Bagaimana Upaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Antara Konsumen Dan Pelaku Usaha?

image

Apabila terjadi perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha, bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikan permasalahan diantara mereka ?

Dalam kehidupan ekonomi sehari-hari, utamanya kegiatan jual-beli antara konsumen dan pelaku usaha, tidak tertutup kemungkinan terjadinya sengketa antara kedua belah pihak tersebut. Di dalam sub-bab ini yang akan dibahas adalah mengenai sengketa konsumen. Sengketa konsumen adalah sengketa yang berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkup sengketa ini meliputi bidang keperdataan, pidana, maupun tata usaha negara.

Proses beracara pada penyelesaian sengketa konsumen secara khusus diatur di dalam UUPK. Namun karena UUPK hanya mengatur beberapa pasal saja mengenai ketentuan beracara, maka peraturan hukum acara seperti Herziene Indonesische Reglement (KUHAP) tetap berlaku.

Pada dasarnya sengketa perlindungan konsumen dapat diselesaikan melalui peradilan maupun melalui jalan di luar pengadilan. Pilihan penyelesaian sengketa tersebut berdasarkan kesepakatan sukarela di antara kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 45 ayat (2) UUPK:

”penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersangkutan.”

Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Negeri.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri dengan menggunakan hukum acara yang berlaku secara umum membawa akibat bagi konsumen. Sesuai dengan ketentuan hukum acara, seperti pada contoh Hukum Acara perdata, penggugat harus membuktikan bahwa tergugat telah menimbulkan suatu kerugian utamanya kepada penggugat.

Dalam kaitan dengan perlindungan konsumen maka sebagai penggugat harus membuktikan kesalahan yang telah dilakukan pelaku usaha jika timbul suatu kerugian. Berkaitan dengan posisi konsumen sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tentu konsep seperti ini memberatkan.[1]

Konsumen yang posisinya notabene lebih lemah daripada pelaku usaha ditambah lagi bebannya dengan kewajiban harus membuktikan kesalahan pelaku usaha. Di samping itu konsumen juga harus menanggung beban administrasi yang timbul ketika mengajukan gugatan ke pengadilan.

Dalam sengketa konsumen yang berkaitan dengan kasus perdata yang kemudian diajukan ke pengadilan negeri, Pasal 46 UUPK menjelaskan bahwa yang berhak mengajukan gugatan adalah:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, atau dalam pengertian lain adalah Class Action;

c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatannya sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Tata cara yang digunakan dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan adalah berdasarkan Hukum Acara Perdata. Namun, dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan, berlaku asas lex specialis derogat lex generale, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 64 UUPK di mana ketentuan hukum yang digunakan adalah Hukum Acara Perdata sepanjang tidak bertentangan dengan UUPK. Apabila timbul pertentangan maka yang digunakan adalah ketentuan di dalam UUPK.

Penyelesaian Sengketa di Luar pengadilan

Di samping menyelesaikan sengketa melalui lembaga pengadilan, UUPK memberikan alternatif lain yakni penyelesaian sengketa melalui pembicaraan antara para pihak, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Direktorat Perlindungan konsumen, serta melalui lembaga yang khusus dibentuk oleh undang-undang. Lembaga yang dimaksud adalah Badan Penyelesaian sengketa Konsumen (BPSK).

Pasal 49 ayat (1) UUPK mengamanatkan bahwa BPSK dibentuk di daerah Tingkat II untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. BPSK mempunyai anggota yang terdiri dari unsur pemerintah, konsumen, dan juga pelaku usaha. Setiap unsur tersebut berjumlah sedikitnya tiga orang dan sebanyak- banyaknya lima orang. Khusus bagi wakil dari pelaku usaha, diambil dari wakil asosiasi pengusaha yang dipilih oleh Departemen Perdagangan. Susunan anggota sebagaimana disebutkan di atas akan dirubah setiap 5 tahun sekali.

Tugas dan wewenang BPSK menurut Pasal 52 UUPK meliputi:

  1. Menyelesaikan sengketa konsumen melalui mediasi;

  2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

  3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

  4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam UUPK;

  5. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

  6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

  7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

  8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UUPK;

  9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;

  10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

  11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;

  12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

  13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UUPK.

Terkait dengan upaya penyelesaian sengketa konsumen, terdapat fakta yang kurang diharapkan. Pada praktek sehari-hari, hanya sedikit masyarakat yang pernah atau terbiasa menyelesaikan sengketa konsumennya melalui lembaga perlindungan konsumen. Kebanyakan konsumen di Indonesia lebih memilih menyelesaikan sengketa konsumen yang dialaminya langsung kepada pelaku usaha yang bersangkutan tanpa perantara lembaga perlindungan konsumen, ataupun melalui surat pembaca yang terdapat pada surat kabar.

Alasan masyarakat mayoritas sebagai konsumen memilih menyelesaikan sengketa konsumennya tidak melalui lembaga perlindungan konsumen adalah karena mereka mengnggap prosedur yang harus dilalui terlalu rumit. Hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan pihak terkait mengenai penyelesaian sengketa konsumen tersebut.

Referensi:
[1] Dr. Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 183.