara 1910 dan 1920, wilayah tersebut telah berkembang menjadi salah satu pusat kebudayaan Sumatra untuk penerbitan surat kabar, penerbitan buku, dan menulis buku, novel yang sebagian didasarkan pada model Belanda dan sebagian pada fiksi Indonesia Tionghoa. Karya itu diterbitkan di Sibolga dan Medan pada tahun dua puluhan dan tiga puluhan. Beberapa di antaranya ditulis dalam bahasa Angkola, sementara yang lainnya dalam bahasa Indonesia.

Adat desa asli Angkola sering diatur bertentangan dengan agama (atau, seperti dicatat, agama terorganisasi). Menurut Benyamin (Strinati, 2003:92–93), karya seni, termasuk sastra sering ditempatkan dalam praktik keagamaan. Sastra sering dipadukan dengan adat. Oleh karena mampu merefleksikan seni dan ritual, sastra sering dikaitkan dengan praktik keagamaan. Yang dimaksud adat ialah ritus upacara perjalanan, pengaturan pernikahan yang ideal melibatkan aliansi antara istri-pemberi rumah dan istri mereka-receiver, dan pernyataan tentang pemerintah desa yang orang katakan didasarkan pada tradisi aliansi pernikahan.

Secara antropologis, masyarakat Batak memiliki marga patrilineal (marga), aliansi pernikahan asimetris dari jenis Kachin, dan pernikahan dengan putri saudara ibu lebih disukai. Pada akhir zaman Belanda, masyarakat Batak bagian selatan diorganisasi menjadi chiefdom yang berpusat di sekitar rumah Yang Mulia. Ada tingkat tinggi stratifikasi kelas sosial di kota-kota pasar yang lebih besar dengan bangsawan, rakyat jelata, dan keturunan budak.

Penulis Angkola mulai mempublikasikan panduan adat abad dua puluhan dengan judul seperti Haronduk Parmanoan dan Adat Batak. Beberapa ikhtisar yang ditawarkan buku-buku narasi praktik ritual adat yang lainnya menawarkan glosarium istilah pidato yang sulit yang lain ditangani dengan domain misterius seperti astrologi Batak lama, kalender, dan menggunakan ilmu nujumnya. Beberapa pemandu seperti Haronduk Parmaoan berpendapat bahwa untuk modifikasi praktik adat klasik, perlu keahlian. Sejalan dengan itu dia akan merujuk kepada judul Sutan Tinggi.

Mengingat campur tangan penulis etnografi yang begitu kuat, karangan etnografi itu tidak bisa diabaikan dari unsur fiksi. Dilihat dari cara penulisan, beberapa karangan etnografi tak ubahnya seperti sebuah cerita pendek atau novel yang penuh dengan bahasa simbol, perumpamaan, dan kata-kata kiasan. Karangan etnografi tampil dengan gaya bertutur yang lazim digunakan oleh para sastrawan.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf